DUA piala impian itu, Thomas dan Uber, sudah direngkuh dan dikawinkan lagi. Juga "uang lelah" masing-masing Rp 25 juta untuk 25 pemain dan pelatih tim Indonesia sudah diumumkan dibagi-bagikan. Tapi ada yang sulit dilenyapkan dari benak. Turnamen badminton bergengsi itu menorehkan kesan yang menyesakkan napas: gemuruh penonton yang mirip mengacau. Selain itu, buntutnya tidak enak. "Ketua IBF Lu Sheng-rong mengeluh pada saya tentang penonton di final Piala Thomas. Secara lisan, ia bilang akan memberi sanksi kepada Indonesia," ujar Menteri Negara Pemuda dan Olahraga, Hayono Isman, kepada wartawan, Kamis pekan silam. Ia menyarankan agar PBSI melobi Federasi Bulu Tangkis Internasional (IBF) supaya tak menjatuhkan sanksi yang memalukan Indonesia. Menurut rencana, IBF akan bersidang November mendatang di Kinabalu, Sabah, Malaysia. "Kami membahas terutama soal kode etik pemain di lapangan," kata Rudy Hartono. Mengapa pemain saja yang dikode-etikkan? Menurut Rudy, saat turnamen Uber dan Thomas di Jakarta, banyak terlihat ulah pemain yang tidak terpuji. "Ini mengganggu pertandingan, bukan hanya karena penonton," ujar Rudy, yang baru menjadi anggota IBF. Wajar pula jika ulah penonton dibahas. Rujuk saja pada perilaku penonton Indonesia dan Malaysia. "Sejauh ini belum ada aturan untuk suporter," kata Rudy. Mengapa tidak melihat penonton di All England? Mereka menahan diri dan tidak beringas. Sedangkan ulah penonton di Senayan justru membuat muka masam: final Piala Thomas Indonesia dan Malaysia, Sabtu dua pekan lalu, dihentikan wasit kehormatan Roger Johansson. "Karena penonton sulit dikendalikan," katanya. Waktu itu tim Indonesia sudah unggul 3-0. Sedangkan dua partai sisa tidak dilanjutkan bukan karena ditolak Malaysia, tapi IBF yang menghentikannya. Tim Malaysia mengakui kemenangan dan keandalan regu Indonesia. Di final, Rashid Sidek dan rekan- rekannya kalah bagus melawan Arbi dan kawan-kawan, yang bermain lincah seperti rusa dalam kandangnya. "Indonesia tim yang kuat, tapi soal penonton, Anda lihat sendirilah," kata manajer tim, Punch Gunalan. Ia kesal, lalu mengajukan protes ke IBF. Ditambahkan Datuk Abdullah Fadzil Che Wan, Presiden Asosiasi Badminton Malaysia, "Pemain tamu tentu terpuruk jika disoraki begitu." Tim Malaysia terpuruk. Dan patutkah penonton disalahkan? "Mereka selalu mencari kesalahan kita. Padahal, mereka pernah ngerjain kita di Malaysia dan Korea," ujar pelatih Indra Gunawan. Ia menunjuk kisah tanding tim Piala Thomas Indonesia (yang kalah) melawan Malaysia di Kuala Lumpur pada tahun 1992. Saat itu suporter Malaysia bukan main galaknya. Sementara itu, ulah suporter di Senayan juga terkadang kelewat batas. Selama pertandingan final, misalnya, panitia kewalahan mengatur mereka. Suasana memanas saat Ardy B. Wiranata melawan Ong Ewe Hock. Saat skor 14-4 untuk Ardy, tiba- tiba, werrr, wadah minuman plastik dilemparkan dan jatuh di lapangan Ong Ewe. Ia protes ke wasit, kemudian menoleh ke Gunalan. Selanjutnya: melayang terbang roti, tongkat, dan plastik minuman berisi ingus. Ong akhirnya kalah. "Dan ia juga kelewatan. Sudah tahu penonton di Senayan galak, malah ia bikin aksi yang memancing emosi," kata Ardy. Lihat gaya Ong hingga akhir pertandingan. "Ong angkuh dan berani memanasi penonton," kata seorang suporter yang suaranya sudah serak. Johansson lalu berembuk dengan petinggi badminton kedua regu. Ekornya, dua duel sisa dihentikan. Ketua Umum PBSI lantas meraih mikrofon, dan tiga kali berteriak, "Apakah kalian sanggup menjaga ketertiban?" Sejumlah massa bagaikan menerima perintah menyahut, "Sangguuup." Indonesia menang, dan bangga menggotong Piala Thomas. Di mana regu Malaysia? Mereka tertunduk di ruang ganti pakaian, dan baru sontak pada pukul 23.45, ketika panitia masuk menemui mereka. Dengan muka mendung, regu Malaysia berbaris sejajar, sembari menerima kalungan medali. Padahal, acara itu tidak lazim: siapa yang melihat ada pengalungan medali di ruang ganti pakaian?Wahyu Muryadi dan Rihad Wiranto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini