Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Mencari emas dengan abon dan tempe

Indonesia meraih medali emas olimpiade. bekas Uni Soviet tetap unggul, tapi Jerman bersatu belum kompak

8 Agustus 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BAGI para pencinta olahraga di sini, Olimpiade Barcelona, yang diliput secara luas oleh siaran televisi dan berita koran, memiliki arti tersendiri. Baru kali inilah Indonesia bakal menyabet medali emas di arena ini, setelah bulu tangkis dipertandingkan. Sampai Senin pekan ini kubu Indonesia telah memastikan memetik sebuah medali emas, dua perak, dan sejumlah perunggu dari cabang bulu tangkis. Kepastian itudiperoleh setelah pemain tunggal putra Alan Budi Kusuma menaklukkan pemain Denmark Thomas Stuer Lauridsen. Dan terjadilah All Indonesian Final di tunggal putra. Alan lawan Ardy Wiranata atau Hermawan Susanto. Hebatnya lagi, tiga pemain tunggal putra Indonesia (Alan, Ardy, dan Hermawan) yang ditampilkan di olimpiade, semuanya sampai ke babak semifinal, tak satupun yang tersisih oleh pemain lawan. Maka satu-satunya pemain asing yang menyelip masuk di babak ini cuma Thomas Stuer Lauridsen dari Denmark. Berarti, di tunggal putra, semua jago Cina dan Malaysia sudah pada gugur. Zhoa Jianhua, unggulan utama yang sebelumnya diramalkan menjegal Ardy difinal, sudah dipecundangi pemain Indonesia, Hermawan Susanto, di babak perempat final. Bagi Hermawan, peristiwa ini amat penting. Sebab dari delapankali bertemu dengan Zhoa Jianhua, baru kali inilah ia bisa menang. "Saya selalu mempertahankan irama permainan yang cepat," katanya seakan menganalisa kunci penyebab keberhasilannya itu. Ketua Umum PB PBSI Jenderal Try Sutrisno, yang menonton langsung pertandingan itu, mengucapkan syukur. "Sampai hotel jangan macam-macam. Pijat, makan, dan tidur," pesannya kepada para pemain. Medali perak yang lain dihasilkan pemain tunggal putri Susi Susanti. Di semifinal Susi menaklukkan Huang Hua dari Cina. "Kali ini saya main ngotot, maunya menang terus," kata Susi yang mengaku tegang. Sejak 5 Desember 1991 Susi selalu berdoa di gereja. Untuk emas? "Saya mau hari esok lebih baik dari yang sekarang," katanya. Berangkat ke Barcelona, Susi berbekal abon, tempegoreng, dan ikan teri goreng. Harapan satu lagi medali emas bisa datang dari raket Susi. Ganda putra Eddy Hartono/Gunawan juga sudah pasti menghasilkan medali perunggu. Mereka juga lolos ke semifinal dan akan menjajal pasangan Cina, LiYongbo/Tian Bingyi, guna berebut tempat di final. Di cabang tinju, Albert Papilaya berhasil masuk ke delapan besar, menyamai prestasi Ferry Moniaga di Olimpiade Munich 1972. Sayang, temannya yang satulagi (Hendrik Simangunsong) sudah tersisih. Tentu saja semua ini membuat kubu Indonesia bersorak. Barcelona mengukir sejarah bagi mereka. Padahal Barcelona kini agaknya menjadi salah satu kotatermahal di dunia. Apa saja dijual dengan harga selangit. Begitu laporan wartawan TEMPO Liston P. Siregar dari kota itu. Tapi orang seperti tak peduli, tetap datang berduyun-duyun ke sana. Olimpiade kali ini memang cukup menarik karena berlangsung di saat perang dingin, yangselama ini menghantui dunia, telah berakhir. Pesta akbar olahraga ini tanpa boikot. Sejumlah negara seperti Cuba dan Korea Utara yang empat tahun lalu memboikot olimpiade Seoul, Korea Selatan, kini berpartisipasi. Di olimpiade ini pula Afrika Selatan tampil sebagai peserta, setelah terkucil selama 32 tahun. Albania, negeri paling miskin di Eropa, turut pula mengirim delapan atletnya, sekalipun untuk itu mereka berutang Rp 50 juta ke bank. "Uang itu harus kamikembalikan begitu kontingen kami pulang dari Barcelona," kata Arben Jorgoni, Ketua Komite Olimpiade Albania. Malah negeri yang dilanda perang, seperti Bosnia-Herzegovina, memaksakan diri dengan susah payah untuk mengirim atlet ke pesta olahraga ini. Sejumlah 26atlet negeri itu menerobos kepungan tentara YugoSlavia dengan bus lapis baja, dikawal tentara. Maka inilah pertarungan dengan peserta terlengkap dengan 172 negara peserta, jumlah terbesar selama ini dan minim bau politis. Maka yang mencuat adalahkomersialisasi. Agak di luar dugaan, bekas Uni Soviet yang kini muncul sebagai Persemakmuran Negara Merdeka (PNM) tampaknya masih tetap dominan dalam pengumpulan medali. Hingga Senin pekan ini atlet-atlet PNM tetap bertengger di puncak dengan mengumpulkan 32 medali emas. Amerika Serikat yang favorit jauh tertinggal dengan cuma 17 emas. Di kolam renang pun PNM tampil mengejutkan. Atlet botak bertubuh kerempeng, Evyeny Sadovyi, 19 tahun, malah mampu mencuri tiga emas. Yaitu di nomor 200gaya bebas(bersama Dmitry Lepikov, Vladimir Pyshnenko, dan Veniamin Taianovich). Kecuali di 200 gaya bebes, kemenangan emas bagi Sadovyi malah disertai denganpemecahan rekor dunia baru. Dengan prestasi itu Sadovyi bisa disejajarkan dengan J. Weismuller (merebut tiga emas Olimpiade Paris 1924), Shollander (empat emas di Olimpiade Tokyo 1964), Speate (lima emas di Olimpiade Munich 1972), dan Matt Biondi (lima emas di Olimpiade Seoul 1988). Sadovyi mengaku jadi perenang karena sakitsakitan di masa kecil. Berkat ibunya yang tiap hari memaksanya nyebur ke kolam renang, cintanya pada airtumbuh pesat. Sewaktu Soviet bubar dan kesulitan ada di mana-mana gizi rendah,vitamin kurang, dan tak ada tempat berlatih Sadovyi tetap berlatih semampunya. "Dulu olah raga milik negara dan segalanya tunduk padanya," kata Sadovyi. Kini, setelah Uni Soviet bubar, kolam 'Ozoro Krugloe', yang dijadikan tempat TC atlet renang, sempat dijadikan rebutan antara atlet dan orang-orang kaya baru yang berweekend. Pihak pengurus rupanya membutuhkan dana, maka kolam itu disewakan untuk orang-orang berduit. Walau begitu, disiplin dan pola latihan dasar tetap dijalankan si atlet. Beruntunglah mereka, kemudian muncul sponsor sehingga para atlet bisa berlatihdi Perbukitan Asia Tengah. Petembak wanita Marina Logvinenko (Rusia), peraih emas di nomor tembak pistol, berlatih sendiri ditemani pelatih yang sekaligus suaminya, Vladimir Logvinenko. Ia berlatih menembak di lorong apartemennya. Mengapa motivasi mereka tetap bertahan? Agaknya, iklim keterbukaan yang mulai dinikmati masyarakat luas di bekas Uni Soviet itu berdampak dalam memicu prestasi. Para coach dan atlet bisa menerapkan pola latihan baru yang mereka anggap baik, tanpa takut itu akan dicap dosa seperti dulu. Iming-iming jadi atlet prof seperti peloncat galah Bubka, yang sudah jadi jutawan, juga jadipemicu penting. Lihatlah, begitu regu senam PNM menggondol emas, hampir pasti mereka dikontrak oleh sebuah perusahaan Swedia. Pegulat Aleksander Karelin, yangturun di nomor Yunani-Roma kategori 130 kilogram, juga dikontrak perusahaan film dari Hollywood setelah ia menggondol emas. Bagaimana dengan Jerman? Sejarah membuktikan bahwa Jerman bersatu bisa hebat. Pada Olimpiade 1936 di Berlin, Jerman bersatu jadi pengumpul medali terbanyak.Setelah negeri itu terbelah, Jerman Timur selalu mencatat rekor menonjol di olimpiade. Di Barcelona, setelah Jerman kembali bersatu ternyata belum sekuat dulu. Majalah ilmiah populer New Scientist menurunkan laporan bahwa perbedaan antara blok Timur dan Barat terletak pada penerapan teknik ilmiah pada segi latihan atletnya. Jerman Timur dianggap unggul memakai perangkat monitor untuk membantu memperbaiki teknik, kekuatan, dan kecepatan atletnya. Olahraga tampaknya jadi alat politik. Semua upaya dikayuh untuk prestasi atlet, termasuk dana. Jerman Timur menghabiskan anggaran untuk olahraga hampirseparuh dari anggaran militernya. Pusat komunitas olahraga terbesar ada di Leipzig, meliputi pemain, pelatih, ilmuwan, dan teknisi. Dari 2.000 penghuni komunitas itu, 600 di antaranya adalah teknisi olahraga. Sistem ini kemudian dikenal luas di Eropa Timur. Dengan sistem itu setiap pelatih akhirnya bekerja secara profesional. Gaji dan fasilitas mereka cukup memadai. Tapi jika atletnya gagal berarti petaka:si pelatih akan dicampakkan oleh pemerintah. Akibatnya, pelatih menekan atletnya untuk berprestasi, malah ada yang menyuruh atletnya melakukan doping. Ini ternyata sudah meluas dan belakangan terbongkar. Yang paling aktual, kasus perenang Astrid Strauss. Ia dituduh memakai anabolic steroid. Ia membantah. Teman-temannya menuduh hukuman itu terjadi karena rasa iri orang Jerman Barat atas Jerman Timur. Kritik ke federasirenang Jerman pun muncul. Timbul percekcokan. Tak aneh kalau prestasi Jerman bersatu ini tak berkilat di Barcelona. Widi Yarmanto (Jakarta), Bambang Purwantara, dan Denis Petrogradski (Eropa Timur).

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus