Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Robot Penghidang Anggur

11 September 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tersebutlah ”se­­orang”­­ wine-bot. Dia­lah ro­­bot yang bakal meng­­­is­ti­­rahatkan para penghidang anggur. Robot itu sanggup menggantikan peran seorang sommelier profesional: memi­lah, menilai, dan merekomen­dasikan anggur terbaik yang pantas dinikmati. Sang robot bahkan bekerja lebih efisien.

Wine-bot bekerja dalam sa­tu langkah: anggur ditem­bak­ dengan sinar inframerah yang ada di tangannya, tung­gu­­ sekejap, dan kualitas anggur segera diketahui. Ban­­ding­kan dengan protokol ba­­ku pa­ra sommelier yang ka­ku, yang terdiri dari tiga­ langkah utama: see, sniff, dan sip (pandang, cium, dan sesap).

Robot setinggi setengah me­­teran itu dikembangkan oleh NEC System Techno­logies dan Universitas Mie. Rasa dan je­nis anggur diukur berdasarkan perbedaan panjang gelombang cahaya inframe­rah yang diserap minuman. Ha­silnya bisa disampaikan dalam bentuk suara mau­pun di tayangkan di monitor.

Awalnya, wine-bot dikembangkan untuk mengidentifikasi makanan. Lalu, ”kami memutuskan untuk mem­fo­kus­kannya pada anggur ka­re­na tantangannya terlihat­ lebih nyata,” kata Hideo ­Shi­­­mazu, Direktur NEC, ke­pada AP.

Sayangnya, kemampu­an­ ­ro­­­bot itu masih terba­tas­. Ada ri­buan varian minuman anggur di dunia, dan wine-bot ha­nya dapat membedakan be­berapa lusinnya. Karena itu, sungguhpun sudah siap bekerja, status robot­ ini di­nyatakan masih prototipe. Apa kata para sommelier?

”Manusia akan selalu le­bih unggul dibanding robot­ dalam soal menyesap, membaui, dan menilai tekstur­ minuman anggur. Manusia juga dapat membuat penilai­an kualitatif yang berbasis pada kombinasi faktor-faktor itu,” ujar Dan Coward dari Bibendum Wine Limi­ted.

Senjata Pamungkas Antraks

Koleksi senjata pemunah penyakit antraks bakal bertambah. Obat ciptaan tim peneliti Amerika Serikat dan Kanada ini diyakini akan menjadi resep pamungkas untuk ”mesiu” senjata biologi itu, jika antibiotik dosis tinggi gagal bekerja.

Obat ini bekerja dengan cara tak lazim: tidak sece­patnya menghancurkan bak­te­ri penyebabnya, Bacillus anthracis, tapi membiarkan bakteri itu mati perlahan-lahan di dalam tubuh karena kelaparan. Caranya, ”Dengan menciptakan bantalan protein yang membuat bakteri itu tak dapat menempel dan masuk ke sel-sel tubuh,” ujar Dr Ravi S. Kane, anggota tim peneliti Institut Po­liteknik Rensselaer, New York, Amerika Serikat. Karena tak dapat menginfeksi sel tubuh, bakteri itu tak menyebabkan orang jatuh sakit.

Obat yang terbukti manjur pada tikus itu kini tengah disiapkan dengan uji klinis pada manusia.

Perkenalkan, Ubi Yahukimo

Ubi cilembu seperti liliput di sisi ubi yahukimo. Ukuran ubi yahukimo 2-3 kali lebih besar, beratnya 2 kilogram per butir. Pantaslah warga Kabupaten Yahukimo, Papua, menjadikannya makanan pokok.

Ubi ini mendadak ter­kenal­ sekitar setahun lalu, ketika­ ter­jadi tragedi Yahukimo. Wak­tu itu ubi tak dapat dipa­nen akibat­ cu­aca buruk, se­hing­ga meng­akibatkan 55 warga­ me­ninggal dunia dan 4.507 lainnya terancam kelaparan.

Kini bayangkanlah te­naga­ yang diperoleh se­te­lah mema­kan ubi ini, karena 80 persen­ isinya adalah karbohidrat yang menjadi sumber tenaga untuk manusia. Rasanya?

Ubi cilembu memang enak dan tersedia di rak-rak super­market. Tapi sebentar lagi ubi yahukimo siap menjadi kudapan lezat. Ubi garing ini memiliki kadar air enam persen, “Sehingga mudah di­jadikan tepung,” ujar Dr. Ir. Dahrul Syah, Ketua Depar­temen Ilmu­ Teknologi Pangan Fa­kul­tas Teknologi Pertanian­ Institut Pertanian Bogor­.

Tim peneliti IPB berhasil membudida­yakan ubi yahukimo di Cibungbulang, Bo­gor, dua tahun lalu. Hasilnya men­janjikan. Satu hektare meng­hasilkan 30-35 ton, pada­hal hasil panen ubi jenis lain hanya sekitar sepertiganya.

IPB sudah membagikan ubi itu kepada petani di sekitar Bogor. Mereka juga membentuk klaster industri berbasis ubi untuk mengembangkan produksi tepung ubi yahukimo agar mereka tak sekadar menjadi petani penjual ubi.

Dengan begitu, ”Keuntungan petani lebih besar,” ujar Dahrul kepada Tempo. Sementara ubi mentah cuma laku Rp 1.000 per kilogram, setelah menjadi tepung harganya Rp 4.000 per kilogram. Pasar pun terbuka lebar. Menurut Dahrul, ada sebuah pabrik tepung besar yang mengaku membutuhkan 50 ton ubi per bulan.

Namun masih ada masa­lah. Angka produksi 30-35 ton ubi per hektare ha­nya dihasilkan di kebun­ IPB . Panen para petani Cibungbulang baru 14 ton per hektare. ”Mereka kurang memperhatikan pemeliha­raan,” kata Dahrul.

Deffan Purnama

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus