Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Fandhi Achmad telah tiga kali mewakili Indonesia di ajang lari lintas alam internasional Ultra-Trail du Mont-Blanc di Chamonix, Prancis.
Arief Wismoyono dikukuhkan sebagai finisher dan pemecah rekor pelari Indonesia di Ultra-Trail du Mont-Blanc 2021
Indonesia memiliki potensi untuk mengembangkan lari gunung karena gunung dan hutannya banyak dengan medan bervariasi.
FANDHI Achmad, 38 tahun, menyelesaikan latihan rutin di kampus Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, Rabu, 15 September lalu. Pagi itu, ia memutari jalur lingkar kampus Jaket Kuning tersebut empat kali. Jarak sekali putaran sekitar enam setengah kilometer. Itu porsi latihan harian pria bertinggi badan 161 sentimeter tersebut. Bila tidak berlatih di kampus UI, Ia menjajal jalur perumahan Sentul City, Babakan Madang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. “Tadi mulai latihan pukul 07.00 lewat, selesai pukul 09.00,” kata pria yang akrab disapa Agi itu.
Agi adalah pelari gunung (trail runner) yang telah tiga kali mewakili Indonesia dalam lomba lari lintas alam internasional Ultra-Trail du Mont-Blanc (UTMB) di Chamonix, Prancis. Atlet kelahiran Jakarta, 27 September 1983, ini menceritakan pengalamannya ketika tampil dalam UTMB 2021 pada 23-29 Agustus lalu. Kompetisi lari lintas alam terbesar di dunia itu mempertandingkan tujuh kategori, yaitu Ultra-Trail du Mont-Blanc, Petite Trotte a Leon, Courmayeur-Champex-Chamonix, Traces des Ducs de Savoie, De Martigny-Combe a Chamonix, Youth Chamonix Courmayeur, dan Orsières-Champex-Chamonix.
Selain Agi, ada tiga pelari Indonesia yang mengikuti turnamen ini, yakni Arief Wismoyono, Rachmat Septiyanto, dan Dendi Dwitiandi. Semuanya turun di kategori paling bergengsi, yaitu Ultra-Trail du Mont-Blanc. Kategori ini diikuti oleh 2.347 pelari yang bersaing untuk menyelesaikan jarak 171 kilometer dengan batas waktu 46 jam 30 menit. Agi berhasil menyentuh garis finis di peringkat ke-490. Jebolan organisasi Mahasiswa Pencinta Alam atau Mapala UI ini mencatatkan waktu 38 jam 32 menit 18 detik.
Ini ketiga kalinya Agi berpartisipasi dalam UTMB setelah pada 2015 mengikuti kategori Ultra-Trail du Mont-Blanc dan pada 2017 berpartisipasi di Petite Trotte a Leon. Bagi Agi, mengikuti UTMB menjadi suatu kebanggaan karena event ini adalah yang termegah bagi pelari gunung. "UTMB bisa dibilang Olimpiade untuk pelari gunung. Jadi pelari gunung seluruh dunia berkumpul di sini. Kami juga menyebutnya seperti naik hajinya pelari gunung," ucap alumnus Program Vokasi Diploma III Jurusan Pariwisata UI itu.
Seperti dalam Olimpiade, para pelari pun mengikuti tahap kualifikasi. Mereka harus mengumpulkan poin agar bisa tampil dalam UTMB. Agi mengatakan syarat minimal untuk lolos ke UTMB adalah mengikuti kejuaraan lari gunung jarak 100 kilometer. Dalam perjalanannya ke UTMB, Fandhi mengikuti empat lomba lari di Indonesia yang tergolong kualifikasi UTMB, yaitu Rinjani 100, Gede Pangrango 100, Bromo Tengger Semeru 100 Ultra, dan MesaStila 100. "Kami ikut lomba yang terafiliasi ke UTMB karena tak semua masuk kualifikasi. Jadi, meski memiliki poin, kami tidak otomatis lolos," ujarnya.
Agi mengikuti empat lomba lari gunung itu pada 2018 dan 2019 karena semua kejuaraan pada 2020 ditunda akibat pandemi Covid-19. Meski begitu, poin yang ia kumpulkan tetap berlaku untuk lolos ke UTMB. Dia mengakui persiapannya tahun ini tidak ideal karena pandemi virus corona. Agi, yang terbiasa berlatih di Gunung Gede Pangrango, Jawa Barat, harus puas hanya berlatih di Sentul. "Jadi saya latihan ke Sentul meski ketinggiannya cuma 1.000 meter di atas permukaan laut. Lomba aslinya di ketinggian 2.000 meter dan dingin karena gunung bersalju," tuturnya.
Agi memilih Gunung Gede Pangrango sebagai lokasi latihan karena ketinggiannya. "Gunung Gede Pangrango ketinggiannya sekitar 3.000 meter di atas permukaan laut. Jadi, selain dapat altitude-nya, bisa merasakan dinginnya. Kalau di Sentul altitude-nya rendah dan tempatnya panas," ucap Agi, yang pada Januari lalu mendapat rekor Museum Rekor Indonesia atau Muri sebagai peraih gelar juara pertama kompetisi lari gunung terbanyak di Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Arief Wismoyono saat mengikuti UTMB (Ultra Traild du Mount Blanc) di Swiss, Agustus 2021/Dok Pribadi/Flora Andriany
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Agi, yang mengenal lari gunung pada 2014, mengaku Indonesia memiliki potensi mengembangkan olahraga ini. Sebab, medium latihan berupa gunung dan hutan cukup banyak dengan medan bervariasi. Sayangnya, kata Agi, kompetisi lari gunung di Indonesia masih jarang. Dalam setahun, hanya ada enam kompetisi yang rutin digelar. "Kompetisi harus diperbanyak agar atletnya juga makin banyak. Atlet banyak artinya kompetisi juga akan makin kompetitif," ujarnya.
Rekan Agi, Arief Wismoyono, dikukuhkan sebagai finisher dan pemecah rekor pelari Indonesia dalam UTMB 2021 dengan catatan waktu 35 jam 56 menit 29 detik. Torehan itu didapatkan seusai manuvernya di jalur downhill, yang membuatnya merangsek ke posisi 300-an pada 10 kilometer menjelang garis finis. Padahal pria kelahiran Bandung, 1 September 1984, ini sempat berada di posisi 500-an. Ia pun menyelesaikan lomba UTMB 2021 di peringkat ke-311.
Capaian dalam UTMB 2021 tersebut, menurut Arief, tidak lepas dari persiapan dan latihannya di Gunung Manglayang, Jawa Barat. “Kontur di Mont-Blanc itu tidak seterjal di Manglayang, lokasi saya sering berlatih. Pada 2017 saya pernah ke sana, tapi tidak sampai ke puncak piramida di daerah Italia. Itu banyak batu yang licin karena es. Orang sana takut di batu yang licin,” kata Arief saat dihubungi, Rabu, 15 September lalu.
Selama ia berlari, suhu udara yang mencapai minus 7 derajat Celsius menjadi kendala yang dihadapinya selain pakaian berbahan waterproof yang dikenakan terasa lebih longgar. Udara terasa lebih dingin ketika memasuki area terbuka. Ketika memasuki area yang dipenuhi pohon, udara dingin berkurang. Dari pengalaman mengikuti UTMB 2017, Arief menarik pelajaran bahwa berlari di turunan adalah kunci untuk “mencuri” waktu.
Sekitar 10 kilometer terakhir dalam UTMB adalah jalur turunan. “Apalagi suhu sangat dingin, mendorong kita untuk terus bergerak,” tutur Arief. Hal itulah yang kemudian ia praktikkan. Ia menyusul banyak pelari dari mancanegara. “Seingat saya, ada 39 pelari yang saya susul,” katanya. Kemampuan Arief berlari downhill itu diapresiasi oleh para peserta yang terlewati. “Mereka memberi semangat dan bertepuk tangan,” ucapnya.
Ihwal manuver yang dilakukan di jalur turunan, Arief menyebutkan otot-otot di kaki, paha, pergelangan, dan perut harus kuat. Sebab, saat menuruni jalur, otot-otot bagian tersebut akan bekerja lebih keras. Selain menggunakan kekuatan otot, Arief bersiasat dengan merenggangkan tubuh agar tercapai keseimbangan dalam kecepatan tinggi. “Saya kalau downhill mengikuti orang di depan saya. Yang penting yakin dan jangan ragu. Kalau ragu nanti otot-otot jadi kaku,” katanya.
Kini Arief bertekad menjadi orang Indonesia pertama yang mampu menorehkan catatan waktu di bawah 30 jam dalam UTMB. "Pengin jadi orang Indonesia pertama yang bisa finis di bawah 30 jam," ucap Arief. Ia mulai menekuni dunia lari gunung saat mengikuti lomba lari di Tangkubanparahu, Jawa Barat, pada 2014. Meski belum pernah mendaki gunung, pria 37 tahun ini pernah menjuarai MesaStila Peaks Challenge 2014 di Magelang, Jawa Tengah.
Setahun kemudian, pelari yang tergabung dalam BDG Explorer ini sukses meraih posisi pertama dalam Bromo Tengger Semeru 102 Ultra, Mount Rinjani Ultra 2015, Ijen Trail Run 2015, dan MesaStila Challenge and Ultra 2015. Berkat prestasi itu, Arief disebut sebagai atlet trail run nomor satu se-Asia pada 2015. Dalam MesaStila 5 Peaks Challenge 2016, Arief harus kehilangan kesempatan menjadi juara setelah mencoba menyelamatkan sesama pelari peserta kejuaraan lari ekstrem tersebut yang terserang hipotermia.
IRSYAN HASYIM
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo