Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEKIAN detik itu mata keduanya baku pandang. Fatahillah Abdullah, pembalap pemakai kaus hijau, yang artinya ia pengumpul poin tertinggi, duduk gelisah di atas sadel sepedanya. ”Waduh, apa bisa saya kalahkan dia?” begitu kata Fatahillah kepada dirinya sendiri. Sergey Kudentsov, pembalap berkaus nomor 81 yang dipandangi tadi, seakan bisa menangkap gelisah itu. Pembalap Rusia ini ganti menatap lekat, laksana ingin memberi peringatan: ini hari milik saya, jangan coba-coba menghadang.
Tatap-menatap itu buyar oleh kibasan bendera start. Sebanyak 72 pembalap menghambur dari mulut kapal feri yang baru merapat di Pelabuhan Gilimanuk, Bali. Etape terakhir Tour d’Indonesia dimulai. Hari itu jarak 147 kilometer sampai Denpasar menjadi menu pamungkas yang menegangkan.
Begitu menginjak darat, Fatahillah kelihatan dijepit tiga pembalap berseragam kuning-biru, termasuk si Rusia tadi. Tapi anak muda 22 tahun ini mengaku mendapat kekuatan ekstra. Kata dia seusai pertandingan kepada Tempo, ”Itu berkat Tuhan. Saya juga bersemangat ketika mengingat orang tua di Makassar dan kekasih di Palembang.” Pedal sepeda dikayuhnya habis-habisan, otot-otot kakinya bekerja keras, menghela roda-roda yang berputar semakin kencang.
Ini etape hidup dan mati. Etape sembilan merupakan peluang terakhir Fatahillah memukul Kudentsov, musuh yang selalu mengajaknya baku kejar sejak awal lomba. Dan Sergey bukan anak yang baru kemarin bisa naik sepeda. Kudentsov adalah spesialis sprint yang sudah mengoleksi banyak gelar di Eropa dan Asia. Ia kini bergabung dengan tim Greenfield Fresh Milk (GFM).
Sebagai spesialis sprint, tentu Kudentsov tak mau hilang muka. Dan di nomor sprint itu harapan menjadi juara masih terbuka. Kans untuk menjuarai waktu tercepat sudah praktis tertutup setelah David McCan dari Irlandia membuat yang lain mustahil mengejar kecepatan waktu yang ditempuhnya. Di nomor tanjakan pun sudah keluar juara, pembalap asal Iran, Mehdi Faridi, menjadi yang paling cepat mengayuh di tanjakan.
Celaka bagi Kudentsov, di nomor sprint ia punya lawan tangguh, Fatahillah. Dan anak itu merupakan satu-satunya harapan Indonesia merebut gelar terhormat setelah sejak empat tahun silam prestasi Indonesia jeblok. Fatahillah sebenarnya tidak meyakinkan. Tahun lalu ia terlempar dari 40 besar. Sungguh berat perjuangan untuk menggenjot posisi juara dari prestasi sejauh itu.
Tapi tahun ini peta berubah. Fatahillah, anggota tim Bintang Keranggan Cycling Club, Jakarta, sejak berangkat sudah meyakinkan. Ia menyapu bersih tiga titik sprint. Ia merebut etape ketujuh, Malang-Jember, yang menempuh jarak 181 kilometer.
Pembalap yang disiapkan untuk SEA Games 2007 ini terus melesat. Ia juara sprint di lintasan etape ke-8, dari Jember sampai Banyuwangi. Sampai di situ saja ia sudah berhasil unggul lima poin atas Kudentsov, yang sempat menyapu tiga sprint di etape ke-6 antara Madiun dan Malang. Berada dalam ancaman si Rusia membuat Fatahillah senewen.
Dia bercerita di akhir lomba, begitu memimpin barisan pembalap yang mengular itu pundaknya makin berat. Rasa gelisah, tegang, tak berkurang saat bendera start berkibar. Untuk mengurangi stres, melalui radio komunikasi, Illah—panggilan kecilnya—tak henti-henti ”mengoceh” kepada sang pelatih, Muhammad Basri. ”Tolong bantu, bantu saya untuk menang.” Yang terakhir ini cerita Basri mengulangi ucapan anak buahnya.
Maka strategi dipasang. Di barisan sepeda yang melesat 44 kilometer per jam itu, disadari sulit lepas dari kelompok besar. Untuk menjaga selisih poin, Fatahillah perlu mengekor Kudentsov. Sementara itu, pelatih Basri memerintahkan tiga pembalap lainnya untuk melepaskan diri. Tidak masalah jika poin tertinggi direbut pembalap lain, asal bukan Kudentsov.
Kudentsov, 27 tahun, ternyata tidak sendirian. Empat rekannya yang masih bertahan terus menguntit tiga pembalap Bintang Keranggan agar tak lepas dari rombongan. Dua ”aktor utama”, Fatahillah dan Kudentsov, berada di tengah rombongan. Aksi kejar terus terjadi hingga dua kilometer menjelang Kabupaten Negara. Keduanya menuju pertarungan hebat: titik sprint berada di kilometer ke-32,4 dari garis start.
Pada saatnya Fatahillah harus berjuang sendiri. Kudentsov tahu persis itu. Begitu empat pendampingnya masuk rombongan besar, Kudentsov tancap kayuh. Fatahillah sadar taktik ini, dia pun ”pasang kuda-kuda”, meluncur deras 60 kilometer per jam. Sial, musuh tak terkejar. Makin jauh, makin lemah saja Fatahillah. Seratus meter menjelang titik sprint, malah pembalap Jepang, Masahiko Mifune, menyalip dari kiri. Masahiko merebut tempat kedua.
Lemas! Rasa percaya diri Illah terempas. Ia tertinggal dua poin dari musuh bebuyutannya. Fatahillah dalam tekanan. ”Saya tak yakin apakah bisa menang,” katanya seusai lomba menjelaskan saat tegang itu. Pelatih Basri ambil kendali. Ia menggenjot semangat anak buahnya, tapi Illah sempat resah karena masih ada satu sprint lagi.
Satu sprint sisa di etape sembilan itu merupakan pengganti gagalnya lomba sprint di Sumedang, pada etape pertama. Ketika itu panitia tak kuasa membersihkan jalan dari kendaraan lain sehingga peserta menolak melanjutkan lomba.
Sebatang pisang dan sebungkus jelly tak cukup menghilangkan panik Fatahillah. Suplai air minum menyegarkannya, tapi tidak menenteramkannya. Pembalap muda ini mencari-cari pendorong semangat. Aha, dia berulang tahun 28 November nanti, jadi dia bisa menandai hari penting itu dengan prestasi hebat. Ternyata itu modal ampuh untuk menang di sprint kedua di Ubung, 116 kilometer dari garis start.
Sepeda Cannondale seberat delapan kilogram yang dikayuh Fatahillah terus menempel Kudentsov. Rekan seklubnya mendukung. Agus Muhyanto dan tiga yang lain berusaha keras lepas dari kelompok besar. Tapi pembalap lain juga tambah cepat. Gagal lepas, gagal juga usaha merusak konsentrasi lawan. Fatahillah harus berjuang sendiri.
”Saya bingung bagaimana mengatasinya,” cerita Fatahillah tentang momen kritis itu. Semua serba gelap. Tapi Fatahillah ingat saat indah malam sebelumnya, ”Pacar saya menelepon, memberi semangat.” Otot kakinya seperti mendapat suntikan tenaga, kayuhannya makin mantap.
Saat itulah ia melihat bendera kuning dari juri di pinggir jalan. Dua kilometer lagi dari garis finish. Yang dilihat Fatahillah ternyata luput dari mata Kudentsov. Ketika Fatahillah deras mengayuh ke depan, si Rusia tetap anteng di belakang—mungkin ia tengah menikmati keindahan Bali. Dari sisi kanan Kudentsov dilewati. Mulanya seperti tanpa perlawanan.
Tapi beberapa detik kemudian Kudentsov ”mengerang”, ia berusaha mengejar. Di garis finish, ia hanya bisa meraih ban belakang Fatahillah. ”Rasanya lega, seperti ada beban berat yang lepas,” ujar Illah tentang kemenangannya.
Bebannya berkurang. Kini ia hanya perlu mempertahankan perolehan waktu timnya. Cukup tiga pembalapnya bergabung bersama kelompok besar, Bintang Keranggan aman di posisi empat besar klasemen tim. Mengayuh sepeda dengan santai, Fatahillah malah sempat melahap empat bungkus jelly dan sebatang pisang.
Pada kilometer yang tersisa, pikirannya sudah melayang-layang ke onggokan uang hadiah Rp 25 juta sebagai juara sprint. Ditambah prestasi etape sebelumnya, Fatahillah bisa membawa pulang sedikitnya Rp 50 juta.
Mungkin sambil mendayung menuju finish, Fatahillah sudah membayangkan untuk menabung dan kemudian membeli rumah di Yogyakarta, kota yang setiap hari ia jelajahi dengan sepeda. Jalan sempit berliku, di ujung jalan di sebelah kanan kelihatan laut menghampar. Pantai Kuta menyambut rombongan ”turis bersepeda” itu.
Sembilan hari berlalu, 1.352,2 kilometer ditempuh, dan lomba tahun ini bukan milik si asing—mereka yang biasanya datang berjemur di Pantai Kuta—melainkan milik Fatahillah, anak Makassar itu. Di Pantai Kuta, Fatahillah bisa memandangi wajah Kudentsov sepuas-puasnya, dengan lega.…
Adek Media Roza (Denpasar)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo