PUTRI Sarah Ferguson, dari Kerajaan Inggris, menjadi saksi keperkasaan Martina Navratilova. Di lapangan rumput Wimbledon, Sabtu pekan lalu, petenis berusia 33 tahun itu mewujudkan impiannya menjadi petenis putri pertama yang mampu merebut gelar juara Wimbledon sembilan kali. Di final, di hadapan sekitar 40 ribu penonton, petenis asal Ceko-Slovakia yang kini menjadi warga Amerika Serikat itu menaklukkan Zina I. Garrison dengan dua set langsung: 6-4 dan 6-1 dalam waktu 1 jam 15 menit. Zina Garrison terkuras sebelumnya. Di perempat final, petenis yang juga dari AS ini menghentikan laju pemain muda asal Yugoslavia, Monica Seles. Di semifinal, ia mengandaskan impian juara bertahan, Steffi Graf. Namun, di final, permainan serve dan volley yang dilancarkan Martina membuat Garrison sering mati langkah. "Martina selalu satu langkah lebih dulu di depan, sehingga saya selalu sulit mengejar bola-bolanya," ucap Zina Garrison. "Saya kira semua penggemar tenis ingin melihat terciptanya sejarah baru di sini," ujar Martina seusai pertandingan. Dan, "Saya akan mencoba membuat rekor itu menjadi dua digit." Maksudnya, menjadi pemenang untuk ke-10 kalinya. Martina memang pantas menang. Ia tahu betul siapa Garrison. Dari 28 kali pertemuannya dengan Garrison, ia kalah hanya satu kali. Begitu mengalahkan Garrison, Martina langsung lari ke tribun. Ia memeluk Billy Jean King dan Craig Cardon. King, yang pernah menjuarai Wimbledon tujuh kali, adalah pelatih fisik dan "mental" Martina. Sedangkan Cardon bertugas memoles teknik agar Martina tetap dalam kondisi prima. "Setiap malam dalam dua bulan terakhir ini, kami selalu mempelajari hasil pertandingan Martina," ujar Billy Jean King. Cuma, untuk mengukir sejarah ini, Martina mengorbankan turnamen Prancis Terbuka, yang sebetulnya adalah serial Grand Slam juga. "Susah bagi petenis seumur saya bisa tampil prima dalam dua turnamen besar yang selisihnya hanya sekitar dua minggu," tutur Martina, yang di Wimbledon mengantungi hadiah 207 ribu poundsterling. Martina Navratilova menyamai rekor Helen Wills Moody -- kini Nyonya Roark -- di tahun 1987 sebagai pemegang juara Wimbledon delapan kali. Waktu itu pun Martina sudah membuat "sejarah" dengan menjuarai turnamen bergengsi itu enam kali berturut-turut. Moody, juga dari AS mencetak tanpa berurutan, dimulai tahun 1927 sampai 1938. Di bagian putra, Stefan Edberg kembali mematahkan ambisi juara bertahan Boris Becker untuk merebut gelar juara yang keempat kalinya. Di final, Ahad kemarin, Edberg harus memeras keringat selama tiga jam, sebelum mengakhiri perjuangan Becker dalam lima set: 6-2, 6-2, 3-6, 3-6 dan 6-4. Di tengah teriknya panas matahari, Edberg -- yang tiga kali bertemu Becker di final -- dalam tiga tahun terakhir ini bermain agresif. Ibarat mesin diesel yang lambat panas, Becker mulai bangkit di set ketiga dan keempat. Tapi itu belum cukup karena, di set penentuan, kembali Edberg menemukan formnya dan mematahkan serve-serve Becker. "Kepercayaan pada diri saya muncul kembali pada set terakhir, itu sebabnya bisa memenangkan pertandingan ini," tutur Stefan Edberg, yang mendapat hadiah 330 ribu poundsterling. Terciptanya sejarah baru di Wimbledon malah membuat panitia rugi. Masalahnya, penonton termasuk sepi dibandingkan dengan tahun-tahun lalu. Berkurangnya penonton ini -- sampai 40 ribu dibandingkan dengan tahun lalu, untuk keseluruhan hari pertandingan -- kabarnya, pengaruh kejuaraan sepak bola Piala Dunia Italia. Penonton Jerman Barat, misalnya, lebih suka ke Roma ketimbang menonton tenis di Wimbledon. Apalagi, jago-jago tenis mereka tak masuk final, sedangkan jago bolanya ke final. Kerugian juga diderita pedagang cendera mata. "Tahun ini merupakan tahun terburuk. Sekitar 10.000 pound kerugian yang saya alami," kata Tony O'Brien, seorang pedagang T-shirt dan topi Wimbledon 1990. "Tidak ada yang bisa saya perbuat dengan banyaknya kaus yang belum terjual," tambahnya, mengeluh.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini