Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Petualangan Seorang Juggler

Seorang pemain akrobat bola atau juggler Prancis tampil di Gedung Kesenian Jakarta. Pertunjukannya unik.

28 Juni 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HUP! Bola sebesar bola tenis itu bertengger di pundak kiri. Bola itu lalu meluncur melewati belakang leher dan pindah ke pundak kanan. Bola itu seterusnya menuruni lengan dan berhenti di kepitan siku tangan. Inilah atraksi juggler bukan sembarang juggler.

Adalah umum kita melihat seorang pemain akrobat bola memamerkan keterampilan melempar bola-bola dengan dua tangan. Tapi kali ini ada yang melakukannya sambil memegang gitar dan menyanyi.

Ya, lagunya riang. Coba lihat bagaimana caranya menyanyi. Kita tak tahu arti lirik yang didendangkannya, tapi tampak ia bagai pengelana yang selalu gembira hidupnya. Dan hup! Bola itu dari pundak meloncat nemplok di kepala.

”Lebih mudah melakukan atraksi bola sambil menyanyi daripada tanpa menyanyi,” katanya sembari tertawa sumringah. Itulah Vincent de Lavenere. Pria ramah ini adalah juggler lulusan sekolah sirkus Champagne, Prancis. Alat musik mirip gitar kecil yang dibawanya disebut citole.

”Juggler abad pertengahan selalu membawa citole,” ujarnya. Menurut dia, dulu di abad ke-12 para juggler bagai trubadur—mengembara ke mana-mana. Citole diduga perkembangan dari cithara—instrumen empat senar yang namanya diambil dari satu nama pulau di Yunani. Yang khas dari citole adalah di ujung leher pegangannya ada bolongan untuk cantelan ibu jari. ”Saya bereksperimen terus melakukan akrobat bola sembari memainkan citole,” katanya.

Vincent agaknya ingin mengembalikan roh juggler kuno tapi dalam kemasan panggung yang modern. Itulah yang membuat pertunjukannya menarik. Panggung disajikan penuh perhitungan efek cahaya. Ia, misalnya, tiba-tiba mengerek gorden berumbai menjadi backdrop panggung. Dan dari belakang ada delapan lampu sorot. Menjadikan dirinya seperti sebuah siluet.

Ia juga penuh perhitungan bunyi. Bola-bola itu diisinya lonceng sehingga gemerincing ketika dilempar. Ia menggunakan pula semacam kendi yang entah bahannya apa—karena bila terkena tubuhnya berbunyi ”dung… dung”. Ia juga memainkan genggong, ”harmonika bambu” yang bunyinya ”ngung… ngung”. ”Saya ingin permainan ketangkasan bola ini tidak hanya enak dilihat, tapi juga enak didengar,” katanya.

Lebih jauh, ia melengkapi pentasnya dengan back sound yang membuat tipu muslihat antara bunyi asli instrumen yang dimainkannya dan bunyi suara rekaman. Saat ia meniup genggong, gaung bunyi ”ngung… ngung”-nya, misalnya, diteruskan rekaman.

Demikianlah, penonton keplok dan terperangah tatkala lemparan bolanya bisa membuat visual seperti curahan kembang api. ”Wah, gerakannya seperti tari lilin,” bisik seorang penonton ketika melihat bagaimana atraksi Vincent membalik tangan persis gerakan penari Minang melempar piring. ”Dia pasti pernah ke Minang,” katanya lagi. Vincent memang lama mengembara di Asia Tenggara, tapi bukan di Minang, melainkan di Laos.

Berkali-kali Prancis mengirim pentas sirkus kontemporer ke Indonesia. Mereka rata-rata lulusan sekolah sirkus. Kita melihat antara yang satu dan yang lain sangat berbeda. Kita pernah melihat seorang pemuda bernama Camille Boitel seorang diri selama satu jam menumpuk-numpuk properti kayu menjadi seolah pohon cemara, kursi lipat, egrang, kaki seribu, roda pedati, jembatan, atau lajur rel kereta.

Lalu datang Jean Baptiste Andre, yang hanya dengan sorotan handycam sederhana bisa memunculkan ilusi panggung. Tubuhnya seakan bisa terbalik, seperti cicak merayap di dinding. Kemudian ada kelompok Compagnie XY, yang mengeksplorasi koper dan papan-papan. Bulan lalu, Alexander Fray dan Fredrick Arsenault dari grup Un Loup pour L’homme menampilkan duet akrobat yang memukau.

Dan kini kita terhibur, ada orang yang tangkas melempar bola-bola seperti air mancur, seraya menimbulkan suara aneh-aneh. Ia menamakan pertunjukannya Pai Sai, yang dalam bahasa Laos berarti ”mau ke mana kamu?”. Ya, penonton seperti anak kecil yang ingin mengikuti ke mana saja langkahnya pergi.

Seno Joko Suyono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus