Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Hardi nan molek

Pelukis hardi mengadakan pameran retrospeksi di gedung pameran seni rupa dep. p dan k, jakarta. kini ia tak lagi melontarkan kritik sosial, tapi berusaha mengungkapkan dengan keindahan ekspresi

8 Agustus 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PELUKIS Hardi lebih dikenal dengan karya-karya protesnya. Ia dikenal sebagai salah seorang tokoh Gerakan Seni Rupa Baru yang menentang kemapanan seni rupa Indonesia di tahun 1975. Di masa ini ia misalnya membuat lukisan-lukisan yang "keluar" dari keterbatasan dua dimensi. Sesudah itu ia dikenal sebagai pelukis yang mengangkat tema-tema protes sosial. Lukisannya mengetengahkan berbagai gejala kepincangan politik dan sosial. Karyanya pada tahun 1980, Nyoman Dollar misalnya memprotes dikomersialkannya Bali. Di sini digambarkan perempuan tua Bali yang termenung. Di latar belakang ada sejumlah turis asing. Tapi kini dalam perkembangan paling akhir, Bali yang muncul dalam kanvas Hardi, adalah Bali yang indah. Lukisan-lukisannya menampilkan misalnya panorama Tanah Lot dengan langit warna-warni nan elok. Atau gadis penari nan molek dengan kostum cerah-ceria. Dan inilah yang terlihat pada pameran Hardi minggu lalu di Gedung Pameran Seni Rupa Departemen P dan K Gambir, Jakarta. Ia sekaligus menyebutnya pameran retrospeksi. Apa yang terjadi pada pelukis jebolan ASRI Yogya dan akademi senirupa Jan van Eyck, Belanda, ini? Tak ada yang salah. Perubahan, lumrah terjadi dalam perjalanan seni lukis. Tapi orang mungkin kecewa karena berharap ia tetap menampilkan kepedulian sosial yang tajam seperti karya-karyanya di pertengahan tahun 70 lalu. Di sisi lain pameran retrospeksinya ternyata menampilkan terutama karya-karya mutakhirnya (1989-1992). Babak dalam perjalanan kariernya, yang justru penting malah samar diketengahkan. Dalam sebuah pameran retrospeksi orang mestinya bisa seluruh peta perkembangan rohani atau jati diri sang seniman. Tapi "peta seni" Hardi -- yang kini baru 41 tahun -- digelar sangat tidak lengkap. Dari 70 lukisan yang dipamerkan hanya 12 yang dibikin sekitar awal tahun 70-an hingga pertengahan tahun 80-an. Justru 12 lukisan itu -- kelompok yang sedikit -- yang menarik. Selain semacam monumen bagi "masa gemilang" Hardi, karya-karya itu memantulkan ungkapan Hardi yang sejati. Juga sejarah pergeseran idenya. Pada lukisan Kop Gadis dan Pemandangan Sawah (1970) yang dituangkan dengan pendekatan realistik, Hardi menghadirkan sapuan warna-warna oker, cokelat tua, hijau dan sedikit warna merah pada kanvas ukuran kecil. Pendekatan potret yang biasanya dilakukan pemula. Ketika setahun kemudian, 1971, ia mencoba bermain dengan bidang-bidang barik atau tekstur -- dibentuk menjadi sebuah komposisi dinamis -- sang pelukis melakukan loncatan tajam. Ia menyapukan warna-warna kelam yang menutup hampir semua bidang permukaan kanvas, kemudian menorehkan garis warna terang sebagai aksentuasinya. Perubahan gaya mencolok ini dengan sadar dipengaruhi aliran yang menggejala dan populer di kalangan akademi saat itu: lukisan abstrak. Secara komposisi, bentuk dan warna lukisan abstrak Hardi menampilkan puisi visual yang menarik. Namun daya ungkapnya masih susah diraba sebagai "bahasa jiwa". Karya serinya Raba Teksture (1972), misalnya, tak lebih dari sekedar permainan bentuk dan warna yang diatur mengikuti gerak alam batin. Sayang, "masa gemilang" Hardi ketika ia bergabung dengan Gerakan Seni Rupa Baru di tahun 1970'an, ketika ia menjelajahi berbagai media, dan menawarkan tema-tema alternatif, nyaris tidak terwakili. Periode ini diwakili hanya dua karya, Monalisa dan Presiden 2001. Padahal banyak karya yang saat itu sempat dihasilkannya, mencerminkan gaya yang khas seniman muda yang lugas. Masih dalam retrospeksinya, pada periode 1985-1986, terlihat Hardi mulai meninggalkan kegarangan. Temanya masih tetap nasib "wong cilik" tapi penyampaiannya tak lugas. Hardi di masa ini berusaha mengungkapkan ide dengan "bahasa seni" yang lazim, yaitu keindahanekspresi. Lukisan-lukisan yang ditampilkan mewakili periode ini, Dua pengemis di Lampu Merah (1985) dan Pejuang Sejati (1986). Di antara latar kanvas yang terisi sapuan kasar warna kental, ia menghadirkan nuansa kerakyatan yang tajam, yang juga sering tampak pada Sudjojono. Adapun karya terbarunya -- babak terbaru dalam perjalanan Hardi mencari tema dan bentuk ungkapan batinnya -- menampilkan perubahan besar. Sebuah lompatan ke aliran yang lain. Kini ia tidak lagi melontarkan kritik sosial yang menohok. Seperti terlihat dalam pamerannya pekan lalu, lukisan-lukisannya menampilkan puluhan pesona keindahan yang menebarkan rasa aman dan nyaman. Lihat misalnya Upacara Adat Bali yang teduh. Atau figur-figur penari yang menjadi obyek puluhan karyanya seperti Legong, Penari Gandrung, Dua Penari Betawi, Penari di Pantai. Pendeknya indah, molek, cerah. Bahkan dalam Karisma Macan Tutul dan Dua Jantan, keperkasaan, kegagahan atau kejantanan itu jadi lumer karena agaknya Hardi enggan melepaskan warna-warna indah yang cerah meriah. Pada semua karya mutakhirnya ia menempatkan obyek lukisannya, dalam kompisi yang diperhitungkan. Menyatu dengan warna-warna terang (hijau, kuning, merah, putih, jingga, biru). Dalam hal seperti ini ia memang menguasainya. Maka apa pun obyeknya, tetap menarik. Walhasil, dari pameran tunggal ke-12 ini masih sulit melacak peta perjalanan seni lukis Hardi. Ke arah mana sebenarnya pendulum bergerak secara intens. Barangkali ini karena pendeknya jarak waktu pameran retrospeksi yang memang baru 20 tahun. S. Malela Mahargasarie.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus