PANAS yang menggigit dan kelembaban yang tinggi membuat orang di sini susah mencapai prestasi seperti orang-orang yang berdiam di iklim dingin. Tetapi itu tak berarti atlet Indonesia tidak bisa berprestasi lebih tinggi. Mereka bisa memanfaatkan suhu nyaman yang terdapat di beberapa daerah, seperti dataran tinggi Bandung yang bersuhu sekitar 22C dengan tingkat kelembaban sekitar 70%. Boleh jadi belum ada atlet yang membuktikannya. Tetapi paling tidak secara teoretis hal itu benar, sehingga Wahyu Karhiwikarta, 47, berhasil mencapai gelar doktor, 24 Januari lalu, di Universitas Padjadjaran, Bandung, dengan pokok pembicaraan aklimatisasi untuk meningkatkan kerja fisik di iklim tropis. "Untuk meningkatkan kapasitas kerja fisik atau kapasitas aerobik, atlet perlu latihan secara kontinyu dengan beban yang ditingkatkan pada suhu 16-20 derajat Celsius sebagai fase awal. Ini dapat dilakukan di tempat alami seperti Pangalengan, dekat Bandung, atau di ruang iklim. Baru kemudian pindah ke tempat yang panas," katanya. Terjadinya peningkatan kapasitas kerja di bawah suhu yang nyaman itu terbukti melalui penelitian uji kerja di ruangan iklim, yaitu sebuah ruangan yang bisa diatur suhu dan kelembabannya. Dari naracoba (orang yang dijadikan sumber penelitian), Wahyu menemukan bahwa dengan suhu sejuk (20% C) didapatkan peningkatan kemampuan kerja rata-rata 13% lebih tinggi daripada hasil uji kerja di suhu kamar 25%C. Lagi pula, dia menemukan respons fisiologis yang menguntungkan, yaitu adanya penurunan denyut nadi yang lebih cepat pada subyek yang bekerja di suhu nyaman. Satu bukti bahwa yang bekerja di suhu dingin iebih cepat pulih dari lelah. Iklim di Indonesia memang memiliki panas dengan kelembaban yang terkadang mencapai 80% atau malah lebih. Negara-negara di Timur Tengah juga panas, tapi tidak lembab. Kelembaban membuat panas tubuh cepat membubung, sehingga suatu beban tambahan, berupa kerja keras, akan dirasakan terlalu berat. Dan kalau sudah capai, diperlukan waktu yang lebih lama untuk pulih. "Wajar bila atlet dari negara beriklim tropis sangat rendah prestasinya," katanya. Kepada TEMPO dia menyebutkan, kalau pun muncul atlet hebat di negara tropis lain seperti Brazil dan beberapa negara Afrika atau malahan negara tetangga, seperti Filipina, "itu disebabkan keistimewaan genetika." Tetapi, menurut dia, faktor keturunan itu cuma sekitar 30% "Yang tujuh puluh persen itu merupakan faktor lingkunan yang harus kita manipulasikan. Dan bukannya menunggu sampai mendapat atlet keturunan berbakat," ujar dokter spesialis faal yang duduk dalam kepengurusan KONI Jawa Barat dan mengepalai bidang kedokteran olah raga. Penelitiannya itu sendiri tidak mencakup atlet, melainkan naracoba yang meliputi militer, petani, karyawan, dan mahasiswa. Itu, katanya, karena sulit untuk mengikutsertakan atlet dalam penelitiannya yang berlangsung sejak tahun 1978 itu. Sebab, ada kemungkinan atlet harus meninggalkan penelitian karena harus mengikuti pertandingan. "Tetapi karena kesemuanya sama-sama menggunakan tenaga cukup berat dan dalam waktu yang lama dalam kegiatannya, maka hasil penelitian ini berlaku secara umum," katanya menambahkan. Yang agaknya menarik dari percobaannya terhadap 700 naracoba tadi adalah penemuannya tentang kapasitas kerja fisik kelompok petani yang tak kalah dengan kelompok militer. Padahal, kelompok militer biasanya mempunyai banyak kelebihan, seperti selektivitas postur tubuh, karena mereka memang melalui pemilihan yang khusus sebelum diterima. Tapi kelebihan petani, menurut Wahyu, punya kebiasaan bekerja berat dan terus-menerus sepanjang hari tanpa mengenal hari libur. Kapasitas kerja fisik dalam penelitian Wahyu ini diukur dengan satuan kapasitas aerobik, yaitu kemampuan tubuh mengkonsumsi udara per kilogram berat badan per menit. Kelompok petani dalam penelitian tadi hanya berada sedikit di atas kelompok militer yaitu 49,6 dibandinkan 49,2. Tetapi agak jauh di atas kelompok mahasiswa yang 40,1 dan karyawan yang 44,9. Dari penelitian yang menggunakan ruang iklim, Wahyu menemukan bahwa aklimatisasi (penyesuaian terhadap iklim) panas kelihatannya lebih mungkin kalau dimulai dari suhu rendah dan pelan-pelan dinaikkan menjadi sampai 35 derajat. Sebagai tanda bahwa tubuh telah bisa menyesuaikan diri terhadap panas, dia melihat pada denyut jantung yang cepat menurun. Turunnya suhu kulit dan rektum (dubur) serta bertambahnya jumlah keringat. Berdasarkan bukti-bukti itu, dia menganjurkan agar atlet memulai latihannya di tempat dingin. Beban latihan ditingkatkan secara bertahap sampai mencapai puncak kemampuan. Setelah itu, barulah si atlet terjun ke iklim pertandingan yang sesungguhnya. Tetapi si atlet harus terlebih dulu menyesuaikan diri dengan iklim arena yang sebenarnya, lebih kurang dua minggu. Aklimatisasi seperti yang diajukan Wahyu kelihatannya memang khas dan perlu dipraktekkan. Sebab, selama ini aklimatisasi yang dikenal adalah usaha untuk menyesuaikan diri dengan iklim di luar negeri, seperti ketika tim Indonesia akan mengikuti Olimpiade di Meksiko, tahun 1968. Ketika itu, sebagaimana diceritakan Hario Tilarso dari Pusat Kesehatan Olah Raga, atlet Indonesia berlatih satu sampai satu setengah bulan di Pangalengan, Jawa Barat. Tetapi yang akan dicapai adalah penyesuaian diri terhadap ketinggian yang oksigennya tipis. Seperti di kota Meksiko itu. "Tanpa penyesuaian cuaca, dapat terjadi pendarahan dari hidung dan telinga," tutur Hario Tilarso, yang sering terlibat dalam persiapan atlet yang akan bertanding di kejuaraan internasional. Penyesuaian iklim yang banyak berlangsung dalam berbagai cabang olah raga di sini sering tidak seperti disertasi Wahyu, yang membicarakan bagaimana beraklimatisasi didaerah sejuk untuk kemudian bertanding di daerah panas. Bulu tangkis, misalnya, hampir setiap kejuaraan bertaraf internasional berlangsung di daerah dingin. "Penyesuaian untuk daerah dingin tidak perlu memakan waktu lama, sekitar dua minggu," cerita pelatih bulu tangkis terkenal, Tahir Djide. WALAUPUN demikian, Tahir mengakui, pemain Eropa yang sudah terbiasa dengan cuaca dingin - yang sering disertai kandungan oksigen yang lebih tipis - memiliki keuntungan. "Dengan kadar haemoglobin 18 dan kandungan oksigen tipis, mereka tak menghadapi masalah. Tetapi lain soalnya dengan atlet kita yang datang dari daerah tropis dengan oksigen lebih tinggi, katanya. Wahyu sendiri tidak beranggapan "bersemadi" di tempat dingin akan melahirkan prestasi hebat. Tetapi, paling tidak, akan meningkatkan daya tahan si atlet. Dia juga menyebutkan bentuk latihan yang juga harus dipertimbangkan. Dan sebagaimana yang muncul dalam diskusi ilmiah yang diselenggarakan KONI Pusat, 27 Januari lalu di Senayan, dalam meningkatkan prestasi harus pula diperhatikan biomekanik. Untuk mencapai prestasi optimal, Krismanto Prawirosumarto, dokter spesialis kedokteran fisik yang bekerja di RS atot Subroto dan RS Tjipto Mangunkusumo, menganjurkan agar dilakukan pemeriksaan biopsi otot untuk menentukan seseorang menjadi pelari jarak jauh atau sprint. Juga pengukuran anggota tubuh, seperti tungkai dan pergelangan tangan, dalam usaha pembibitan. "Seandainya peranan kedokteran dilibatkan, prestasi olah raga kita akan lebih baik," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini