ADAKAH manusia tropis layak mendaki gunung es? Dokter Dangsina Moeloek, pengajar Ilmu Faal FKUI yang juga Sekjen Indonesian Association for Sports Health, menyimpulkan "Sebenarnya tak ada masalah bagi manusia tropis untuk mendaki gunung es. Asalkan metode penjagaan kesehatannya dilakukan secara benar." Kesimpulan ini memang belum final. Tapi Dangsina telah mendata perubahaan faal anggota Mapala UI sejak 1986. Data didapat dari kuesioner yang diisi oleh pendaki bersangkutan, yang dikumpulkan sejak Mapala UI mendaki Andes (1988), Mount Cook (1988), Mckinley (1989), Elbrus (1990), dan Aconcagua (1992). Tapi sampel itu baru mencakup 18 orang, atau belum sempurna. "Kecuali jika sudah mencapai 30 orang," katanya. Data tersebut sifatnya hanya untuk memantau perubahan fisik seseorang di ketinggian tertentu dengan suhu yang ekstrem dingin. Data itu menyangkut, "Denyut nadi, detak jantung, kekuatan grip (genggaman tangan), dan sebagainya," kata Dangsina. Begitu juga nilai Hb (hemoglobin atau sel darah merah) harus lebih baik ketimbang orang normal. Standar normal nilainya 14 gram persen kalau lakilaki, dan 12 gram persen jika perempuan. "Ini sudah standar Depkes," katanya. Dengan Hb yang baik maka usaha penyerapan oksigen dalam darah merah menjadi banyak. Dan sel darah merah adalah alat transpor oksigen. "Kalau alat transpornya kacau, bagaimana dengan yang lain," lanjutnya. Namun, lantaran kuesioner itu diisi sendiri oleh pendaki yang bersangkutan, hasilnya tentu bisa subyektif. Jadi, "Tergantung kejujuran si pendaki sendiri terhadap gejala yang dirasakannya," kata Dangsina. Untuk itu, pada pendakian ke Mount Everest mendatang (sudah ada izinnya tahun 1995), Dangsina akan terjun langsung sampai di base camp. Jadi, sekali lagi, meski penelitiannya belum final (sampel baru 18 orang), sebenarnya tak ada masalah bila manusia tropis ikut pendakian gunung es. Soalnya, "Berdasarkan pengalaman selama ini, toleransi mereka cukup besar," kata Dangsina. Asalkan metode aklimatisasinya sesuai. Misalnya, harus banyak minum dan istirahat cukup. Sebagai contoh adalah pengalaman Sugiono Sutejo alias Sute dan Didiek Samsu pada tahun 1990. Mereka mengantar dua pendaki Belanda, Ronald Naar dan Erik Pouches, ke Carstensz. Tapi apa yang terjadi? Sute dan Didiek sehat-sehat saja sedangkan Pouches terkena cerebral oedema sampai lumpuh sehingga perlu dirawat di RSCM. "Padahal, pendaki Belanda tentunya sudah terbiasa dengan iklim salju," katanya. Oedema muncul karena kurang sempurnanya proses aklimatisasi dari puncak ke bawah atau sebaliknya. Jika di otak bernama cerebral oedema dan di paru-paru bernama pulmonary oedema. Jika mengenai otak bisa berakibat kelumpuhan dan tak bisa sembuh normal. Norman Edwin di Elbrus pernah terkena pulmonary oedema tapi tak terlalu gawat dan bisa sembuh. Semua ini sebenarnya sudah dikuasai Mapala UI. Itu sebabnya, ketika memilih pendaki ke Aconcagua, Mapala UI pun sudah menyeleksi anggotanya dengan ketat. Dari 24 anggota, setelah dites fisik, pengalaman, kerja sama, kepemimpinan, dan sebagainya, terpilih 5 orang. Bahwa kemudian timbul musibah, itulah takdir. WY dan Ivan Haris
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini