Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Obituari

Pranawengrum dan The Singing Family

Ikon musik seriosa Indonesia itu berpulang pekan lalu pada usia 63 tahun.

11 September 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seorang etnolog Belanda menyebut negeri ini sebagai The Singing Islands. Dari ujung ke ujung negeri, penduduknya tak henti bernyanyi. Lamento, kata orang Italia. Bersenan­dung atau nembang, kata kita. Lamen, senandung, tembang, atau nyanyian men­jadi dasar musik paling tua di dunia. Orang belum bermain musik sebelum menghayati roh nyanyi di dalam sukma dan hati. Vokal maupun instrumental. The art of singing menjadi latar utama pembentuk kultur musik anak bangsa.

Awal 1950-an, beberapa tahun pasca­-proklamasi kemerdekaan, orang-orang berbudaya di Indonesia sudah menyadari hal itu. Arena Bintang Radio RRI menjadi salah satu forum pembentukan watak budaya Indonesia baru. Inilah forum musik tahun­an berskala nasional yang dicermati semua warga. Bintang Radio bukan sekadar hajatan suka-suka buru hadiah dan popularitas, tapi adalah agenda pengisian sistem nilai baru bagi sebuah republik yang sedang bangkit. Sebuah politik budaya yang bersemangat serba Indonesia.

Di Yogya, salah satu pusat perjua­ngan pembentukan budaya baru Indonesia, seorang remaja putri memenangi lomba olah vokal tingkat daerah pada 1961. Inilah forum awal rekrutmen penyanyi muda sebelum memasuki jenjang kompetisi Bintang Radio yang lebih profesional. Remaja itu baru berumur 18 tahun, duduk di kelas dua SMA. Pada tahun itu ia juga memenangi forum yang sama di tingkat nasional. Dialah Pranawengrum, remaja kalem bersuara emas.

Pembimbing musik Pranawengrum, Dhaldjono—ayah pemusik kenamaan A. Rianto—kemudian menganjurkan Pra­nawengrum untuk beradu nasib di kompetisi Bintang Radio. Menang. Tembus sebagai juara pertama di tingkat lokal Daerah Istimewa Yogyakarta, ia mendapat gelar baru sebagai juara ha­rapan pada tingkat nasional di Jakarta.

Ini prestasi langka, mengingat saat itu forum musik seriosa Bintang Radio didominasi oleh penyanyi-penyanyi mapan era 1950-an yang lebih senior. Se­perti Norma Sanger, Ade Ticualau, Surti Suwandi, Rukmini, Kusmini Prodjolalito, Sari Indrawati, dan lain-lain. Pranawengrum, yang baru berumur 19 tahun, menyelinap mengambil posisi di antara ”Sejuta Bintang” ”Wanita” ”Dahaga”, seperti judul-judul tembang yang menjadi lagu wajib forum bergengsi itu.

Pranawengrum terus bergiat diri berlatih olah vokal. Antara lain di sanggar musik Koesbini, seniman gaek yang pada 1930-an dikenal sebagai penyanyi kenamaan dan buaya keroncong era Pasar Malam Gambir. Dia tekun berlatih paduan suara di Pusat Olah Vokal Yogyakarta, yang diasuh oleh N. Simanungkalit dan F.X. Soetopo. Di Pusat Olah Vokal dan Paduan Suara Kodam VII Diponegoro Yogyakarta, Prana­wengrum bertemu pemuda terpelajar Amoroso Katamsi, yang kemudian menikahinya pada 1964. Hasil ketekunan latihan olah vokal itu nyata. Pranaweng­rum Katamsi naik daun menjadi kampiun sejati Bintang Radio, menggeser para senior dan pesaing lainnya tujuh kali berendeng sejak 1964.

Keluarga Pranawengrum lantas tumbuh menjadi the singing family yang lo­yal, berdisiplin, dan konsisten pada pi­lihan hidup seni dan musik. Di samping sebagai dokter, perwira tinggi TNI, dan penggiat berbagai organisasi (mantan­ Kepala RS Gatot Soebroto, dan Direktur­ PPFN), suaminya adalah penyanyi te­nor, aktor (Teater Kecil asuhan Arifin­ C. Noer), dan bintang film. Putri pertama­nya, Ratna Arumsari, adalah pianis dan penyanyi. Putra keduanya, Dody Keswara, adalah rocker yang cukup dikenal. Dan putri ketiganya, Aning Katamsi, adalah penyambung gen ibu­­nya se­ba­gai penyanyi dan pianis yang tak asing. Rumah mereka di kompleks Angkatan Laut, Pejaten, tak seperti rumah tentara yang penuh komando, tapi le­bih mirip kampus musik yang tak henti menggemakan nada-nada irama musik.

Pranawengrum yang wafat Senin Wage pekan lalu pada usia 63 tahun meninggalkan sebuah kultur yang amat berharga: kultur bersenandung pada keluarganya, juga pada seni vokal di Indonesia. Jasanya terhadap penghiburan banyak manusia membuat arwahnya akan disambut oleh sejuta bidadari yang menyanyikan lagu-lagu langit surgawi yang indah dan syahdu.

Selamat jalan, Mbak Rum. Suara emasmu akan tinggal di bumi.

Suka Hardjana

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus