Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Nafsu makan meningkat

Susi Susanti dan Ardy B Wiranata mempersoalkan kecilnya uang yang diterima dari kontrak gabungan antara PBSI dan Yonex. Mereka lebih suka melakukan kontrak perseorangan dengan sponsor.

14 September 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pemain top bulu tangkis mempersoalkan kecilnya uang yang mereka terima dari sponsor. Mengapa tak kontrak perseorangan saja? BELAKANGAN ini, dunia bulu tangkis Indonesia kembali menjanjikan harapan. Lihatlah Ardy B. Wiranata dan Susi Susanti yang mulai unjuk gigi di turnamen internasional. Bahkan, keduanya berhasil menjuarai turnamen bergengsi All England, melengkapi suskes dalam Kejuaraan Swedia Terbuka, Swiss Terbuka, dan Indonesia Terbuka. Terakhir, Ardy juara dunia di Macao. Prestasi itu berbuntut. Pemain papan atas seperti Susi Susanti dan Ardy mempersoalkan imbalan yang mereka terima dari kontrak gabungan PBSI dengan Yonex, produsen peralatan olahraga. Yonex pernah mengikat Icuk Sugiarto lewat kontrak perseorangan senilai US$ 100.000. Sejak tahun 1987, PBSI memang memilih kontrak gabungan. Semua pemain Pelatnas, yang berjumlah 30 pemain, dihitung sebagai satu kelompok yang dikontrak oleh Yonex selama tiga tahun. Hasil kontrak US$ 300.000 itulah yang kemudian dibagikan kembali kepada 30 pemain. Cara membaginya itu yang jadi soal bagi Susi. Sebagai juara All England, untuk enam bulan pertama, ia hanya mendapat bagian US$ 12.000 atau sekitar Rp 23 juta. Kalau prestasinya tetap, ia akan memperoleh jumlah yang tidak jauh berbeda dalam enam bulan berikutnya. Susi mempersoalkan jumlah ini karena ia merasa tak seimbang dengan prestasinya. Ia pun minta supaya PBSI kembali menerapkan kontrak perseorangan. "Pemain berprestasi wajar menerima uang lebih banyak," katanya. Keinginan yang sama juga disampaikan Ardy, yang menerima sekitar Rp 32 juta untuk paruh tahun pertama. "Bandingkan saja dengan pemain luar negeri, mereka dapat jauh lebih besar," kata juara dunia ini seusai latihan di Pelatnas Asia Afrika, Jumat pekan lalu. Lagi pula, menurut Ardy, kontrak perseorangan bisa memacu prestasi pemain muda. Dengan kontrak perseorangan, pemain tanpa prestasi tidak akan dilirik Yonex. Menanggapi keluhan pemain, PBSI langsung mengambil tindakan. Ketika para pemain sedang berlatih untuk persiapan SEA Games, para pengurus bertemu di Wisma Bakrie. Pertemuan yang berlangsung dua setengah jam itu dihadiri oleh Aburizal Ba krie, Rudy Hartono, Rapiudin Hamarung, Titus Kurniadi, Leo Ch. Wiranata, dan Purnomosidi. Hasilnya, "Tunggu pertemuan pengurus PBSI," kata Rapiudin. Membagi uang memang bukan hal mudah. Ketika PBSI memilih kontrak gabungan ada alasan dan tujuan yang mulia. "Kalau perseorangan, lalu siapa yang mau mengontrak pemain yang belum top. Bisa dapat raket saja syukur," kata Titus Kurniadi, Ketua Bidang Luar Negeri PBSI. Di samping itu, kontrak gabungan meningkatkan posisi tawar-menawar pemain dengan perusahaan. "Dulu tidak ada pemain menonjol sehingga posisi mereka lemah. Jadi, diambil kontrak gabungan. Jangan setelah prestasi naik bilang kontrak gabungan merugikan," kata Titus lagi. Itulah dampak negatif dari peningkatan prestasi pemain dalam hal kontrak gabungan. "Sekarang ini kalau tidak hati-hati membagi, bisa membuat pemain mendapat jumlah yang tidak sesuai dengan prestasinya," kata Rudy Hartono. Juara delapan kali All England itu, walaupun tidak sempat menikmati nilai kontrak ratusan juta, lebih cenderung pada kontrak perseorangan. "Saya tidak menyalahkan PBSI, tapi pemain jelas tidak puas. Jadi, kalau kontrak kolektif itu sulit, ya, perorangan saja." Susi dan Ardy memang punya alasan untuk mendapat lebih. Keduanya sudah menunjukkan prestasinya di tingkat dunia. Itu manusiawi, seperti kata Titus, "Mungkin bukan persoalan besar kue saja, tapi ada nafsu makan yang meningkat." Liston P. Siregar dan Andi Reza

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus