Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Apel Tawa di Penjara

11 September 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Jarang-jarang orang kangen pada penjara. Tetapi Joni Rompas, yang baru sebulan menjadi orang bebas, merindukan suasana rumah tahanan Kabupaten Trenggalek, Jawa Timur. ”Dia kangen penjara, tetapi nggak mau balik lagi,” kata Suhariyanto, Kepala Rumah Tahanan Trenggalek, mengisahkan pertemuannya dengan Joni, Selasa dua pekan lalu, kepada Tempo.

Sebelum masuk rumah tahanan (rutan), wajah Joni—dia bandar judi togel di Trenggalek—selalu runyam. Tetapi sejak menjadi ”alumni” rutan, wajah­nya cengar-cengir. Dan, astaga, ternyata ini tak ada hubungannya dengan lepasnya dia dari rutan. Wong si Joni malah ka­ngen pada kehidupan bui. Jadi?

Semua ini berpangkal pada menu baru Suhariyanto dalam apel pagi seluruh tahanan pada setiap pukul tujuh. Sejak Februari lalu, Kepala Rutan memerintahkan segenap tahanan tertawa lepas selama 15 menit—sebelum dilanjutkan dengan senam kesegaran.

Awalnya, mereka ogah-ogahan. Te­tapi mana mungkin menolak pe­rin­tah Kepala Rutan? ”Pokoknya, ka­mi paksa tertawa. Kalau ada yang tidak tertawa, hukumannya membuat tahanan lain tertawa,” kata Suhariyanto.

Aksi mereka macam-macam, mulai da­ri meniru polah binatang seperti kera atau anjing hingga kentut sekeras-ke­rasnya. Yang paling manjur meman­cing tawa adalah jika seorang tahanan berbadan gempal, penuh tato, menirukan gaya gemulai Tessy Srimulat. Bahkan tahanan yang paling sangar bisa terbahak tidak keruan. ”Ada yang sampai ngompol saking terpingkal-pingkalnya,” Suhariyanto melanjutkan.

Ide menggelitik urat tawa itu terbetik saat dia membaca diktat anaknya yang kuliah di fakultas psikologi. Di situ disebutkan, tertawa bisa menjadi terapi kejiwa­an, menghilangkan stres, dan membikin awet muda. Langsung dia teringat pada wajah-wajah murung di penjara. ”Saya coba saja, wong tidak keluar ongkos,” katanya.

Hasilnya? Ternyata manjur bukan main. Kunjungan tahanan ke klinik kesehatan turun drastis. Setiap pekan, minimal ada dua tahanan yang dirawat karena pusing atau tekanan darah tinggi. Selama tiga bulan terakhir, ha­nya satu orang yang mampir ke klinik.

Agung Rulianto, Sunudyantoro (Surabaya)

Sayang Anak Bakar Dukun

Usai menutup lapak dagingnya di Pasar Pekanbaru, Riau, Irwan Rambai Chaniago menyambangi rumah Ki Haryo Pamungkas, paranormal yang buka praktek di Jalan Kutilang, Pekanbaru. Lokasinya gampang diketahui, sebab ada papan nama ”Ki Haryo Guru Pengobatan dan Pakar Ilmu Pelet”. Se­mula, Irwan datang dengan keluhan sakit pinggang. Pria 51 tahun ini rutin berobat sejak Februari lalu.

Kendati tak kunjung sembuh, Irwan juga membawa putrinya, Erma Vera, ke rumah dukun berusia 53 tahun itu, Maret lalu. Dia minta Ki Haryo menyembur putrinya yang berumur 23 tahun itu menjadi pintar. Agar studi Erma di Aka­demi Perawat Pekanbaru cepat kelar. ”Ki Haryo bilang anak saya menderita gangguan batin,” katanya.

Si dukun menyatakan siap menyulap otak Erma menjadi encer. ”Saya percaya saja,” kata Irwan. Singkat kata, anak-­ber­anak itu menjadi langganan Ki Haryo. Belakangan, Erma rajin menyambangi Ki Haryo tanpa ditemani ayahnya. Apa gerangan yang terjadi? ”Dari kawannya, saya tahu dia jatuh hati pada dukun itu,” kata Irwan.

Irwan tak sudi bermantu dukun. Apalagi usia Ki Haryo lebih tua darinya, doyan kawin pula. Putrinya akan dijadikan istri kelima. Istri keempat Ki Haryo, Setiaty, 38 tahun, merestui hubungan asmara ini. ”Mereka sama-sama cinta,” kata ibu tiga anak ini. ”Rencana nikah akhir Agustus ini.”

Irwan geram. Maka, dirancanglah upaya menghalangi asmara Erma-Ki Haryo. Selain melarang anaknya, Irwan juga minta Ki Haryo menghentikan rayuannya. Namun, upaya itu gagal. Erma dan Ki Haryo malah makin lengket. ”Saya yakin dia kena pelet,” kata Irwan. ”Ini tidak wajar.”

Pada 24 Juli lalu, Irwan tak enak hati kala anaknya tak di rumah. Pikirannya langsung tertuju pada Ki Haryo. Dia pun meluncur ke rumah ”pakar pelet” itu. Dia bertanya ke manakah gerangan putrinya. ”Baru keluar dari sini,” jawab Ki Haryo seperti diulangi Irwan. ”Saya naik pitam.”

Berbalas pantun pun berlangsung. Suara makin lama kian tinggi. Amarah Irwan memuncak. Dia keluar dari rumah Ki Haryo. Dia menuju mobilnya, menyedot sebotol bensin dari tangki, dan kembali lagi. Lalu disiramnya tubuh Ki Haryo dengan bensin. Korek api di­nyalakan. Ki Haryo pun terpanggang.

Melihat lawannya terbakar, Irwan tancap gas menuju rumah kerabatnya di kompleks Angkatan Udara Pekanbaru. Sore itu juga Irwan menyerahkan diri ke Kepolisian Sektor Sukajadi.

Sedangkan Ki Haryo dilarikan ke Rumah Sakit Tabrani Rab, Pekanbaru. Erma mendampingi kekasihnya itu di rumah sakit. Dia bergiliran dengan Setiaty. Terkadang mereka menjaganya bersama. Enam hari dirawat, dukun itu tewas. Sedangkan Irwan berada di balik terali besi. Penyidik melimpahkan perkara Irwan ke Kejaksaan Negeri Pekanbaru, Agustus ini. ”Tak apa, demi anak,” katanya.

Nurlis E. Meuko, dan Jupernalis Samosir (Pekanbaru)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus