ADA kabar gembira untuk penggemar terjun payung. Sebuah pesawat Dakota C-47 sedang direnovasi. Jika beres, akan disumbangkan kepada FASI. "Pesawat itu bisa digunakan tanpa mengganggu jadwal operasi TNI-AU," kata Ketua FASI, Marsekal Madya (Purn.) Sugiantoro. Bisa diharapkan, kehidupan olahraga terjun payung sipil di Indonesia lebih semarak. Selama ini, kehidupan klub terjun payung di Indonesia -- di luar milik angkatan bersenjata -- kembang kempis. "Klub-klub itu belum profesional. Pesawat masih nebeng, payung juga masih nebeng," kata Ketua Klub 1-6-5 Sky Divers, Indra Iwan. Ada yang merogoh kocek sendiri dengan mengeluarkan biaya rata-rata Rp 800 ribu per bulan. "Tapi, itu kan berat sekali," kata penerjun Jasmin Mandagi juga dari Sky Divers. Maka, Sky Divers yang pernah punya 40 anggota -- 15 di antaranya orang asing -- satu per satu rontok. Klub lainnya, seperti Aves, Mataram, Nusantik, dan Parachute Club lndonesia, juga punya problem serupa. Itu sebabnya mereka membutuhkan bapak angkat. "Dalam pengertian bukan hanya sebagai sumber dana, tapi juga pembinaan," kata Indra, yang telah membekukan Sky Divers setahun lalu. Menjawab keluh kesah ini, Juni tahun lalu dibentuklah Yayasan Garuda di Jakarta. Yayasan ini sudah banyak melangkah. Termasuk ikut membantu penyelenggaraan kejuaraan dunia terjun payung di Jakarta. Selain itu, kata sesepuh penerjun Indonesia, Trisno Yuwono, "Yayasan Garuda menyumbang payung buat klub Mataram sekitar Rp 30 juta." Yayasan juga mengirimkan atlet terjun payung Indonesia untuk berlatih di Sacramento, AS. Namun, Yayasan Garuda bukan penyandang dana untuk semua klub. "Harap dicatat. Yayasan Garuda tidak ada urusan dengan klub-klub terjun payung. Kami hanya menangani pembinaan para penerjun yang berprestasi," kata Herman Afif Kusumo, Ketua Yayasan Garuda. Kalau ada klub yang mau mati, "Itu bukan urusan kami," ujar Herman. Yayasan Garuda sendiri punya klub juga: Perkumpulan Terjun Payung Garuda.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini