PUNCAK kompetisi sepak bola amatir Indonesia berlangsung pekan ini. Rabu petang pekan ini, Persebaya Surabaya turun menghadapi PSIS Semarang dalam pertarungan akhir Kejuaraan Kompetisi Divisi Utama PSSI 1986/87. Jelas, itulah tontonan sepak bola yang pasti akan menyedot banyak penonton. Namun sepak bola Indonesia tak hanya itu. Masih ada sepak bola semibayaran yang dikenal dengan Galatama. Kolumnis terkenal Kadir Yusuf pernah bilang, Galatama adalah universitasnya sepak bola Indonesia. Dari sanalah diharapkan banyak "jadi" pemain nasional kita. Namun, kenyataannya, pertandingan tingkat "universitas" itu tak diminati. Kompetisi Piala Liga, yang dimulai Minggu pekan lalu, ditonton tak sampai seribu orang. Sepak bola semibayaran tak dibutuhkan lagi ? "Galatama harusnya dibubarkan saja." Kata-kata keras itu dilontarkan oleh Amran Y.S., Wakil Manajer PSMS Medan. Amran, menilai Galatama ternyata tak menjamin masa depan pemain. "Karena tidak dikelola secara profesional, masa depan pemain jadi tak jelas," katanya. Bayangkan saja, katanya, kalau tidak meraih gelar juara, lantas klub dibubarkan . Amran mungkin saja mengambil tolok ukur di lingkungan PSMS sendiri. Di bond itu terdapat delapan pemain bekas klub Galatama, Mercu Buana, serta seorang pemain bekas Pardedetex. Kedua klub Galatama itu mundur dari kompetisi beberapa tahun lalu, setelah gagal terus meraih gelar juara Galatama. Akibatnya, pemain yang sudah telanjur masuk Galatama itu balik ke Perserikatan. Beruntung kalau ada klub di Perserikatan yang masih mau menampung mereka. Sebab, ada juga klub Perserikatan yang enggan kemasukan eks Galatama ini. "Asyabaab menolak mereka yang dari Galatama ini. Bukan apa-apa, mereka 'kan sudah biasa dapat uang banyak," ujar Mohamad Barmen, pemilik klub Divisi Utama Persebaya. Barmen mungkin meragukan kemampuan membayar gaji pemain Galatama yang hijrah, dengan akibat pemain tadi akan menerima suap atau akibat buruk lainnya. Tak semua klub menolak eks Galatama. Perkumpulan Suryanaga, saingan berat Asyabaab di kompetisi Divisi Utama Persebaya, malah menerima Syamsul Arifin dan Rae Bawa, eks Niac Mitra yang tak lagi diperpanjang kontraknya. Dan jangan dikira klub itu tak mampu membayar. "Saya menerima gaji hampir sama dengan di Niac Mitra," kata Rae Bawa, tersenyum. Malah, ujar Rae Bawa, Niaclah yang tak lagi mampu membayar pemain-pemain inti, sehingga mencari-cari alasan tak memperpanlang kontrak. Mengapa Suryanaga sanggup? "Klub itu didukung perusahaan rokok Bentoel," kata Rae Bawa. Ya, memang pantas. Mengapa tak pindah ke klub Galatama lainnya? "Saya melihat prospek Galatama lesu. Kami, yang sudah dua kali membawa Niac menjadi Juara Liga, dibuang begitu saja. Saya pikir klub Galatama lainnya juga sama," kata Rae Bawa lagi. Kehadirannya dalam klub Perserikatan dianggapnya membawa manfaat lain. "Jadwal latihan di Perserikatan memungkinkan saya kuliah lagi," ujar pemain terbaik Tugu Muda Cup di Semarang, 1979, ini. Abdurahman Gurning, bekas gelandang tengah klub Galatama Mercu Buana, juga was-was akan masa depan Galatama. "Kalau pindah ke klub Galatama lain, takutnya bubar lagi. Daripada begitu, bagus saya di Perserikatan," ujar Gurning, kata pegawai honorer Dinas Perindustrian Sum-Ut, dengan honor Rp 40.000 tiap bulan itu. Masalah sepinya penonton inilah yang kian merisaukan klub Galatama. Meskipun final kompetisi Galatama -- Krama Yudha melawan Pelita Jaya, Januari lalu -- disaksikan sekitar 50.000 penonton, masih banyak klub yang minus penonton, dan tentu minus pendapatan. Dari sembilan klub yang ikut kompetisi tahun ini -- anggota Galatama ketika mulai (1979) adalah 18 klub -- hanya delapan klub tampil di Kejuaraan Piala Liga Milo, yang dimulai Minggu pekan lalu. Tunas Inti Jakarta, antara lain karena faktor dana, undur diri. Dalam hal penonton, Perserikatan memang unggul. Tapi bagaimana soal mutu? "Jelas, Galatama masih di atas Perserikatan," tutur Sinyo Aliandoe, pelatih Tunas Inti. Dalam hal latihan saja, kata Sinyo, Galatama yang latihan sehari dua kali jelas lebih baik. "Di Perserikatan, bisa latihan tiga kali seminggu saja sudah bagus," kata Sinyo lagi. Kadir Yusuf jelas-jelas mengatakan Galatama penting untuk sepak bola Indonesia. "Kalau mau maju, harus lewat Galatama," kata Kadir. Hanya saja, ia melihat program kompetisi Liga yang belum betul diatur oleh PSSI. "Ini yang harus diatur lebih baik," katanya. Ia juga menunjuk intensitas dan volume latihan yang lebih baik di Galatama ketimbang Perserikatan memungkinkan pencapaian prestasi yang lebih baik. Administrator Liga, Acub Zainal, tegas menolak anggapan mutu Perserikatan lebih baik dari Galatama karena faktor penonton tadi. "Penonton penuh karena orang Bandung ingin lihat Bandung mengalahkan Padang, Medan mengalahkan Jakarta. Tak ada urusan mutu di situ," tutur Acub dengan nada tinggi. "Coba kalau finalnya antara Persipura dan Bengkulu, potong kuping saya kalau ada yang nonton," katanya. Acub menilai banyaknya pemain Galatama yang hijrah ke Perserikatan merupakan hal biasa. "Logis, dong, stamina dan keterampilan mereka sudah tidak memadai untuk bersaing di Galatama. Pemain seperti itu 'kan jadi menonjol di Perserikatan. Wajar saja. Mereka itu sudah tak terpakai di Galatama," katanya lagi. Betul begitu? "Saya akan membuat melek orang yang beranggapan begitu. Tunggu saja, akan saya buktikan nanti," ujar Rae Bawa, dengan nada geram. T.H., Laporan Biro Jakarta & Muchsin Lubis (Biro Medan)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini