Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Mereka datang dan menang

Para pelari kenya mendominasi lomba lari jarak menengah dan jauh dunia. beberapa prestasi dunia diraih antara lain oleh ibrahim husein, john ngugi & paul kipkoech. pelatih dari amerika punya peran.

7 Mei 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

NAPAS mereka panjang. Daya tahan tubuh mereka luar biasa. Motivasi mereka untuk menang sangat besar. Udara tipis, sengatan matahari, dan medan yang sulit bukan hambatan berat buat mereka. Maka, jadilah mereka para pelari Kenya bintang-bintang dalarn lomba lari duma saat ini. Mereka mendominasi lomba lari jarak menengah dan jauh dunia, paling tidak dalam waktu dua bulan terakhir ini. Yang terakhir, Senin pekan lalu, giliran Sam N'gaita menjuarai lomba maraton di Roma, Italia, dengan catatan waktu 2 jam 48 menit dan 45 detik. Sebelumnya, akhir Maret lalu, John Ngugi dan Paul Kipkoech keluar sebagai Juara pertama dan kedua pada Kejuaraan Dunia Lintas Alam (Cross Country) XVI di Ellerslie Racecourse, Auckland, Selandia Baru. Mereka merupakan dua dari 8 pelari Kenya yang mendominasi Kejuaraan Dunia Lintas Alam yang diakui oleh Federasi Atletik Internasional (IAAF). Seminggu kemudian, duet Ngugi dan Kipkoech meraih gelar juara pertama dan kedua pada Lomba Lari Bali 10 K di Nusa Dua, Bali. Dominasi pelari dari negara khatulistiwa di Afrika Timur ini tidak hanya sampai di situ. Pertengahan bulan lalu Ibrahim Hussein dari Kenya membuat catatan emas bagi Afrika. Ia merupakan orang Afrika pertama yang meraih gelar juara lomba tahunan Maraton Boston, di Massachusetts, AS. Dalam lomba maraton klasik yang diikuti oleh sekitar 6.700 pelari serta ribuan peserta masal, Hussein mencatat waktu 2 jam 8 menit dan 43 detik. Satu perseratus detik lebih cepat dari saingan terdekatnya, Juma Ikangaa dari Tanzania. Ibrahim Hussein, John Ngugi, dan Paul Kipkoech merupakan pelari andalan Kenya setelah angkatan Keino, Jipcho, Henry Rono, dan Mike Boit memudar. John Ngugi, 26 tahun, merupakan pelari alam yang memiliki tungkai cukup panjang (tinggi 179 cm dengan berat 65 kg). Ia lahir dari lingkungan keluarga petani gandum di Nyahururu, sekitar 170 km dari Nairobi. Dunia atletik mulai dikenalnya sejak duduk di bangku sekolah dasar. "Setiap hari saya berlari ke sekolah menempuh jarak sekitar 12 km," ujar John Ngugi. Prestasi tingkat dunia mulai diraihnya sejak 1986. Waktu itu Ngugi berhasil menjuarai lomba lari lintas alam dunia ke-14 di Neuchatel, Swiss. Prestasi itu dipertahankannya pada 1987 di Warsawa, Polandia, dan di Auckland, Selandia Baru, 1988. Prestasinya itu mencengangkan banyak pengamat. Padahal, pemuda lajang berasal dari suku Kikuyu ini sempat beristirahat beberapa minggu di akhir tahun lalu, untuk menjalani operasi tumor yang tumbuh di belakang lututnya. Prestasi Paul Kipkoech, 27 tahun, tidak kalah hebat. Di kejuaraan lintas alam ke-13 di Lisbon, Portugal, ia menempati urutan kedua, di bawah pelari tuan rumah Carlos Lopes. Tahun berikutnya, saat Ngugi menjadi juara, ia hanya menempati urutan ke-5. Baru pada 1987 dan 1988 ia membuntuti di tempat kedua, di belakang Ngugi pada lomba yang sama. Di nomor lintasan Kipkoech lebih beruntung. Dalam Kejuaraan Dunia Atletik di Roma, Italia, akhir Mei 1987, ia berhasil menjuarai nomor 10.000 meter. Dan di lomba lintas alam internasional Cardiff di Inggris, ia muncul sebagai juara pertama. Ngugi di tempat ke-4. Kejutan lain dibuat oleh Ibrahim Hussein, yang dipersiapkan negaranya untuk menghadapi Olimpiade Seoul, September mendatang. Kemenangannya pada Boston Marathon merupakan sukses kelima dalam kariernya sebagai pelari jarak jauh. Akhir tahun lalu ia berhasil menjuarai lomba maraton di New York dan Honolulu. Bahkan untuk yang terakhir dia sudah pernah memenangkannya 3 kali. "Saya gembira bisa membuat sejarah baru dengan menjuarai Boston Marathon tahun ini," tutur Ibrahim seusai perlombaan. Untuk itu, mahasiswa lulusan Universitas New Mexico ini berhasil mengantungi hadiah sebesar US$ 45.000 atau sekitar Rp 74,250 juta, serta sebuah sedan Mercedes seharga US$ 35.000. Ketangguhan pelari jarak menengah dan jauh Kenya di arena internasional sudah mulai tampak sejak keikutsertaan mereka di Olimpiade Melbourne 1956. Medali pertama di arena Olimpiade diraih pelari Kenya pada Olimpiade 1964 di Tokyo, Jepang, meski hanya medali perunggu, melalui Wilson Chuma di nomor 800 m. Baru 12 tahun kemudian, pada Olimpiade 1968 di Meksiko, para pelari Kenya, dengan bintangnya Kipchoge Keino, membuktikan kehebatannya. Keino dkk, mampu merebut 9 medali, dengan 3 medali emas. Tampaknya, tipisnya oksigen di Kota Meksiko tidak menjadi hambatan bagi mereka. Karena kebanyakan pelari Kenya berasal dari Lembah Great Rift, yang mempunyai kondisi seperti Meksiko, 1.000-2.000 meter di atas permukaan laut. Dalam kondisi ini, Keino mampu menyingkirkan pemegang rekor dunia, Jim Ryun, untuk menggondol medali emas di nomor 1.500 m, dengan catatan waktu 3 :34.9 detik. Sedangkan dua medali emas lainnya diperoleh Naftali Temu di nomor 10.000 m dan Amos Biwott, 3.000 m steeplechase. Di Olimpiade Munchen 1972, Keino berhasil mengulangi sukses dengan menyumbangkan I emas di nomor 3.000 m steeplechase dan medali perak 1.500 m. Satu emas lagi disumbangkan kuartet 4x400 m dengan menyisihkan tim tangguh lainnya, seperti AS dan tuan rumah Jerman Barat. Sayangnya, di Olimpiade Montreal 1976 dan Moskow 1980, pelari Kenya melakukan boikot sebagai protes terhadap keikutsertaan Selandia Baru, yang pernah melakukan pertandingan dengan Afrika Selatan. Tua protes tehadap invasi Uni Soviet ke Afghanistan. Peran pelatih atletik di Amerika cukup besar dalam meningkatkan prestasi para pelari Kenya. Apalagi setelah mereka mengenal kehidupan kampus di Negara Paman Sam sejak 1968. Awal 1970-an saja sekitar 50 pelari Kenya direkrut untuk menerima beasiswa olah raga dari berbagai universitas di AS. Jumlah itu meningkat menjadi lebih dari 200 pelari pada 1983. Tidak heran kalau prestasi mereka terus meningkat dengan kompetisi antaruniversitas yang ketat setiap tahunnya. Belum lagi lomba lari di jalan raya di berbagai kota di AS yang menyediakan hadiah uang cukup besar. Ini merupakan daya tarik tersendiri bagi pelari Kenya lainnya untuk hijrah ke Amerika. Mereka pun datang, dan menang. Rudy Novrianto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus