DI ruang ganti pakaian, Liem Swie King terduduk lemas pada malam
itu. Ia seperti menyesali emosi yang dilepasnya dengan
membanting raket di lapangan. Habis, waktu itu, saya kesal
sekali," katanya. "Menurut perhitungan, smash saya tak mungkin
meleset." Ia mengaku perbuatan itu terjadi di luar sadarnya.
King, lahir di Kudus, 28 Februari 1956, menurut perhitungan
komputer bioritma, memang lagi memasuki hari kritis. Nilai untuk
fisik, sensitivitas, serta intelegensinya masing-masing tercatat
22, 26, dan 17. Sedang angka dari hari gawatnya adalah 23, 28,
dan 17. Data ini direkam berdasarkan catatan hari lahir dan saat
pertandingan.
Di depan 6.000 penonton yang memadati gedung bulutangkis
Singapura (23 Februari), King memang tampak seolah dihimpit
beban mental yang berat. Harapan Indonesia untuk memenangkan
dwilomba melawan RRC empat angka berada di tangannya. Dan
partainya melawan Han Jian, tunggal kedua RRC, merupakan
pertandingan yang menentukan kalah atau menang bagi tim. Dari
enam partai yang sudah dimainkan, kedudukan 3-3.
Ong Poh Lim, pemain Piala Thomas Malaya di tahun 50-an, menilai
tak hanya faktor itu yang membuat King kehilangan sentuhan
melawan Han Jian. "Reputasi King sebagai pemain terkenal juga
menjadi taruhan," ujarnya. "Sebaliknya, Han Jian. Kalah atau
menang baginya tak jadi soal." King kalah dalam marathon set
11-15, 15-4, dan 17-18.
Kegagalan King menambah angka kemenangan telah mengangkat moral
tim RRC memasuki permainan lanjutan. "Kalau Han Jian tidak
menang, agak berat buat kami memenangkan dwilomba ini," komentar
Hou Chia Chang, pelatih tim RRC. Ia benar. Lihat saja, ketika
pasangan Tjuntjun/Ade Chandra melawan Sun Zhi An/Yao Xi Ming.
Sekalipun mereka sempat kehilangan set pertama, pemain ganda RRC
ini dengan cepat berbalik menundukkan lawan.
Di mata Ong, pasangan Tjuntjun/Ade Chandra merupakan titik lemah
dari tim Indonesia. Mengapa mereka yang diturunkan? "Habis,
siapa lagi," kata manajer tim, Suharso Suhandinata. Perjodohan
Tjuntjun/Ade Chandra terjadi dua hari menjelang keberangkatan ke
Singapura. Lantaran Johan Wahyudi, pasangan Tjuntjun
sehari-hari, membengkak betis kirinya.
Kelemahan perjodohan Tjuntjun/Ade Chandra kelihatan pula oleh
Johan Wahyudi. "Lihat saja, waktu malam pertama, mereka seperti
main sendiri-sendiri," katanya. "Untuk menjalin saling
pengertian dalam pertandingan tak mungkin dilakukan dalam
tempo pendek." Dalam pertandingan hari pertama (22 Februari)
Tjuntjun/Ade Chandra disikat oleh Luan Jin/Lin Jiang Li 6-15 dan
10-15.
Pemasangan ganda Tjuntjun/Ade Chandra dikritik tajam pula oleh
Stanley Gouw. Bekas pembina PBSI itu dulu melahirkan pasangan
kampiun Christian/Ade Chandra. "Kalau mau gambling (berjudi
dengan nasib) kenapa tidak Kartono/Heryanto Saputra saja yang
dimainkan," kata Gouw. "Mereka memang kurang dalam pengalaman.
Tapi itu 'kan bisa diimbangi semangat dan stamina." Dalam
pelatnas Kartono/Heryanto Saputra merupakan pasangan muda yang
tak gampang ditundukkan baik oleh Christian/Ade Chandra maupun
Tjuntjun/Johan Wahyudi.
MENURUT pelatih Tahir Jide, sekiranya Kartono/Heryanto yang
diturunkan, belum tentu itu mengubah keadaan. "Untuk
pertandingan seberat ini dituntut mental yang tinggi," sela
Johan Wahyudi.
Kartono dan Heryanto, masing-masing 25 tahun, termasuk angkatan
termuda di pelatnas. Pemain lainnya, kecuali King, sudah
berkisar antara 28 sampai 30 tahun.
Ketika dilontarkan nama Tjuntjun/Ade Chandra ke dalam undian,
sempat pasar taruhan di Singapura terpengaruh karenanya. Banyak
yang menyangka pasangan 'baru' sama tangguhnya dengan
Christian/Liem Swie King. Yang merasa lega cuma Hou. Setelah
mendeteksi penjodohan Tjuntjun/Ade Chandra, pelatih RRC itu
menunjukkan keyakinan bahwa anak asuhannya bisa meraih angka
dari mereka. Pasar taruhan sebelumnya, yang kebanyakan 6-3 untuk
Indonesia, turun jadi 5-4. Hanya Shirley Tan, kolumnis olahraga
New Nation yang meramalkan RRC menang 5-4.
Sudirman, Ketua Umum PBSI konon kaget bukan karena merosotnya
pasar taruhan untuk Indonesia, tapi karena pemasangan Iie
Sumirat sebagai pemain tunggal kedua. "Waktu di Jakarta adalah
Dhany Sartika disepakati sebagai pemain kedua," katanya. Ia
mengutarakan itu di kantin Wisma Indonesia, 24 jam setelah
kekalahan Iie atas Han Jian di malam pertama.
Dasar pemilihan Dhany, menurut dia, adalah keuletan pemain ini
di lapangan. Di pelatnas, ia memang selalu dipakai untuk menguji
pemain lain dalam beradu napas. "Iie, karena usianya, diharapkan
bermain all out, habis-habisan, melawan tunggal ketiga RRC,"
lanjut Sudirman. Dan "meraih satu angka." Iie kini berusia 30
tahun.
Kedudukan seri dari empat partai pembukaan, termasuk kekalahan
Iie, telah menjadi topik diskusi hangat di kalangan pembina
PBSI. "Menurut you apa yang harus kami lakukan untuk
memenangkan dwilomba ini," kata manajer Suharso dalam kamarnya
di Hotel Merlin kepada Herry Komar (TEMPO) dan Ardi Syarief (Pos
Kota). Usul pun berlontaran, antara lain mengenai penambahan
insentif bagi pemain. "Itu sudah dilakukan," kata Bendahara
PBSI, Titus Kurniadi. "Kalau sebelumnya kami kasih Valium 2
sekarang Valium 5." Ia tak menyebut angka dalam rupiah.
Iie, entah terangsang oleh tingginya dosis insentif, memang
memperlihatkan permainan prima dalam pertandingan lanjutan. Ia
semula diperhitungkan bakal kalah lagi. Ong, kini warganegara
Singapura, sampai terbengong-bengong melihat penampilan Iie.
Kali ini ia mengritik kelemahan lawannya, Yan Yu Jiang, yang
keras kepala mengajak Iie beradu cermat di depan jaring. "Jiang
telah menamatkan nasibnya sendiri," komentar Ong. "Iie itu
maestro di muka jaring, dan tak seorang pun yang dapat
memperdayakannya di daerah tersebut."
Kekalahan Dhany atas tunggal ketiga RRC Luan Jin, menurut Ong,
lantaran pemain kidal Indonesia ini berbuat bodoh. "Ia telah
memberi kesempatan pada lawan untuk mencari napas dengan minta
lantai dilap beberapa kali maupun dengan membuka sepatunya,"
lanjut Ong.
Tahir Jide pernah menghampiri Dhany waktu ia membuka sepatu, dan
mencoba memberi nasihat. Tapi ia malah menghindar ke tengah
lapangan. "Padahal partai itu adalah pertandingan menentukan,"
kata pelatih itu.
Usaha untuk memenangkan dwilomba Indonesia-RRC tak cuma
dilakukan orang Jakarta dengan menaikkan uang perangsang. Juga
semua hubungan telepon ke kamar pemain diblokir. Ditempatkan
pula seorang polisi Singapura berpakaian preman untuk mencegat
pengunjung tak dikenal. Ia berjaga dari jam 06.00 sampai 24.00.
"Siapa tahu ada orang iseng," cerita Titus.
Mengamankan pemain dari bandar suap? "Kalau tak berjaga-jaga,
nanti disalahkan lagi," lanjut Titus. "Apalagi kalau kita sampai
kalah." Percakapan itu terjadi menjelang pertandingan hari
kedua. Bahwa bandar judi mungkin mencoba menggerayangi pemain,
Gouw percaya ada usaha semacam itu.
Tapi Gouw maupun Sudirman tidak melihat tanda bahwa anggota tim
Indonesia terkena sogok. "Saya percaya para pemain bersih dari
hal itu," kata Sudirman, yang semula di Jakarta menyalakan
isyarat bahaya suap tersebut.
Kekalahan tim Indonesia, menurut Wong Peng Soon, hanya
dikarenakan faktor ketidak-beruntungan semata. "Coba, kalau King
tidak kalah, hasilnya pasti lain," kata warganegara Singapura
itu yang jadi juara All England 3 kali (1950, 1951 dan 1952).
Rekannya, Ong menambahkan masih sukar menentukan siapa yang
terkuat antara Indonesia dan RRC.
Yang jelas ialah sebagian anggota regu Indonesia tak berada
dalam kondisi terbaik. Iie mengalami kelainan urat di pinggang.
Dhany sakit tenggorokan. Tjuntjun, kaki kanannya bisulan. Tak
semua obat untuk mereka diperoleh di Singapura. Untuk Tjuntjun,
misalnya, pimpinan tim terpaksa memesan ichthyol zalf (salep
hitam) dari Jakarta. Dan baru tiba pagi hari menjelang
pertandingan pembukaan. "Kita sudah cari-cari obat itu di sini
ternyata tak dapat," ujar Tltus.
Yang juga jelas ialah tim putra RRC kini tak mengandalkan
kebolehan dalam nomor tunggal saja. Pasangan gandanya juga
memperlihatkan kemajuan pesat. Gaya permainan mereka hampir sama
dengan pola Indonesia bermain cepat dan tak membiarkan
pengembalian bola lawan yang naik tanpa di-smash. "Ada maju
sedikit, lah," komentar Hou. Dan tim RRC menang 5-4, termasuk
dua angka disabetnya dari partai ganda keduanya dari pasangan
Tjuntjun/Ade Chandra.
Kekalahan tim putra Indonesia sedikit terobat oleh penampilan
regu putri. Ivanna Lie Ing Hoa terutama mengejutkan. Pernah ia
dikalahkan oleh pemain tunggal kedua RRC, Zhang Ai Ling di
Hongkong (Desember 1979). Dan ia menebus kekalahannya itu di
Singapura. Tekad itu memang sudah lama dipatoknya. Bahkan ia
sengaja Januari lalu membatalkan keberangkatannya ke turnamen
bulutangkis Piala Dunia di Tokyo, hanya untuk bisa berlatih
lebih tekun.
Lawan yang disingkirkannya dalam dwilomba kali ini ialah Liu
Xia, kampiun nasional RRC. Ivanna menang 12-9 dan 12-10 setelah
lebih dulu, dalam kedua set, ketinggalan 7-9 dan 7-9.
Pelatih tim putri RRC, Chen Yu Niang juga mengakui penampilan
Ivanna di Singapura lebih baik dibandingkan dengan di Tokyo.
Tapi "patut diketahui suhu tropis (30 derajat Celcius) di
Singapura ikut merongong Liu Xiz," katanya. Temperatur di RRC
sebelum mereka berangkat adalah 15 derajat di bawah titik beku.
Kemenangan lain dicatat pula oleh Verawaty dalam partai tunggal
dan ganda. Di nomor perorangan. Ia mengalahkan Zhang Ai Ling. Di
partai ganda, bersama Imelda Wiguno, ia menundukkan pasangan Han
Ai Ping/Xie Le Ping. Satu-satunya kehilangan tim putri Indonesia
dari empat partai yang dipertandingkan adalah sewaktu
Ivanna/Tjan So Gwan melawan Liu Xia/Zhang Ai Ling. Ini merupakan
kekalahan terbesar pertama dari regu wanita RRC.
Sukses tim putri itu pula yang menyelamatkan Indonesia dari
kejatuhan total. Secara keseluruhan Indonesia masih menang 7-6.
Di Hongkong dulu angkanya 11-3. Regu putri waktu itu dimainkan
dalam 5 partai. "Masih unggul 'kan," kata Suharsono menghibur
diri.
Namun, menurut Sudirman, kekalahan tim putra harus dijadikan
pelajaran untuk memperbaiki diri. Ada yang salah? Gouw melihat
sudah saatnya masalah teknis diperhatikan di samping soal fisik.
Ia, dikatakannya, sudah menyampaikan hal itu kepada KONI.
"Sepulang dari sini, KONI akan ikut turun tangan langsung
menangani pembinaan bulutangkis," kata Ketua Bidang Pembinaan
KONI, Gatot Suwagio. Ia menambahkan untuk Kejuaraan Bulutangkis
Dunia di Jakarta, Mei nanti PBSI tak lagi akan berjalan sendiri
mempersiapkan tim.
Rudy Hartono, juara All England 8 kali, ikut pula berkomentar.
Terutama ia menyinggung soal kesempatan brtanding supaya lebih
banyak bagi pemain muda, agar tak terdapat jurang pemisah
prestasi antara angkatan Tjuntjun, 28 tahun, dan generasi
penerusnya.
"Kita sebetulnya tak kekurangan bakat," kata pelatih Ridwan. Ia
menyebut misalnya Icuk Sugiarto dan Sigit Pamungkas dari SMP/SMA
Olahragawan di Ragunan, Jakarta. Dalam seleksi untuk dwilomba
kemarin, Icuk sempat merepotkan Lius Pongoh, bekas pemain Piala
Thomas 1979.
Apa arti kemenangan tim putra RRC bagi Wurld Badminton
Federation (IBF)? Sudirman meramalkan pihak VBI, organisasi
bulutangkis tandingan yang disponsori RRC, akan merayakan
kemenangan ini secara besar-besaran bertepatan dengan dua tahun
usianya WBF didirikan di Hongkong, 25 Februari 1978. Sedang
Indonesia berada di kubu lain, Inernational Badminton
Federation (IBF).
Unsur lain yang menopang sukses tim putra RRC -- di samping
mereka juga tangguh -- adalah dorongan penonton. Hampir 70% dari
pengunjung gedung olahraga yang berkapasitas 6.000 orang itu
memihak RRC. Sekitar 2.000 suara yang pro Indonesia telah
ditelan sorak-sorai balasan dari mereka. "Biasa, ini 'kan
Singapura," komentar seorang sopir taksi keturunan Melayu di
sana.
Dwilomba ini diadakan di Singapura, menurut Sudirman, selain
pemerintah RI belum mengizinkan anak-anak Indonesia bermain di
kandang sendiri maupun di RRC, juga semacam 'balas jasa' pada
mereka. "Di tahun 50-an adalah Ong Poh Lim dkk yang
memperkenalkan kita pada dunia bulutangkis," kata Sudirman.
"Kita belajar dan berlatih dengan mereka." Di Singapura pula
Indonesia meraih Piala Thomas, 1958. Gedung yang dipakai waktu
itu adalah juga tempat dwilomba kemarin.
Tapi pekan lalu Indonesia maupun RRC sama-sama kecipratan
untung. Masing-masing dapat 20% dari hasil bersih. Panitia
penyelenggara mengeluarkan tiket seharga S$ 6, 25, 50, dan 100.
Bahkan pada wartawan tertentu dikenakan bayaran S$ 20. Suatu hal
yang baru pertama kali terjadi dalam peliputan olahraga.
Diperkirakan kedua tim yang bertanding akan mendapat S$ 20.000.
Dikabarkan RRC semula tak ambil pusing soal pembagian uang ini.
Mereka baru mengetahui setelah ada penjelasan Indonesia.
Jumlah pemasukan resmi belum diketahui. Tapi 2 hari sebelum
pertandingan tiket sudah terjual habis dalam tempo cuma 3 jam.
Banyak pembeli tiket S$ 100 datang dari Indonesia, antara lain
terlihat Sri Sultan Hamengkubuwono IX, D. Soeprajogi, dan
beberapa pengurus KONI Pusat yang lain.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini