Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Mengapa 7-6

Tim bulutangkis putra indonesia kalah oleh tim rrc dalam dwilomba di singapura tetapi tim putri menang. rahasia sukses rrc.

1 Maret 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI ruang ganti pakaian, Liem Swie King terduduk lemas pada malam itu. Ia seperti menyesali emosi yang dilepasnya dengan membanting raket di lapangan. Habis, waktu itu, saya kesal sekali," katanya. "Menurut perhitungan, smash saya tak mungkin meleset." Ia mengaku perbuatan itu terjadi di luar sadarnya. King, lahir di Kudus, 28 Februari 1956, menurut perhitungan komputer bioritma, memang lagi memasuki hari kritis. Nilai untuk fisik, sensitivitas, serta intelegensinya masing-masing tercatat 22, 26, dan 17. Sedang angka dari hari gawatnya adalah 23, 28, dan 17. Data ini direkam berdasarkan catatan hari lahir dan saat pertandingan. Di depan 6.000 penonton yang memadati gedung bulutangkis Singapura (23 Februari), King memang tampak seolah dihimpit beban mental yang berat. Harapan Indonesia untuk memenangkan dwilomba melawan RRC empat angka berada di tangannya. Dan partainya melawan Han Jian, tunggal kedua RRC, merupakan pertandingan yang menentukan kalah atau menang bagi tim. Dari enam partai yang sudah dimainkan, kedudukan 3-3. Ong Poh Lim, pemain Piala Thomas Malaya di tahun 50-an, menilai tak hanya faktor itu yang membuat King kehilangan sentuhan melawan Han Jian. "Reputasi King sebagai pemain terkenal juga menjadi taruhan," ujarnya. "Sebaliknya, Han Jian. Kalah atau menang baginya tak jadi soal." King kalah dalam marathon set 11-15, 15-4, dan 17-18. Kegagalan King menambah angka kemenangan telah mengangkat moral tim RRC memasuki permainan lanjutan. "Kalau Han Jian tidak menang, agak berat buat kami memenangkan dwilomba ini," komentar Hou Chia Chang, pelatih tim RRC. Ia benar. Lihat saja, ketika pasangan Tjuntjun/Ade Chandra melawan Sun Zhi An/Yao Xi Ming. Sekalipun mereka sempat kehilangan set pertama, pemain ganda RRC ini dengan cepat berbalik menundukkan lawan. Di mata Ong, pasangan Tjuntjun/Ade Chandra merupakan titik lemah dari tim Indonesia. Mengapa mereka yang diturunkan? "Habis, siapa lagi," kata manajer tim, Suharso Suhandinata. Perjodohan Tjuntjun/Ade Chandra terjadi dua hari menjelang keberangkatan ke Singapura. Lantaran Johan Wahyudi, pasangan Tjuntjun sehari-hari, membengkak betis kirinya. Kelemahan perjodohan Tjuntjun/Ade Chandra kelihatan pula oleh Johan Wahyudi. "Lihat saja, waktu malam pertama, mereka seperti main sendiri-sendiri," katanya. "Untuk menjalin saling pengertian dalam pertandingan tak mungkin dilakukan dalam tempo pendek." Dalam pertandingan hari pertama (22 Februari) Tjuntjun/Ade Chandra disikat oleh Luan Jin/Lin Jiang Li 6-15 dan 10-15. Pemasangan ganda Tjuntjun/Ade Chandra dikritik tajam pula oleh Stanley Gouw. Bekas pembina PBSI itu dulu melahirkan pasangan kampiun Christian/Ade Chandra. "Kalau mau gambling (berjudi dengan nasib) kenapa tidak Kartono/Heryanto Saputra saja yang dimainkan," kata Gouw. "Mereka memang kurang dalam pengalaman. Tapi itu 'kan bisa diimbangi semangat dan stamina." Dalam pelatnas Kartono/Heryanto Saputra merupakan pasangan muda yang tak gampang ditundukkan baik oleh Christian/Ade Chandra maupun Tjuntjun/Johan Wahyudi. MENURUT pelatih Tahir Jide, sekiranya Kartono/Heryanto yang diturunkan, belum tentu itu mengubah keadaan. "Untuk pertandingan seberat ini dituntut mental yang tinggi," sela Johan Wahyudi. Kartono dan Heryanto, masing-masing 25 tahun, termasuk angkatan termuda di pelatnas. Pemain lainnya, kecuali King, sudah berkisar antara 28 sampai 30 tahun. Ketika dilontarkan nama Tjuntjun/Ade Chandra ke dalam undian, sempat pasar taruhan di Singapura terpengaruh karenanya. Banyak yang menyangka pasangan 'baru' sama tangguhnya dengan Christian/Liem Swie King. Yang merasa lega cuma Hou. Setelah mendeteksi penjodohan Tjuntjun/Ade Chandra, pelatih RRC itu menunjukkan keyakinan bahwa anak asuhannya bisa meraih angka dari mereka. Pasar taruhan sebelumnya, yang kebanyakan 6-3 untuk Indonesia, turun jadi 5-4. Hanya Shirley Tan, kolumnis olahraga New Nation yang meramalkan RRC menang 5-4. Sudirman, Ketua Umum PBSI konon kaget bukan karena merosotnya pasar taruhan untuk Indonesia, tapi karena pemasangan Iie Sumirat sebagai pemain tunggal kedua. "Waktu di Jakarta adalah Dhany Sartika disepakati sebagai pemain kedua," katanya. Ia mengutarakan itu di kantin Wisma Indonesia, 24 jam setelah kekalahan Iie atas Han Jian di malam pertama. Dasar pemilihan Dhany, menurut dia, adalah keuletan pemain ini di lapangan. Di pelatnas, ia memang selalu dipakai untuk menguji pemain lain dalam beradu napas. "Iie, karena usianya, diharapkan bermain all out, habis-habisan, melawan tunggal ketiga RRC," lanjut Sudirman. Dan "meraih satu angka." Iie kini berusia 30 tahun. Kedudukan seri dari empat partai pembukaan, termasuk kekalahan Iie, telah menjadi topik diskusi hangat di kalangan pembina PBSI. "Menurut you apa yang harus kami lakukan untuk memenangkan dwilomba ini," kata manajer Suharso dalam kamarnya di Hotel Merlin kepada Herry Komar (TEMPO) dan Ardi Syarief (Pos Kota). Usul pun berlontaran, antara lain mengenai penambahan insentif bagi pemain. "Itu sudah dilakukan," kata Bendahara PBSI, Titus Kurniadi. "Kalau sebelumnya kami kasih Valium 2 sekarang Valium 5." Ia tak menyebut angka dalam rupiah. Iie, entah terangsang oleh tingginya dosis insentif, memang memperlihatkan permainan prima dalam pertandingan lanjutan. Ia semula diperhitungkan bakal kalah lagi. Ong, kini warganegara Singapura, sampai terbengong-bengong melihat penampilan Iie. Kali ini ia mengritik kelemahan lawannya, Yan Yu Jiang, yang keras kepala mengajak Iie beradu cermat di depan jaring. "Jiang telah menamatkan nasibnya sendiri," komentar Ong. "Iie itu maestro di muka jaring, dan tak seorang pun yang dapat memperdayakannya di daerah tersebut." Kekalahan Dhany atas tunggal ketiga RRC Luan Jin, menurut Ong, lantaran pemain kidal Indonesia ini berbuat bodoh. "Ia telah memberi kesempatan pada lawan untuk mencari napas dengan minta lantai dilap beberapa kali maupun dengan membuka sepatunya," lanjut Ong. Tahir Jide pernah menghampiri Dhany waktu ia membuka sepatu, dan mencoba memberi nasihat. Tapi ia malah menghindar ke tengah lapangan. "Padahal partai itu adalah pertandingan menentukan," kata pelatih itu. Usaha untuk memenangkan dwilomba Indonesia-RRC tak cuma dilakukan orang Jakarta dengan menaikkan uang perangsang. Juga semua hubungan telepon ke kamar pemain diblokir. Ditempatkan pula seorang polisi Singapura berpakaian preman untuk mencegat pengunjung tak dikenal. Ia berjaga dari jam 06.00 sampai 24.00. "Siapa tahu ada orang iseng," cerita Titus. Mengamankan pemain dari bandar suap? "Kalau tak berjaga-jaga, nanti disalahkan lagi," lanjut Titus. "Apalagi kalau kita sampai kalah." Percakapan itu terjadi menjelang pertandingan hari kedua. Bahwa bandar judi mungkin mencoba menggerayangi pemain, Gouw percaya ada usaha semacam itu. Tapi Gouw maupun Sudirman tidak melihat tanda bahwa anggota tim Indonesia terkena sogok. "Saya percaya para pemain bersih dari hal itu," kata Sudirman, yang semula di Jakarta menyalakan isyarat bahaya suap tersebut. Kekalahan tim Indonesia, menurut Wong Peng Soon, hanya dikarenakan faktor ketidak-beruntungan semata. "Coba, kalau King tidak kalah, hasilnya pasti lain," kata warganegara Singapura itu yang jadi juara All England 3 kali (1950, 1951 dan 1952). Rekannya, Ong menambahkan masih sukar menentukan siapa yang terkuat antara Indonesia dan RRC. Yang jelas ialah sebagian anggota regu Indonesia tak berada dalam kondisi terbaik. Iie mengalami kelainan urat di pinggang. Dhany sakit tenggorokan. Tjuntjun, kaki kanannya bisulan. Tak semua obat untuk mereka diperoleh di Singapura. Untuk Tjuntjun, misalnya, pimpinan tim terpaksa memesan ichthyol zalf (salep hitam) dari Jakarta. Dan baru tiba pagi hari menjelang pertandingan pembukaan. "Kita sudah cari-cari obat itu di sini ternyata tak dapat," ujar Tltus. Yang juga jelas ialah tim putra RRC kini tak mengandalkan kebolehan dalam nomor tunggal saja. Pasangan gandanya juga memperlihatkan kemajuan pesat. Gaya permainan mereka hampir sama dengan pola Indonesia bermain cepat dan tak membiarkan pengembalian bola lawan yang naik tanpa di-smash. "Ada maju sedikit, lah," komentar Hou. Dan tim RRC menang 5-4, termasuk dua angka disabetnya dari partai ganda keduanya dari pasangan Tjuntjun/Ade Chandra. Kekalahan tim putra Indonesia sedikit terobat oleh penampilan regu putri. Ivanna Lie Ing Hoa terutama mengejutkan. Pernah ia dikalahkan oleh pemain tunggal kedua RRC, Zhang Ai Ling di Hongkong (Desember 1979). Dan ia menebus kekalahannya itu di Singapura. Tekad itu memang sudah lama dipatoknya. Bahkan ia sengaja Januari lalu membatalkan keberangkatannya ke turnamen bulutangkis Piala Dunia di Tokyo, hanya untuk bisa berlatih lebih tekun. Lawan yang disingkirkannya dalam dwilomba kali ini ialah Liu Xia, kampiun nasional RRC. Ivanna menang 12-9 dan 12-10 setelah lebih dulu, dalam kedua set, ketinggalan 7-9 dan 7-9. Pelatih tim putri RRC, Chen Yu Niang juga mengakui penampilan Ivanna di Singapura lebih baik dibandingkan dengan di Tokyo. Tapi "patut diketahui suhu tropis (30 derajat Celcius) di Singapura ikut merongong Liu Xiz," katanya. Temperatur di RRC sebelum mereka berangkat adalah 15 derajat di bawah titik beku. Kemenangan lain dicatat pula oleh Verawaty dalam partai tunggal dan ganda. Di nomor perorangan. Ia mengalahkan Zhang Ai Ling. Di partai ganda, bersama Imelda Wiguno, ia menundukkan pasangan Han Ai Ping/Xie Le Ping. Satu-satunya kehilangan tim putri Indonesia dari empat partai yang dipertandingkan adalah sewaktu Ivanna/Tjan So Gwan melawan Liu Xia/Zhang Ai Ling. Ini merupakan kekalahan terbesar pertama dari regu wanita RRC. Sukses tim putri itu pula yang menyelamatkan Indonesia dari kejatuhan total. Secara keseluruhan Indonesia masih menang 7-6. Di Hongkong dulu angkanya 11-3. Regu putri waktu itu dimainkan dalam 5 partai. "Masih unggul 'kan," kata Suharsono menghibur diri. Namun, menurut Sudirman, kekalahan tim putra harus dijadikan pelajaran untuk memperbaiki diri. Ada yang salah? Gouw melihat sudah saatnya masalah teknis diperhatikan di samping soal fisik. Ia, dikatakannya, sudah menyampaikan hal itu kepada KONI. "Sepulang dari sini, KONI akan ikut turun tangan langsung menangani pembinaan bulutangkis," kata Ketua Bidang Pembinaan KONI, Gatot Suwagio. Ia menambahkan untuk Kejuaraan Bulutangkis Dunia di Jakarta, Mei nanti PBSI tak lagi akan berjalan sendiri mempersiapkan tim. Rudy Hartono, juara All England 8 kali, ikut pula berkomentar. Terutama ia menyinggung soal kesempatan brtanding supaya lebih banyak bagi pemain muda, agar tak terdapat jurang pemisah prestasi antara angkatan Tjuntjun, 28 tahun, dan generasi penerusnya. "Kita sebetulnya tak kekurangan bakat," kata pelatih Ridwan. Ia menyebut misalnya Icuk Sugiarto dan Sigit Pamungkas dari SMP/SMA Olahragawan di Ragunan, Jakarta. Dalam seleksi untuk dwilomba kemarin, Icuk sempat merepotkan Lius Pongoh, bekas pemain Piala Thomas 1979. Apa arti kemenangan tim putra RRC bagi Wurld Badminton Federation (IBF)? Sudirman meramalkan pihak VBI, organisasi bulutangkis tandingan yang disponsori RRC, akan merayakan kemenangan ini secara besar-besaran bertepatan dengan dua tahun usianya WBF didirikan di Hongkong, 25 Februari 1978. Sedang Indonesia berada di kubu lain, Inernational Badminton Federation (IBF). Unsur lain yang menopang sukses tim putra RRC -- di samping mereka juga tangguh -- adalah dorongan penonton. Hampir 70% dari pengunjung gedung olahraga yang berkapasitas 6.000 orang itu memihak RRC. Sekitar 2.000 suara yang pro Indonesia telah ditelan sorak-sorai balasan dari mereka. "Biasa, ini 'kan Singapura," komentar seorang sopir taksi keturunan Melayu di sana. Dwilomba ini diadakan di Singapura, menurut Sudirman, selain pemerintah RI belum mengizinkan anak-anak Indonesia bermain di kandang sendiri maupun di RRC, juga semacam 'balas jasa' pada mereka. "Di tahun 50-an adalah Ong Poh Lim dkk yang memperkenalkan kita pada dunia bulutangkis," kata Sudirman. "Kita belajar dan berlatih dengan mereka." Di Singapura pula Indonesia meraih Piala Thomas, 1958. Gedung yang dipakai waktu itu adalah juga tempat dwilomba kemarin. Tapi pekan lalu Indonesia maupun RRC sama-sama kecipratan untung. Masing-masing dapat 20% dari hasil bersih. Panitia penyelenggara mengeluarkan tiket seharga S$ 6, 25, 50, dan 100. Bahkan pada wartawan tertentu dikenakan bayaran S$ 20. Suatu hal yang baru pertama kali terjadi dalam peliputan olahraga. Diperkirakan kedua tim yang bertanding akan mendapat S$ 20.000. Dikabarkan RRC semula tak ambil pusing soal pembagian uang ini. Mereka baru mengetahui setelah ada penjelasan Indonesia. Jumlah pemasukan resmi belum diketahui. Tapi 2 hari sebelum pertandingan tiket sudah terjual habis dalam tempo cuma 3 jam. Banyak pembeli tiket S$ 100 datang dari Indonesia, antara lain terlihat Sri Sultan Hamengkubuwono IX, D. Soeprajogi, dan beberapa pengurus KONI Pusat yang lain.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus