Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tersebutlah ”seorang” wine-bot. Dialah robot yang bakal mengistirahatkan para penghidang anggur. Robot itu sanggup menggantikan peran seorang sommelier profesional: memilah, menilai, dan merekomendasikan anggur terbaik yang pantas dinikmati. Sang robot bahkan bekerja lebih efisien.
Wine-bot bekerja dalam satu langkah: anggur ditembak dengan sinar inframerah yang ada di tangannya, tunggu sekejap, dan kualitas anggur segera diketahui. Bandingkan dengan protokol baku para sommelier yang kaku, yang terdiri dari tiga langkah utama: see, sniff, dan sip (pandang, cium, dan sesap).
Robot setinggi setengah meteran itu dikembangkan oleh NEC System Technologies dan Universitas Mie. Rasa dan jenis anggur diukur berdasarkan perbedaan panjang gelombang cahaya inframerah yang diserap minuman. Hasilnya bisa disampaikan dalam bentuk suara maupun di tayangkan di monitor.
Awalnya, wine-bot dikembangkan untuk mengidentifikasi makanan. Lalu, ”kami memutuskan untuk memfokuskannya pada anggur karena tantangannya terlihat lebih nyata,” kata Hideo Shimazu, Direktur NEC, kepada AP.
Sayangnya, kemampuan robot itu masih terbatas. Ada ribuan varian minuman anggur di dunia, dan wine-bot hanya dapat membedakan beberapa lusinnya. Karena itu, sungguhpun sudah siap bekerja, status robot ini dinyatakan masih prototipe. Apa kata para sommelier?
”Manusia akan selalu lebih unggul dibanding robot dalam soal menyesap, membaui, dan menilai tekstur minuman anggur. Manusia juga dapat membuat penilaian kualitatif yang berbasis pada kombinasi faktor-faktor itu,” ujar Dan Coward dari Bibendum Wine Limited.
Senjata Pamungkas Antraks
Koleksi senjata pemunah penyakit antraks bakal bertambah. Obat ciptaan tim peneliti Amerika Serikat dan Kanada ini diyakini akan menjadi resep pamungkas untuk ”mesiu” senjata biologi itu, jika antibiotik dosis tinggi gagal bekerja.
Obat ini bekerja dengan cara tak lazim: tidak secepatnya menghancurkan bakteri penyebabnya, Bacillus anthracis, tapi membiarkan bakteri itu mati perlahan-lahan di dalam tubuh karena kelaparan. Caranya, ”Dengan menciptakan bantalan protein yang membuat bakteri itu tak dapat menempel dan masuk ke sel-sel tubuh,” ujar Dr Ravi S. Kane, anggota tim peneliti Institut Politeknik Rensselaer, New York, Amerika Serikat. Karena tak dapat menginfeksi sel tubuh, bakteri itu tak menyebabkan orang jatuh sakit.
Obat yang terbukti manjur pada tikus itu kini tengah disiapkan dengan uji klinis pada manusia.
Perkenalkan, Ubi Yahukimo
Ubi cilembu seperti liliput di sisi ubi yahukimo. Ukuran ubi yahukimo 2-3 kali lebih besar, beratnya 2 kilogram per butir. Pantaslah warga Kabupaten Yahukimo, Papua, menjadikannya makanan pokok.
Ubi ini mendadak terkenal sekitar setahun lalu, ketika terjadi tragedi Yahukimo. Waktu itu ubi tak dapat dipanen akibat cuaca buruk, sehingga mengakibatkan 55 warga meninggal dunia dan 4.507 lainnya terancam kelaparan.
Kini bayangkanlah tenaga yang diperoleh setelah memakan ubi ini, karena 80 persen isinya adalah karbohidrat yang menjadi sumber tenaga untuk manusia. Rasanya?
Ubi cilembu memang enak dan tersedia di rak-rak supermarket. Tapi sebentar lagi ubi yahukimo siap menjadi kudapan lezat. Ubi garing ini memiliki kadar air enam persen, “Sehingga mudah dijadikan tepung,” ujar Dr. Ir. Dahrul Syah, Ketua Departemen Ilmu Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor.
Tim peneliti IPB berhasil membudidayakan ubi yahukimo di Cibungbulang, Bogor, dua tahun lalu. Hasilnya menjanjikan. Satu hektare menghasilkan 30-35 ton, padahal hasil panen ubi jenis lain hanya sekitar sepertiganya.
IPB sudah membagikan ubi itu kepada petani di sekitar Bogor. Mereka juga membentuk klaster industri berbasis ubi untuk mengembangkan produksi tepung ubi yahukimo agar mereka tak sekadar menjadi petani penjual ubi.
Dengan begitu, ”Keuntungan petani lebih besar,” ujar Dahrul kepada Tempo. Sementara ubi mentah cuma laku Rp 1.000 per kilogram, setelah menjadi tepung harganya Rp 4.000 per kilogram. Pasar pun terbuka lebar. Menurut Dahrul, ada sebuah pabrik tepung besar yang mengaku membutuhkan 50 ton ubi per bulan.
Namun masih ada masalah. Angka produksi 30-35 ton ubi per hektare hanya dihasilkan di kebun IPB . Panen para petani Cibungbulang baru 14 ton per hektare. ”Mereka kurang memperhatikan pemeliharaan,” kata Dahrul.
Deffan Purnama
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo