KEMATIAN dua penduduk Purwokerto, Jayawikarta dan putranya, Susilo, masih tetap tanda tanya. Dua tersangka yang digiring polisi dan jaksa ke pengadilan, yaitu putra Almarhum Jayawikarta sendiri, Handoko, dan menantunya, Paulus Sutjipto, Kamis pekan lalu dibebaskan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Purwokerto. Begitu ketua Majelis, Abunasor Mahfud, mengetukkan palunya, ruang sidang dipenuhi suara isak tangis kedua orang itu dan keluarganya. "Ternyata, doa saya, agar dijauhi dari fitnah, dikabulkan Tuhan," ujar Paulus Sutjipto di sela tangisnya. Kisah tentang Jayawikarta, 76, dan Susilo 39, Maret tahun lalu, tidak kalah menariknya dengan cerita kematian Christina Lina Dewi alias Cucu dan tertembaknya Oey Boen Lian (OBL). Tidak hanya karena yang dituduh membunuh Jayawikarta adalah keluarga terdekatnya sendiri, tapi Handoko pula yang disebut-sebut banyak tahu hubungan OBL dengan Cucu. Sebab, ia manajer villa Rosenda yang sering dipakai pasangan OBL dan Cucu untuk berkencan. Oleh sebab itu, banyak yang menduga antara kedua kasus itu terdapat hubungan erat: Handoko sengaja dikorban agar tidak membuka mulut (TEMPO 21 Januari, Kriminalitas). Sesuai dengan berita acara pemeriksaan yang dibuat polisi, Jaksa S.A. Noerdin menuduh Handoko, 44, dan Paulus, 29, membunuh Jayawikarta dan Susilo karena pertengkaran dalam keluarga itu. Handoko, menurut Jaksa, merasa dendam karena tidak diizinkan membangun rumah di atas tanah ayahnya, sementara saudaranya yang lain, Susilo, diperkenankan. Kebetulan pula, Paulus, menurut versi Jaksa, pernah bertengkar dengan Susilo. Untuk membuktikan tuduhan itu, Jaksa menyiapkan dua orang saksi penting, yaitu seorang pesuruh SMEA, Rillun, dan seorang bekas anak buah OBL, Sumarjo. Kedua saksi itu, menurut cerita Jaksa, tidak sengaja bertemu dengan Paulus dan Handoko, persis ketika kedua tertuduh akan melakukan pembunuhan pada malam itu. Entah kenapa, katanya, kedua saksi diminta Handoko dan Paulus berjaga-jaga di luar rumah Jayawikarta ketika pembunuhan terjadi. Untuk jasa itu, lagi-lagi menurut Jaksa, kepada kedua saksi dijanjikan imbalan Rp 100 ribu. Tapi skenario Jaksa kedodoran. Banyak saksi memperkuat alibi Handoko: malam itu ia tidak meninggalkan villa Rosenda di Baturaden. Seorang tukang pijit, Agus Supali, mengaku bahwa malam itu memijit Handoko. Dan, seperti yang kemudian dipercaya Hakim, Handoko baru meninggalkan Baturaden setelah mendengar ayahnya terbunuh. Sama dengan Handoko, adik iparnya, Paulus Sutjipto, juga mempunyai alibi yang kuat. Pedagang soto itu, pada malam kejadian, berjualan seperti malam-malam sebelumnya. Ia bahkan baru tahu mertuanya terbunuh ketika dibangunkan polisi tengah malam itu. Kedua saksi yang disiapkan menghancurkan alibi itu, Rillun dan Sumarjo, berbalik menggugurkan tuduhan Jaksa. Keduanya mencabut kembali keterangan mereka di pemeriksaan polisi. Baik Rillun maupun Sumarjo mengaku terpaksa menandatangani cerita palsu itu karena tidak tahan disiksa polisi. Rillun, misalnya, mengaku dihajar polisi seperti kerbau untuk membuat cerita palsu itu. Suatu malam, tutur Rillun di persidangan, ia dikeluarkan polisi dari sel dan dibawa dengan mobil. Matanya ditutup dan tangannya diikat. Pada suatu kesempatan, "saya disuruh membuka mulut dan laras pistol ditodongkan ke dalam mulut saya," ujar Rillun. Kesaksian yang sama juga diberikan Sumarjo. Kedua saksi itu membantah bertemu dengan Handoko dan Paulus malam itu. Bahkan keduanya juga punya alibi seperti halnya tertuduh. Karena kesaksian itu, Rillun dan Sumarjo dibebaskan dari tahanan oleh Hakim di tengah berlangsungnya persidangan Handoko dan Paulus. Tapi, setelah di luar tahanan, mereka mengaku masih mendapat teror dari polisi. Sebab itu keduanya diantar pengacara mereka, sekitar Oktober lalu, datang ke Jakarta untuk meminta perlindungan Kapolri. "Saya diancam akan "didor' bila memberikan keterangan yang berbeda dari berita acara. Padahal, sungguh, saya tidak tahu apa-apa tentang pembunuhan itu," ujar Rillun kepada TEMPO. Rekannya, Sumarjo, pun mengaku diancam akan "dibereskan" polisi bila mencabut lagi keterangannya (TEMPO, 12 November 1983, Kriminalitas). Majelis ternyata tidak menutup mata terhadap lubang-lubang tuduhan jaksa itu. Cerita di berita acara, tentang kedua saksi yang diminta berjaga-jaga oleh Handoko dan Paulus ketika pembunuhan terjadi, dianggap Hakim tidak masuk akal. Sebab, sebelum peristiwa itu terjadi, tidak disebutkan ada perundingan untuk merencanakan pembunuhan oleh keempat orang itu. "Orang normal tidak akan seceroboh itu meminta orang lain yang tidak tahu persoalan untuk berjaga-jaga selama ia melakukan kejahatan," ujar Hakim Abunasor. Apalagi, keterangan kedua saksi itu di persidangan dicabut kembali. Maka, Majelis tidak melihat pilihan lain kecuali membebaskan Handoko dan Paulus. Jaksa S.A. Noerdin, yang sebelumnya menuntut hukuman masing-masing 12 tahun penjara untuk kedua tertuduh, segera menghilang dari ruang sidang begitu Hakim menolak tuntutannya. Ketika ditemui TEMPO, tak sepatah pun komentar diucapkannya. Sebaliknya, pengacara Handoko dan Paulus, Racosbi Matram, meneteskan air mata karena gembira. "Hendaknya putusan itu dijadikan pelajaran bagi polisi dalam melakukan penyidikan," begitu nasihat Racosbi - entah untuk siapa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini