SIDI Marajo, petani cengkih di Lubuk Buaya, Padang
mengernyitkan dahinya ketika mengetahui penetapan harga
pembelian cengkih oleh KUD sebesar Rp 6.500 per kg. "Itu
merugikan petani," katanya pekan lalu. Di Pasar Kota Padang,
harganya bergerak antara Rp 8.000 - Rp 9.000/kg.
Keluhan yang sama juga terdengar di Lampung. H. Sulaiman, 50
tahun, yang memiliki kebun cengkih seluas 4 ha di Desa Tarahan,
Lampung Selatan, berkata "Saya menurut saja apa kehendak
pemerintah, walau sekarang harga di pasar mencapai Rp 8.000
sekilo."
Para pedagang pengumpul di Banda Aceh masih memasang harga
penawaran Rp 9.500-Rp 10.000 per kg. Bahkan hampir 80% dari
produksi Kabupaten Aceh Besar yang 350 ton itu dibeli para
pedagang antar pulau. KUD di Desa Keude Being, Kecamatan
Leupung, Kabupaten Aceh Besar hampir tak berfungsi. Salah
seorang pengurusnya mengeluh "ketiadaan modal".
Dirjen Perdagangan Dalam Negeri, Kardjono Wirioprawiro yang baru
pekan lalu kembali dari Minahasa, mengakui masih banyak petani
yang belum jelas tentang pola tata niaga cengkih yang baru. Juga
belum semua dana yang disediakan pemerintah didrop kepada KUD.
"Banyak petani yang belum mengerti tentang harga dasar,"
katanya. "Tapi petani tak perlu khawatir, penetapan harga itu
hanya bersifat sementara yang bisa diubah kemudian." Begitu
juga, menurut Kardjono, dengan harga dasar lelang yang Rp 7.000
di tempat pelelangan itu. Dengan pola tata maga sekarang ini
pemerintah bermaksud agar harga dasar jangan sampai merosot.
Kalau misalnya harga itu tidak dicapai maka P.T. Kerta Niaga
akan turun di pelelangan. Sebagai penampung stok P.T. Kerta
Niaga yang bernaung di bawah Depardagkop akan melakukan
pembelian dengan harga Rp 7.000/kg untuk cengkih dengan kadar
air 14% dan kadar kotoran 5%.
Diperkirakan pada musim panen raya tahun ini Indonesia akan
menghasilkan sekitar 38.000-40.000 ton. Untuk itu BRI telah
menyediakan dana Rp 15,3 milyar. Sebagai produsen utama,
Sulawesi Utara yang tahun ini diperkirakan menghasilkan 18.000
ton akan mendapat Rp 5,4 milyar. Aceh dengan produksi 6.000 ton
Rp 2,7 milyar, Maluku dengan produksi sekitar 4.000 ton Rp 2,9
milyar, Sum-Ut yang hanya 1.000 ton akan mendapat droping kredit
BRI Rp 450 juta Sedang Sum-Bar yang produksinya ditaksir 3.000
ton disediakan dana Rp 1,35 milyar. Lain daerah seperti Riau,
Jambi, Kal-Sel, Sul-Teng dan Bengkulu kebagian Rp 51 juta.
Resminya, sejak 15 Januari hanya KUD yang boleh membeli cengkih
dari petani. Para pedagang, agen-agen pabrik rokok kretek tidak
diizinkan lagi membeli langsung dari petani. Namun kenyataannya,
pelaksanaan Keppres No. 8/1980 tentang tata niaga cengkih hasil
produksi dalam negeri ini belum jalan. "Tim masih sibuk ke
daerah-daerah menilai KUD yang pantas dan dekat dengan daerah
produksi," kata Made Oka, Sekretaris I Tim dari Kanwil
Perdagangan kepada Muchlis Sulin dari TEMPO. Tampaknya pihak Tim
memerlukan seleksi yang cermat.
Rawan
Terlepaskah petani dari jaringan ijon? Itu tidak mudah. Sistem
ijon ini sudah berakar di kalangan masyarakat desa. Sampai pekan
lalu, di Desa Pauh dan Lubuk Buaya, jaringan rokok Bentoel masih
mendatangi rumah-rumah penduduk. "Mereka itu datang untuk
menyelesaikan kontraknya dengan para petani," ujar Hasan Samah,
pengurus KUD setempat.
Dan di Lampung ada beberapa agen 3-Besar seperti Gudang Garam,
Jambu Bol dan Jarum membeli cengkih langsung dari petani.
"Memang seluruh KUD di Lampung belum ada yang melakukan
pembelian cengkih," kata pejabat Kanwil Koperasi Dati I Lampung
kepada Effendi Sa'at dari TEMPO.
Kalangan pedagang menyebut Lampung sebagai daerah cengkih yang
cukup rawan. Selain masalah ijon masih ada pengusaha berusaha
menyelundupkan cengkih ke Jawa tanpa dilindungi dengan Surat
Keterangan Asal (SKA) dan SRC. Buktinya, baru-baru ini KP-3
Pelabuhan Serengsem (Panjang) berhasil menangkap 8 ton cengkih
milik MKA Empat Serangkai Jaya yang diangkut dengan truk
gandengan.
Di Aceh, 14 KUD sudah disiapkan untuk membeli cengkih dari
petani. Kredit yang disediakan BRI untuk itu sejumlah Rp 2,7
milyar. Tapi "yang akan disalurkan untuk ke-14 KUD hanyalah Rp
643 juta," kata Idris Yus, Kepala Kanwil Koperasi Aceh kepada
pembantu TEMPO Darmansyah. Dibandingkan dengan produksi yang
diperkirakan 6.000 ton kredit itu sangat kecil. Sebagaimana di
daerah lain, di serambi Mekah ini ijon masih merajalela.
"Separuh dari produksi cengkih di Pulau Simeulue, Aceh Barat
yang 2.000 ton adalah milik pengijon," ujar A. Rahman, 61 tahun,
Keta KUD Simeulue Timur. Ia tak yakin 4 buah KUD di pulau itu
mampu membeli.
Masalahnya, selama ini KUD sudah terlalu banyak dibebani kredit.
Baik berupa uang tunai maupun peralatan scperti mesin
penggilingan padi dan alat penyemprot hama. Termasuk pemberian
kredit yang tidak diminta oleh KUD.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini