Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Bukan Sekadar Sketsa Beku

Sketsa-sketsa perjalanan Mudji Sutrisno yang lahir dari sebuah perenungan dan keheningan selama menjalani cuti panjang di Italia.

28 Juni 2010 | 00.00 WIB

Bukan Sekadar Sketsa Beku
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

SOSOK dalam basilika itu seperti terpenjara. Sketsa gambar Roh Kudus dalam wujud seekor merpati bercahaya itu terbang di sekitar pilar-pilar yang megah. Di atasnya terdapat cupola atau kubah basilika dengan garis-garisnya yang menjuntai dan membatasi gerak merpati itu hingga seperti terkurung dalam sebuah sangkar.

”Sketsa itu merupakan refleksi kekhawatiran saya akan agama yang bisa menjadi beku dalam birokrasi gereja,” kata Mudji Sutrisno tentang sketsanya itu. ”Saya selalu takut Roh Kudus akan terkurung dalam takhta dan gedung-gedung gereja yang megah.”

Menurut Romo Mudji, sapaan akrabnya, gereja sebagai bangunan bisa menjadi ruang yang mengurung Roh Kudus. Gereja akan kehilangan dayanya ketika berhenti memberi. Karena itu, pada bagian lain sketsanya ia membubuhkan pertanyaan, ”Domino Quando Veneris (Kapan Engkau hadir memperindah dunia)?” Lewat pertanyaan ini, ia ingin mengatakan Tuhan yang hadir dalam keindahannya itu hanya kata-kata suci dalam khotbah atau sungguh-sungguh terwujud dalam perbuatan nyata. ”Ini semacam refleksi sekaligus kritik tajam terhadap religi saya,” ujar pastor berusia 55 tahun ini.

Begitulah sketsa goresan Romo Mudji yang mengkritik kondisi rumah peribadatan kaum Nasrani belakangan ini. Sketsa terbarunya itu salah satu karya yang ia buat selama menjalani sabatikal atawa cuti panjang di Italia. Sekitar tujuh bulan, dari awal Juni hingga akhir Desember 2009, dosen Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta, itu melewati hari-harinya di Roma dan sekitarnya—tempat ia dulu, pada 1986, menimba ilmu dan meraih gelar doktor filsafat dari Universitas Gregoriana.

Selama di Italia, Romo Mudji menjadi sangat produktif membuat sketsa. Kota Roma, dengan segala keindahan dan kemegahannya, seakan memberikan energi kreatif yang dahsyat. Dari kamar 402 di Kolese Bellarmino, tempat ia menjalani cuti panjangnya, Romo Mudji menggoreskan garis-garis di atas kertas, yang kemudian membentuk sketsa-sketsa. Kadang ia menggunakan pulpen Boxy, kadang memakai roller pen 04. Satu sketsa bisa dibuat dalam 15 menit hingga satu jam.

Menikmati sekitar 90 sketsa hasil goresan Romo Mudji, kita seolah diajak berkelana melihat keindahan sejumlah tempat di Italia, dari sudut Kota Florence, kemegahan Roma, berbagai basilika, keindahan Sungai Tiber, hingga keagungan Vatikan. Kota Vatikan, dilukis dua kali saat malam dan pagi.

Sebagian besar sketsa perjalanannya itu terangkum dalam buku Garis-garis Sketsa Mudji Sutrisno, SJ, yang dirilis Penerbit Obor, Jakarta, pada akhir Mei lalu. Yang lainnya masuk buku Ranah-ranah Estetika. Boleh dibilang, sketsa-sketsa itu bukan sekadar goresan garis yang beku, melainkan semacam ruang ekspresinya yang sarat makna.

Simak sketsa buah pir. Dalam sketsa ini, pir bukan lagi sebagai buah. Rangkaian garis dari pucuknya yang berbatang kecil melingkari seluruh lekukan pir. Garis-garis lengkung menyelimuti kesegaran pir itu sehingga tampak gelap menghasilkan bentuk rahim. Ini refleksi rasa syukurnya terhadap ibunya yang telah melahirkannya. ”Rahim itu adalah suci. Makanya buah pir yang segar itu saya jadikan metafor rahim.”

Yang juga menarik adalah sketsa sederhana tentang makanan. Sketsa ini menggambarkan makanan yang tersaji di meja. Ini melukiskan ekspresi kerinduan Romo Mudji akan nasi dan makanan khas Indonesia lainnya, terutama masakan Jawa. ”Sementara yang ada di depan mata setiap hari adalah masakan Eropa,” katanya.

Bagi Romo Mudji, ketika tulisan esai atau kolom atau puisi kurang pas mengungkapkannya, garis-garis sketsalah yang menjadi medium ekspresinya. Sketsa-sketsanya merupakan goresan tangan dari dalam hati yang dituntun oleh intuisi ketika mata terpana pada peristiwa, bangunan, dan alam—yang memanggil untuk digambar.

Sebelum membuat sketsa, romo berambut gondrong ini selalu mengheningkan batin. Ia merenung, mengendapkan semua pengalamannya, selama menelusuri sejumlah tempat di sudut Roma dan sekitarnya. Barulah kemudian ia menuangkannya dalam goresan sketsa. ”Ibaratnya, saya mengerahkan semua indra dalam menggarap sketsa,” ujarnya.

Hasilnya: serangkaian sketsa yang menarik dan kontemplatif. Dan secara teknis, goresan garis sketsa Romo Mudji terasa makin tajam bila dibandingkan dengan sketsa-sketsa sebelumnya dalam Dimensi Estetika Mudji Sutrisno, yang dipamerkan pada awal 2007. Kali ini terlihat garis—elemen dominan dalam karya-karya terbarunya—yang tak ragu lagi. Ia tak peduli garis yang satu menghantam garis lain. Satu kekurangannya, terkadang unsur perspektif ruang seperti diabaikan.

Menurut Romo Mudji, dulu ia masih dalam tahap belajar menggoreskan garis. Apa yang membuat matanya terpana langsung dibuat sketsa, tanpa proses perenungan dan pengendapan lebih dulu. ”Kali ini, selain melalui proses kontemplasi, ditambah talenta yang makin terasah, saya juga tak ragu lagi dalam menggoreskan garis,” katanya. ”Sketsa-sketsa kali ini boleh dibilang mulai masuk ke dalam tahap puncak-puncak ekspresi saya.”

Nurdin Kalim, Pramono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus