SETELAH dua puluh tahun, asuransi kesehatan akhirnya menjadi sedikit lebih sehat. Dua pekan lalu Menteri Kesehatan dan Menteri Dalam Negeri mengumumkan surat keputusan bersama, yang intinya mengubah sistem asuransi kesehatan untuk pegawai negeri. Perum Husada Bhakti, perusahaan negara yang mengelola asuransi kesehatan (Askes), diperintahkan untuk menialankan sistem kapitasi, mulai Juni mendatang. Perubahan dari sistem lama ke sistem kapitasi diperkirakan sangat menguntungkan pegawai negeri. Dalam sistem lama, mereka harus membayar dulu semua biaya perawatan. Dana asuransi baru didapat setelah menjukan klaim di loket-loket Askes dengan menunjukkan kuitansi. Ini berarti pegawai negeri harus mengandalkan kocek sendiri - atau kocek orang lain - untuk membayar biaya perawatan yang kadang-kadang sangat besar. Soalnya, dana Askes baru menetes sesudah "krisis" lewat. Itu pun klaim sering menghadapi prosedur berbelit, belum uang pelicinnya. "Dalam sistem kapitasi, pegawai negeri dan keluarganya tidak perlu membayar apa-apa," ujar dr. Sulastomo, M.P.H., Direktur Pemeliharaan Kesehatan Husada Bhakti. "Penagihan dilakukan oleh rumah sakit dan puskesmas yang ditunjuk Husada Bhakti untuk memberikan pengobatan." Berarti pasien tak perlu mempunyai uang tunai, dan tidak akan ada lagi antre berjam-jam untuk mendapat penggantian. "Untuk berobat cukup menunjukkan KTP," ujar Sulastomo lagi. "Selebihnya, para dokter dan pegawai rumah sakit atau puskesmaslah yang mencatat dan selaniutnya mengurus penggantian." Menurut Sulastomo, inilah salah satu usaha membenahi asuransi kesehatan yang sudah dimulai 20 tahun lalu. Pada tahun 1970, pengelola Askes bangkrut karena salah perhitungan. Husada Bhakti, yang menggantikan pengelola itu, harus bekerja keras untuk memperbaiki berbagai sistem. Sulastomo menjelaskan, dana Askes didapat dari pemotongan gaji 4,5 juta pegawai negeri sebesar 2%. Penggantian Askes berlaku bagi pegawai negeri bersama keluarganya. "Karena pegawai negeri berikut keluarga semuanya beriumlah sekitar 15 iuta premi berupa pemotongan 2% gaji tidak mahal," ujar Sulastomo. "Nilai premi per kepala per tahun cuma lima ribu rupiah." Ahli ekonomi kesehatan dr. M. Hasan berpendapat, penerapan sistem kapitasi pada Askes memang sangat tepat. "Tapi kesadaran ini rasanya terlampau terlambat," ujarnya. Menurut Hasan, asuransi kesehatan pada garis besarnya mengenal dua kelompok asuransi: asuransi sosial dan asuransinya dijual. Sistem klaim dikenal merupakan bagian dari asuransi individual, sementara asuransi sosial di mana pun umumnya menjalankan sistem kapitasi. Sejak diterapkan 20 tahun lalu, Askes, menurut Hasan, terkategori asuransi sosial. Cirinya adalah pemotongan gaji pukul rata 2%, tanpa melihat perbedaan gaji. "Ini berarti yang kaya menolong yang miskin," ujar Hasan. Pada asuransi sosial, memang yang diutamakan kelompok miskin, yan belum tentu mempunyai uan tunai untuk membayar biaya pengobatan. Karena itu pula akhirnya sistem kapitasi yang ditempuh. "Kita seharusnya sudah lama bingung mengapa pada Askes justru sistem klaim yang diterapkan," ujar spesialis asuransi kesehatan ini. "Tentunya tidak banyak pegawai negeri yang memanfaatkan Askes, karena mereka tidak mempunyai uang tunai." Tegasnya, klaim bukanlah sistem yang sehat, dengan kata lain, sebagai asuransi sosial, Askes meleset dari target. Misinya untuk meringankan beban pegawai miskin tidak sepenuhnya terlaksana. Tapi sistem Askes yang baru, pada penilaian Hasan, terlalu berani dan kurang menghitung faktor risiko. Ia membandingkannya dengan sistem Askes di mancanegara. "Di sana biasanya dikenal sistem paket. Artinya, pengobatan mahal seperti operasi jantung, cuci darah, atau hemodialisis tidak termasuk dalam paket itu," ujarnya. Askes yang baru di Indonesia, "ternyata tidak mengenal pake pengobatan." Ini berarti biaya pengobatan yang paling mahal pun akan ditanggung oleh Askes. Lagi pula, seperti kata Hasan, penanggung jawab asuransi sosial di negara maju adalah pemerintah. Karena itu, perusahaan yang mengelola asuransi sosial tak mungkin bangkrut "Pemerintah diwajibkan undangundang agar menjaga kekuatan dana perusahaan itu," ujar Hasan lagi. Kritik Hasan ada benarnya. Menurut Sulastomo, Askes memang tidak mengenal paket pengobatan. "Semua jenis pengobatan akan mendapat penggantian," katanya. "Bahkan epidemi, seperti endemi demam berdarah yang kini terjadi di sejumlah daerah." Pegawai negeri yang terkena demam berdarah dengan sendirinya mendapat penggantian pengobatan. Semuanya menjadi tanggung jawat Husada Bhakti, sementara, pemerintah tidak menurunkan dana tambahan. Lalu kalau Husada Bhakt bangkrut, seberapa jaut tanggung Jawab pemerintah? Sejauh ini, menurut Sulastomo, tidak ada perjanjian apa-apa. Berdasarkan data data Askes, pemotongan 2% gaji cukup memadai, dan dengan dana itu Husad. Bhakti bisa melayani klaim Ying mengherankan, jika dana 2% gaji itu memadai mengapa klaim Askes selama ini tidak bisa dibayar penuh? Satu hal lagi, data pengobatan yang ada hampir bisa dipastikan tidak mencerminkan angka sakit yang sebenarnya. Sangat mungkin angka itu rendah, karena banyak pegawai negeri tidak melakukan klaim. Tapi "dengan membaiknya sistem Askes, frekuensi berobat bisa meningkat, dan penagihan otomatis naik juga," ujar Hasan Masalahnya kini, apakah dukungan dan pengelola cukup kuat menghadapi kenaikan itu. Jim Supangkat, Syafiq Basri (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini