Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
AWAN tebal menyelimuti cakrawala Bandung sore itu. Hujan yang turun membuat suhu kota semakin dingin. Fandi Ahmad, 12 tahun, malah membuka pakaian dan menyalinnya dengan kostum olahraga. Setelah mengikat tali sepatu, ia berlari ke lapangan hijau, bergabung dengan lebih dari 20 anak seusianya, yang sebagian berambut pirang.
Fandi adalah salah satu murid Akademi FootballPlus, yang menggelar latihan tiap Selasa dan Kamis di lapangan Kompleks Perumahan Angkatan Darat Bandung, di kawasan Gegerkalong. Meski hujan, anak-anak itu tetap semangat berlatih sepak bola. ”Enak juga sih latihan sambil hujan-hujanan,” kata Fandi sembari melempar senyum dan meninggalkan Tempo di pinggir lapangan.
Semangat berlatih merupakan salah satu hal yang diajarkan FootballPlus. ”Kami menciptakan suasana latihan yang menyenangkan, agar anak-anak bisa menikmatinya,” kata pelatih FootballPlus, Jon Hamilton. Selain memberikan latihan sepak bola, ujar Jon, FootballPlus mengajarkan nilai-nilai. ”Di situlah letak plus kami.”
Nilai-nilai merupakan hal yang jarang ditemukan dalam latihan sepak bola. Biasanya latihan hanya berisi olah fisik dan teknik bermain sepak bola. ”Saya mengadopsi sistem latihan di Eropa,” kata Jon, yang mengantongi lisensi kepelatihan A dari Federasi Sepak Bola Eropa (UEFA). ”Harus ada nilai-nilai baik yang ditanamkan kepada anak sejak usia dini,” ujarnya.
FootballPlus adalah salah satu dari sekian banyak sekolah sepak bola anak-anak usia dini di Tanah Air. Fenomena sekolah sepak bola anak ini sebenarnya sudah mulai muncul dua dekade lalu, tapi sempat mati suri, dan marak kembali pada 2000-an, terutama setelah masuknya akademi sepak bola waralaba klub asing berkelas dunia, seperti Arsenal Football School. Klub raksasa Spanyol, Real Madrid, juga berencana membuka sekolah sepak bola sejenis di Bali. Bahkan klub seperti AC Milan pernah membuka coaching clinic ketika mantan pemainnya, Franco Baresi, berkunjung ke Indonesia.
Di antara sekolah sepak bola yang ada, FootballPlus mencuat karena prestasi yang diukir pada usianya yang masih muda. Berdiri sejak September 2009, FootballPlus tampil dan menjuarai Kejuaraan Internasional ANZA di Singapura, Mei lalu. Mereka menyabet posisi pemenang pertama pada kelompok umur di bawah 12 tahun dan menjadi pemenang kedua pada kelompok umur di bawah 16 tahun. Pesaingnya berasal dari berbagai negara tetangga, seperti Australia, Malaysia, Thailand, Singapura, dan Filipina.
FootballPlus didirikan oleh dua sahabat: Jon, yang berasal dari Inggris, dan Stef van Meerveld, asal Belanda. Stef adalah mantan pemain profesional Divisi II Liga Belanda, yang juga mengantongi lisensi kepelatihan Eropa. Keduanya berkenalan sewaktu menjadi relawan tsunami Aceh pada akhir 2004. Ketika itu, mereka memberikan klinik latihan sekaligus penghiburan bagi anak-anak korban tsunami. Mereka juga berkeliling ke berbagai daerah lain, membuka kamp-kamp pelatihan sepak bola, dan mengadakan pertandingan amal.
Sejak itu, mereka memiliki ide membuat sekolah sepak bola anak-anak di Indonesia. Baru pada November 2007, keduanya bertemu kembali. Jon dan Stef datang ke Indonesia untuk mewujudkan mimpi mereka dan menetap di Bandung. Sebagai bekal, kedua pelatih itu lebih dulu kuliah bahasa Indonesia. ”Pengetahuan bahasa penting untuk memperlancar komunikasi,” ujar Jon. Kini jumlah murid FootballPlus mencapai 100 orang, yang sebagian besar anak ekspatriat.
Melatih anak kecil, kata Jon, membutuhkan keahlian khusus. Pasalnya, minat anak-anak masih untuk bermain. Latihan pun diisi dengan hal-hal menyenangkan. Misalnya 15 menit untuk latihan teknik dan 15 menit berikutnya diisi dengan permainan yang menggembirakan. ”Latihan tidak selalu harus serius. Harus bisa mengikuti kemauan anak-anak,” ujarnya. Hal itu terbukti ketika Tempo berkunjung dua pekan lalu. Hayden, bocah enam tahun asal Amerika Serikat, hanya duduk di tangga menyaksikan teman-temannya bermain. Tidak ada usaha pelatih memaksanya kembali ke lapangan. ”Anak-anak harus enjoy.”
Di sela-sela latihan, para pelatih biasanya memberikan masukan atau wejangan soal filosofi latihan teknik sepak bola. Misalnya sesi mengontrol bola. Pelatih memberikan gambaran bahwa sepak bola identik dengan kehidupan sehari-hari. Dalam hidup juga ada yang harus dikontrol. ”Saya sampaikan, mengontrol emosi itu penting, baik dalam sepak bola maupun kehidupan sehari-hari, termasuk ketika kita disakiti,” kata Roy Wijanarko, salah seorang pelatih.
Dalam hal biaya, FootballPlus menerapkan subsidi silang bagi anak didiknya. Dari anak-anak yang mampu, FootballPlus menarik iuran antara Rp 150 ribu dan Rp 400 ribu per bulan. ”Itu tergantung kelompok umur,” ujar Sophia Hamilton, Manajer Penjualan dan Komunikasi. Sebagian anak lain diberi fasilitas latihan gratis. Bahkan seorang anak yang putus sekolah disekolahkan kembali oleh FootballPlus karena berasal dari keluarga tak mampu. ”Dia bahkan tidak memiliki akta kelahiran,” ujar Roy.
Para orang tua murid mengakui biaya ini tidak memberatkan. Bahkan nilai ini jauh lebih murah daripada sekolah sepak bola franchise klub besar dunia. Januar Santoso, 42 tahun, mengatakan batal mendaftarkan putranya, Pattrick, 12 tahun, ke Arsenal karena biayanya terlalu mahal. ”Di Arsenal itu, untuk tiga bulan, dikenakan biaya Rp 2,2 juta,” katanya. Pattrick akhirnya belajar di FootballPlus.
Soal biaya latihan ini memang harus diakui masih menjadi kendala besar bagi anak-anak kurang mampu yang ingin mendapat latihan dengan metode yang baik. Karena masih sangat minim, lembaga pelatihan sepak bola anak-anak yang berani menggratiskan latihan hanya ada di Akademi Arema di Malang, Jawa Timur. Seluruh biaya operasional ditanggung PT Bentoel Prima, sehingga anak didik dibebaskan dari biaya.
Peminatnya pun membeludak. Pada setiap penerimaan murid baru, lebih dari 400 orang mendaftar untuk tiap kelompok umur, tapi yang diterima hanya 30 orang. ”Ada perubahan persepsi orang tua. Dulu beranggapan tak guna masuk sekolah sepak bola karena masa depan suram. Sekarang sudah berbeda,” kata Asisten Manajer Akademi Arema Prayitno Setiawan.
Di Arema, pelatihan diberikan secara profesional. Kurikulum pendidikan diatur sesuai dengan standar, dengan sistem rapor, dan ada pemusatan latihan menjelang turnamen. ”Seleksi diterapkan dengan sangat ketat,” kata Prayitno. Berbeda dengan FootballPlus, anak didik Akademi Arema memang dipersiapkan menjadi pemain profesional untuk kebutuhan klub dan tim nasional. Akademi bisa memecat anak didik yang rapornya jelek.
Hasilnya tak sia-sia. Akademi Arema menyumbangkan enam orang bekas muridnya di tim Arema senior yang menjuarai Liga Super Indonesia 2010. Tiga murid lainnya masuk tim nasional U-16 dan berlatih di Uruguay.
Sekolah sepak bola kini menjamur dan mulai menjadi tren. Selebritas Julia Perez ikut membuka sekolah serupa, yang dinamai Champion Soccer School, sejak Februari lalu. ”Ini sudah masuk lifestyle yang keren, baik untuk orang tua maupun anaknya,” kata Julia, yang menjalankan bisnis ini bersama pasangannya, Gaston Castano.
Julia juga mempekerjakan dua pelatih berlisensi dari Cile dan Argentina. Mereka mengadakan latihan setiap Rabu dan Sabtu. ”Kami juga memberikan beasiswa bagi anak-anak yang tidak mampu,” kata Julia. Kini jumlah siswanya mencapai 70 orang.
Terlepas dari motivasi mendirikan sekolah sepak bola anak—idealisme, mencari keuntungan, atau mengikuti tren—ikut serta menjadi murid sekolah tersebut merupakan tangga menuju mimpi anak-anak peserta itu. Fandi, misalnya, bercita-cita menjadi pesepak bola profesional dan bahkan berlaga di Liga Eropa. ”Dia ingin membawa Indonesia ikut Piala Dunia,” kata Heri Widodo, ayahnya. Kegigihan Fandi ditunjukkannya sore itu. Hujan tak membuatnya malas berlatih.
Tito Sianipar (Bandung), Abdi Purnomo (Malang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo