SIDANG pengadilan Pak De, yang keempat Senin pekan ini, tak lagi dipadati pengunjung. Tapi suasana di Pengadilan Negeri Bogor agak meriah. Jawaban tiga saksi, atas pertanyaan hakim, sering mengundang gelak tawa. Mereka: Nyonya Sanah, 32, penggembala kerbau yang pertama kali melihat mayat Almarhumah Endang Sukitri. Lalu ada Rimin, 43 kakak Sanah yang dilapori adiknya itu, dan Boir, 44, Ketua RW I Kampung Pedurenan yang mendapat laporan dari Boir. Tak banyak keterangan penting dari mulut mereka, hingga membuka tabir. Tapi dari para saksi dalam sidang ketiga, Rabu pekan silam, ada yang menarik. Misalnya kesaksian Gunam bin Karim, 32, tukang ojek itu. Ia, katanya, sempat nyalip dua lelaki pengendara motor dan seorang wanita yang diboncengkan, pada 20 Oktober 1986 sekitar pukul 19.30 di ujung Jalan Gas Alam, tempat Endang terbunuh. Ketika Hakim Anggota Nyonya Adi Nugroho bertanya, "Apa potongan tubuh lelaki yang Bapak lihat itu seperti itu ?" (sambil menunjuk terdakwa Siradjudin), Gunam, buta aksara, mengiyakan. Tapi Gunam tetap tak bisa memastikan apakah wajah dalam rekaannya itu mirip terdakwa. Kesaksian Miran Samiran, 36, penumpang yang diboncengkan ojek oleh Gunam, juga mengiyakan ketika Hakim Anggota Nyonya Adi Nugroho menunjuk terdakwa. Tapi mengenai wajahnya, ia "tidak tahu". Tentang merk, warna, dan nomor motor, "tidak jelas". Dan bagaimana wajah orang-orang yang disalipnya malam itu, "tidak terlihat". Menanggapi kesaksian itu, terdakwa, yang hari itu mengenakan safari, menyatakan bahwa pada 20 Oktober 1986 sekitar pukul 19.30, ia belum pernah berada di ujung Jalan Gas Alam. Dan terdakwa membantah keterangan saksi yang mungkin memberatkannya. Tapi keterangan Suganda, Ketua RW 01 Kelurahan Susukan, tempat Pak De tinggal, agak beda dari yang lain. Suganda, yang bertubuh tinggi dan berkulit agak gelap itu, membantah ia "kabur". Pensiunan sipil Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat itu, sejak Agustus 1986, selama 25 hari dalam setiap bulan, mengelola tambak ikan di kawasan Waduk Saguling, Kabupaten Bandung. Katanya, ia hanya lima hari di Jakarta, mengurus pensiun. Keterangan Suganda kepada wartawan TEMPO, "Saya ingat betul, ketika itu Senin malam 20 Oktober 1986. Saya ditugasi Pak Camat mendatangi para pemuka masyarakat dalam rangka menyukseskan pemilu. Malam itu, saya lewat di depan rumah Romo sekitar pukul 19.30. Ia sedang menggendong cucunya di beranda depan," tutur Suganda. Ia melanjutkan, "Ia menyapa saya, 'Mampir, Pak RW.' Lalu saya mampir. Ketika itu kami lantas mendengarkan kaset ceramah dakwah. Pada saat acara "Dunia dalam Berita", di TV pukul 21.00, kami juga mendengar dan menonton. Lalu kami mengobrol sampai kurang lebih pukul 22.00. Setelah itu saya pamit, meneruskan menemui tokoh masyarakat lainnya." Bila keterangan Suganda itu benar dan akurat, maka dialah satu-satunya orang luar (bukan keluarga Pak De) yang menyaksikan terdakwa berada di rumah ketika Endang terbunuh. Tapi dalam BAP (Berita Acara Pemeriksaan), polisi memang tak mencantumkan Suganda dalam daftar saksi. Padahal dia sudah diperiksa oleh Polsek Cimanggis dan Polres Bogor. Dalam sidang kelima Rabu pekan ini antara lain akan didengar Farid, anak Pak De. Kemudian, Rachmad, anggota Polres Depok. Dialah yang memperkenalkan Nyonya Endang pada Pak De, setahun sebelum Almarhumah terbunuh. Berikutnya, antara lain akan dihadapkan Sutinah, bekas pembantu rumah tangga Endang yang pernah dua bulan ditumpangkan di rumah terdakwa. Ada keterangan Sutinah binti Sarwito, 30, yang meragukan. Dalam BAP ia menyebutkan, majikannya setiap hari bertandang ke rumah Romo. Tapi dalam sidang keempat Senin barusan, Imam Sumaryanto, 23, anak Endang, menyatakan, ibunya mengunjung Pak De tiga kali seminggu. Tapi, menurut Pak De, hanya tiga kali sebulan. Dalam BAP 10 Desember 1986, Saksi Sutinah, yang mengaku sejak Februari sampai April 1986, dititipkan Saksi Rahmat di rumah Pak De, katanya, melihat kapak bermata tiga dalam laci bufet di kamar Farid. Tapi dalam BAP 17 Desember 1986 disebut, Pak De mengaku membeli kapak bermata tiga -- yang kemudian di gagangnya dililit tali rami putih -- pada 14 Oktober 1986. Kepada TEMPO, Farid membantah menyimpan kapak itu. Katanya, "Ketika diperiksa di Polda Metro Jaya, saya minta agar dikonfrontir dengan Sutinah. Tapi polisi mengalihkan pembicaraan ke soal lain. Menurut Nyonya Elly alias Fatma, istri Pak De, sejak Agustus 1986 Sutinah sudah pulang ke Gunungkidul, Yogya. Bila benar Sutinah tak lagi di rumah Pak De, sejak April atau Agustus itu, kapan dia melihat kapak bermata tiga yang dibeli pada 14 Oktober 1986. April ada dua kapak, yang dua-duanya bermata tiga dan sama-sama gagangnya dililit tali rami putih ? Nah, siapa yang tahu. Karena semua itu harus terbukti, dengan pengakuan saksi-saksi, yang dikuatkan barang bukti yang akurat. Lalu, mengapa dalam sidang ketiga, Rabu silam, Pak De mengancam mogok makan bila kasus terbunuhnya Dice tak segera disidangkan ? Pak De memang tak jadi mogok makan. Barangkali karena ia segera tahu, penyidangan kasus Dice tak mungkin dalam waktu dekat. Padahal, sebagai dukun, konon Pak De mengaku biasa pantang makan dan minum selama seminggu suntuk. Apa dia memang berani tahan lapar terus-terusan? Dan, menariknya, BAP kasus Abbas bin Mohar (anggota Satpam Bapindo yang katanya meminjamkan pistol pada Pak De untuk membunuh Dice) segera dilimpahkan oleh Polda Metro Jaya ke Kejaksaan Negeri Jakarta Timur. Apa memang sudah serba gampang? Maklum, Pak De justru "pemain tunggal'' -- dengan saksi-saksi yang "lemah" itu. Jika tersingkap kasus pembunuhan Endang, mungkin terbuka jalan licin ke pengadilan kasus Dice yang banyak menimbulkan cerita sampingan dan macam-macam itu. Suatu perkara yang menuntut kecermatan. Budiman S. Hartoyo, Laporan Biro Jakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini