Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Teroris Baru

11 September 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEROR bom akan datang pada bulan-bulan berakhiran "ber" ini? Bukan tanpa alasan untuk mengkhawatirkannya. Bom meremuk lantai parkir Bursa Efek Jakarta, mencabut nyawa sepuluh orang, melukai 90 orang, pada 13 September 2000. Pada malam Natal tahun itu juga sejumlah kota diamuk ledakan bom, 16 orang tewas, hampir seratus cedera. Bom dengan korban terbesar di Indonesia meledak di Bali pada 12 Oktober 2002, merampas 202 jiwa dan melukai lebih dari 300 orang.

Pasti orang belum lupa, ledakan bom mobil bunuh diri di Kedutaan Australia di Jakarta, yang membunuh lima orang, terjadi pada 9 September 2004. Tahun 2005 hampir dianggap sepi bom kalau ledakan besar tidak mampir lagi di Bali dan merebut 22 nyawa. Lagi-lagi kejadian itu pada bulan "ber", tepatnya 1 Oktober.

Kelompok teroris mungkin punya alasan sendiri memilih bulan-bulan ini. Kenapa? Kita hanya bisa menduga. Mungkin karena pada 9 September 2001, kelompok Al-Qaidah, dengan membajak dua pesawat terbang berbahan bakar penuh, merontokkan menara kembar WTC di New York dan merebut 3.000 nyawa. Mungkin pagi celaka di jantung Amerika Serikat itu bagi komunitas teroris di segenap penjuru dunia menjadi semacam "monumen" yang harus "diperingati" setiap tahun. Lima tahun tragedi 911 kembali melintas di kalender pekan lalu. Orang ramai seakan menunggu yang buruk terjadi, dengan cemas, dengan takut.

Benar bahwa polisi terus bekerja mengusir rasa takut ini. Azahari, arsitek bom asal Malaysia yang diyakini ada di balik rangkaian ledakan selama ini, sudah ditewaskan pelor polisi dalam penyerbuan di Batu, Jawa Timur, November tahun lalu. Tapi sekondan utama Azahari, Noor Din M. Top, otak intelektual teror bom, belum juga dapat diciduk. Dari penyergapan polisi di Wonosobo, Jawa Tengah, pada April silam, lima bulan setelah Azahari tewas, diperoleh pengakuan bahwa Noor Din sudah berhasil membiakkan sel-sel baru, dengan pengikut muka-muka baru, yang mungkin lebih militan dan berbahaya.

Noor Din kabarnya masih berputar-putar di empat kota di Jawa Tengah. Percaya atau tidak, pola gerakannya mirip benar dengan patron besar terorisme, Usamah bin Ladin. Sejak Presiden Bush mengumandangkan perang melawan terorisme begitu menara WTC di New York roboh, sekaligus melakukan apa yang disebutnya strategi "transformasi Timur Tengah", yang terjadi malah sebaliknya: sel teroris bertumbuhan. Usamah memang tak pernah jelas hidup matinya, tapi orang keduanya, Ayman al-Zawahiri, ditengarai sudah mengembangkan sel-sel gerakan baru dari London sampai Lahore. Serangan Israel atas Hizbullah di Libanon ditaksir mempercepat tumbuh suburnya anak-anak ranting kelompok bawah tanah yang sudah tak peduli siapa korban "perang" yang dilancarkannya-argumen balik mereka: adakah bom Israel di Libanon bisa memilih korban tak bersalah?

Berbalas "pantun" begini belum akan habis. Sama halnya dengan "jihad" yang sudah jelas dilancarkan terhadap Amerika dan sekutunya. Tanpa perlu berdebat setuju atau tidak dengan definisi "jihad" para pelaku itu, semangat melawan AS dan pendukungnya itu konon dipompakan dengan giat di Iran, Pakistan, Arab Saudi, sejumlah negara lain, dalam sel-sel tertutup yang terus merambat dan meluas, termasuk juga di negeri ini.

"Jihad" seolah membuat segalanya menjadi halal. Dengan menempelkan stiker "anti-Islam" pada Amerika, jaringan terorisme di negeri ini diyakini mendapatkan cukup amunisi untuk berkembang. Celakanya, negeri kita menyediakan begitu banyak amunisi tambahan. Isu kemiskinan, korupsi, ketidakadilan, rendahnya pendidikan, konflik etnis dan agama, merupakan bahan bakar yang membuat tokoh seperti Noor Din Top seakan menemukan "rumah besar"-nya di sini. Ide yang ditawarkan tokoh ini ternyata laku dan disambut banyak anak muda. Bahkan seorang sipir penjara di Bali manut pada perintah Imam Samudra, tokoh peledakan bom Bali, untuk menyiapkan komputer jinjing di balik terali penjara.

Tidak mudah meredam aksi teroris itu, walaupun bukan tanpa jalan. Perlu usaha bersama melawan upaya Noor Din dan sekutunya memperluas jaringan-yang kabarnya kini memiliki kitab manual yang detail. Para ulama yang rasional bisa ambil bagian besar. Konsep semacam member gets member dalam ilmu pemasaran itu bisa ditangkal dengan gerakan penyadaran jihad yang semestinya dalam konteks negara aman seperti Indonesia ini. Menyadarkan satu orang yang terbujuk teroris mungkin sama dengan mempersempit satu langkah gerakan berbahaya itu.

Tentu saja polisi perlu lebih rigad bekerja pada bulan-bulan "ber"ini. Kerja sama dengan tokoh masyarakat sampai tingkat RT dan RW perlu digalang untuk membarikade meluasnya jaringan teroris. Sementara itu pemerintah harus mempercepat pekerjaan besar jangka panjangnya: memberantas kemiskinan dan kebodohan. Tanpa itu, rakyat belum akan bebas dari rasa cemas dan takut, pada bulan "ber-ber" atau bulan lainnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus