Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Menang, dengan Pisang dan Jelly

Etape terakhir Tour d’Indonesia ditandai duel Indonesia versus Rusia. Pembalap Indonesia berjaya.

11 September 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEKIAN detik itu mata keduanya baku pandang. Fatahillah Abdullah, pemba­lap pemakai kaus hijau, yang artinya ia pengumpul poin tertinggi, duduk gelisah di atas sadel sepeda­nya. ”Waduh, apa bisa saya kalahkan dia?” begitu kata Fatahillah kepada dirinya sendiri. Sergey Ku­dentsov, pembalap berkaus nomor 81 yang dipandangi tadi, se­akan bisa me­nang­kap gelisah itu. Pembalap Rusia ini ganti menatap lekat, laksana ingin mem­beri peringatan: ini hari milik saya, ja­ngan coba-coba menghadang.

Tatap-menatap itu buyar oleh kibasan bendera start. Sebanyak 72 pembalap meng­hambur dari mulut kapal feri yang baru merapat di Pelabuhan Gilimanuk, Bali. Etape terakhir Tour d’Indonesia dimulai. Hari itu jarak 147 kilometer sam­pai Denpa­sar menjadi menu pamung­kas yang menegangkan.

Begitu menginjak darat, Fatahillah ke­lihatan dije­pit tiga pembalap ber­­se­ra­gam kuning-biru, termasuk si Rusia­ ta­di. Tapi anak muda 22 tahun ini menga­ku mendapat kekuatan ekstra. Kata dia seusai pertanding­an kepada Tempo, ”Itu berkat Tuhan. Saya juga bersema­ngat ketika mengingat orang tua di Makassar­ dan kekasih di Palembang.” Pedal se­peda dikayuhnya habis-habisan, otot-otot kakinya bekerja keras, menghela roda-roda yang berputar semakin kencang.

Ini etape hidup dan mati. Etape sembilan merupakan peluang terakhir Fata­hillah memukul Kudentsov, musuh yang selalu mengajaknya baku kejar sejak awal lomba. Dan Sergey bukan anak yang baru kemarin bisa naik sepeda. Ku­dentsov adalah spesialis sprint yang sudah mengoleksi banyak gelar di Eropa dan Asia. Ia kini bergabung dengan tim Greenfield Fresh Milk (GFM).

Sebagai spesialis sprint, tentu Kudentsov tak mau hilang muka. Dan di nomor sprint itu harapan menjadi juara masih terbuka. Kans untuk menjuarai waktu tercepat sudah praktis tertu­tup setelah David McCan dari Irlandia membuat yang lain mustahil mengejar kecepatan waktu yang ditempuhnya. Di nomor tanjakan pun sudah keluar juara, pembalap asal Iran, Mehdi Faridi, menjadi yang paling cepat mengayuh di tanjakan.

Celaka bagi Kudentsov, di nomor sprint ia punya lawan tangguh, Fatahillah. Dan anak itu merupakan satu-satunya harapan Indonesia­ merebut gelar terhormat se­telah sejak empat tahun silam prestasi Indonesia jeblok. Fatahillah sebenarnya tidak meyakinkan. Tahun lalu ia terlempar dari 40 besar. Sungguh berat perjuang­an untuk menggenjot posisi juara dari prestasi sejauh itu.

Tapi tahun ini peta ber­ubah. Fatahillah, anggota tim Bintang Keranggan Cycling Club, Jakarta, sejak berang­kat sudah meyakin­kan. Ia menyapu bersih tiga titik sprint. Ia merebut etape ke­tujuh, Malang-Jember, yang­ menempuh jarak 181 kilometer.

Pembalap yang disiapkan untuk SEA Games 2007 ini terus melesat. Ia juara sprint di lintasan etape ke-8, dari Jember sampai Banyuwa­ngi. Sampai di situ saja ia sudah berhasil unggul lima poin atas Kudentsov, yang sempat menyapu tiga sprint di etape ke-6 antara Madiun dan Malang. Berada dalam an­caman si Rusia membuat Fatahillah senewen.

Dia bercerita di akhir lomba, begitu­ memimpin barisan pembalap yang meng­ular itu pundaknya makin berat. Rasa ge­lisah, tegang, tak berkurang saat ben­dera start berkibar. Untuk mengurangi­ stres, melalui radio komunikasi, Illah—pang­gilan kecilnya—tak henti-henti­ ”me­ngoceh” kepada sang pelatih, Mu­ham­mad­ Basri. ”Tolong bantu, bantu­ ­sa­ya un­tuk menang.” Yang terakhir ini cerita Bas­ri meng­ulangi ucapan anak buahnya.

Maka strategi dipasang. Di barisan sepeda yang melesat 44 kilometer per jam itu, di­sa­dari sulit lepas dari kelompok besar. Untuk menjaga selisih poin, Fatahillah perlu mengekor Kudentsov. Sementara itu, pelatih Basri me­merintahkan tiga pem­balap lainnya untuk me­lepaskan diri. Tidak masalah jika poin tertinggi direbut pembalap lain, asal bukan Kudentsov.

Kudentsov, 27 tahun, ter­nyata tidak sen­dirian. Empat rekannya yang masih bertahan terus menguntit tiga pembalap Bintang Keranggan agar tak lepas dari rombongan. Dua ”aktor utama”, Fatahillah dan Kudentsov, berada di te­ngah rombongan. Aksi kejar terus terjadi hing­ga dua kilometer menjelang Kabupaten Nega­ra. Kedua­nya menuju pertarungan hebat: titik sprint berada di kilometer ke-32,4 dari garis start.

Pada saatnya Fatahillah harus berju­ang sendiri. Kudentsov tahu persis itu. Begitu empat pendampingnya masuk rombongan besar, Kudentsov tancap kayuh. Fatahillah sadar taktik ini, dia pun ”pasang kuda-kuda”, meluncur deras 60 kilometer per jam. Sial, musuh tak ter­ke­jar. Makin jauh, makin lemah saja Fatahillah. Sera­tus meter menjelang titik sprint, malah pembalap Jepang, Masahiko Mifune, menyalip dari kiri. Masahiko merebut tempat kedua.

Lemas! Rasa percaya diri Illah terempas. Ia tertinggal dua poin dari musuh bebuyutannya. Fatahillah dalam tekanan. ”Saya tak yakin apakah bisa menang,” katanya seusai lomba menjelaskan saat tegang itu. Pelatih Ba­sri ambil kendali. Ia menggenjot sema­ngat anak buahnya, tapi Illah sempat resah karena masih ada satu sprint lagi.

Satu sprint sisa di etape sembilan itu merupakan penggan­ti gagalnya lomba sprint di Sumedang, pada etape pertama.­ Ketika itu panitia tak kuasa membersihkan jalan dari kendaraan lain sehingga peserta menolak melanjutkan lomba.

Sebatang pisang dan sebungkus jelly tak cukup menghilangkan panik Fatahillah. Suplai air minum menyegarkannya, tapi tidak menenteramkannya. Pembalap muda ini mencari-cari pendorong semangat. Aha, dia berulang tahun 28 November nanti, jadi dia bisa me­nandai hari penting itu dengan pres­tasi hebat. Ternyata itu mo­dal ampuh untuk menang di sprint kedua di Ubung, 116 kilometer dari garis start.

Sepeda Cannondale se­be­rat delapan kilogram yang dikayuh Fatahillah terus menempel Kudentsov. Rekan seklubnya mendukung. Agus Muhyanto dan tiga yang lain berusaha keras lepas dari kelompok besar. Tapi pembalap lain juga tambah cepat. Gagal lepas, gagal juga usaha merusak konsentrasi lawan. Fatahillah harus berjuang sendiri.

”Saya bingung bagaimana mengatasinya,” cerita Fatahillah tentang momen kritis itu. Semua serba gelap. Tapi Fatahillah ingat saat indah malam sebelum­nya, ”Pacar saya menelepon, membe­ri semangat.” Otot kakinya seperti men­dapat suntikan tenaga, kayuhannya makin mantap.

Saat itulah ia melihat bendera kuning dari juri di pinggir jalan. Dua kilometer lagi dari garis finish. Yang dilihat Fatahillah ternyata luput dari mata Kudentsov. Ketika Fatahillah deras menga­yuh ke depan, si Rusia tetap anteng di belakang—mungkin­ ia tengah menikma­ti ke­indahan Bali. Dari sisi kanan Kudentsov dilewati. Mulanya seperti tanpa perlawanan.

Tapi beberapa detik kemudian Kudentsov ”mengerang”, ia berusaha me­ngejar. Di garis finish, ia hanya bisa me­raih ban belakang Fatahillah. ”Rasanya lega, seperti ada beban berat yang lepas,” ujar Illah tentang kemenangannya.

Bebannya berkurang. Kini ia hanya­ per­lu memperta­han­kan perolehan wak­tu­ timnya. Cukup tiga pembalapnya ber­­gabung bersama kelompok besar, Bintang Keranggan aman di posisi empat besar klasemen tim. Mengayuh sepeda dengan santai, Fatahillah malah sempat melahap empat bungkus jelly dan sebatang pisang.

Pada kilometer yang tersisa, pikirannya sudah melayang-layang ke onggok­an uang hadiah Rp 25 juta sebagai juara sprint. Ditambah prestasi etape sebelum­nya, Fatahillah bisa membawa pulang sedikitnya Rp 50 juta.

Mungkin sambil mendayung menuju finish, Fatahillah sudah membayangkan untuk menabung dan kemudian membeli rumah di Yogyakarta, kota yang setiap hari ia jelajahi dengan sepeda. Jalan sempit berliku, di ujung jalan di sebelah kanan kelihatan laut menghampar. Pantai Kuta menyambut rombongan ”turis bersepeda” itu.

Sembilan hari berlalu, 1.352,2 kilometer ditempuh, dan lomba tahun ini bu­kan milik si asing—mereka yang bia­sa­nya datang berjemur di Pantai Kuta—melainkan milik Fatahillah, anak Ma­kassar itu. Di Pantai Kuta, Fatahillah bisa memanda­ngi wajah Kudentsov se­puas-puasnya, dengan lega.…

Adek Media Roza (Denpasar)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus