Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Pelatih Dapat Apa?

Komentar beberapa pelatih yang pernah mencetak atlet hingga tingkat internasional soal bonus Rp 1 milyar. Dibanding gaji mereka, hadiah itu dianggap terlalu tinggi. Dipotong 5% untuk pelatih.

15 Agustus 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BONUS satu milyar? "Waduh, saya merinding mendengar," komentar Tahir Djide, bekas pelatih nasional PBSI, yang mengaku belum pernah melihat uang sejumlah itu. Sudah 20 tahun Tahir jadi pelatih, antara lain, mencetak Liem Swie King dan Icuk Sugiarto, toh ia kaget mendengar bonus sebesar sekarang ini. Bagi Tahir, nasib para pelatih hendaknya jangan dilupakan. Walau umumnya pelatih sudah puas jika yang dilatihnya sukses, masa depan pelatih di Indonesia kebanyakan suram. Tahir mengaku pernah mendapat "bonus" sebuah motor 150 cc etika Indonesia memboyong Piala Thomas. Hadiah itu pun dari Pemda Jawa Barat. Pelatih tunggal Pelatnas PBSI saat ini, Indra Gunawan, terus terang mengakui tak bisa hidup dari melatih. Sebelum jadi pelatih, Indra berbisnis tape mobil dan cukup sukses. Lalu ia tergerak menangani PBSI setelah Indonesia gagal merebut Piala Thomas tahun 1988. Celakanya, PBSI melarangnya kerja nyambi. Bisnis akhirnya dtutup. Untung, ia masih punya deposito. Sukses Ardy menjuarai All England adalah hasil gembelengan Indra. Apa yang diperolehnya? "Sampai sekarang saya belum pernah dapat bonus," katanya. Kalau kritikan sudah biasa, misalnya ketika gagal merebut Piala Thomas Mei lalu. Indra mengusulkan agar setiap hadiah uang yang diterima pemain dipotong lima persen untuk pelatih. "Ini sekaligus mendidik pemain supaya punya loyaltas, tidak egoistis," katanya. Pelatih tunggal putri PBSI, Liang Chiusia, sependapat. Apalagi, katanya, pelatih pun tak kalah stresnya. Sebelum Susi meraih emas di Barcelona, Chiusia tak bisa tidur dua malam karena stres. Chiusia jadi pelatih sejak 1986 dengan gaji Rp 500 ribu. "Menjelang Olimpiade, naik menjadi Rp 1 juta," katanya. Ia memang punya mobil Grand Civic tahun 1990, "Tapi saya masih utang Rp 25 juta pada Tjn Tjun," kata Chiusia. Tjun Tjun, bekas pemain bulu tangkis, adalah adiknya. Di rumah adiknya itulah Chiusia menumpang. Suami Chiusia hidup di Hong Kong sebagai penari balet. Dan di Hong Kong pula Chiusia pernah jadi pelatih dengan bayaran empat kali lipat. Tapi ia tak puas di sana. Ia lebih tertarik melatih di Indonesia walau gaji kecil dan tak pernah mendapatkan bonus. "Untuk sekadar makan saja di Indonesia memang tak jadi masalah," katanya. Pengabdian, ya, kata gagah itu paling membanggakan para pelatih olah raga. Zulkaryono Arifin, yang telah melahirkan petinju Adrianus Taroreh dan Liston Siregar yang merebut medali emas di Sea Games 1985 dan William Gomez yang menjadi juara Asian Games tahun 1978, mengaku puas jika petinjunya berhasil atas nama pengabdian. "Jangankan bonus dari petinju, wong petinjunya saja nggak dapat apa-apa kok. Ini kan amatir, jangan berharap macam-macam," kata Arifin. Donald Pandiangan, Robinhood Indonesia yang pernah mengantarkan Srikandi Indonesia meraih medali perak di Olimpiade Seoul, berkata dengan serius, "Kalau ada pelatih yang mengandalkan panahan sebagai lahan tentunya akan hidup kembang kempis." Alasannya, gajinya cuma Rp 350 ribu per bulan. Untung, ia bisa bekerja di Perum Angkasa Pura, sehingga tak semata-mata mencari imbalan dari panahan. Di Olimpiade Seoul, kata Donald, atlet panah sebenarnya juga mencetak sejarah karena untuk pertama kali Indonesia mendapat medali perak. Hadiah yang diterima atlet adalah: Yana Rp 12 juta, Lilies dan Kusumawardhani masing-masing Rp 7 juta. Di Barcelona memang dapat emas, tapi dari segi "mengukir sejarah" tak jauh beda. Tapi mengapa mereka diberi bonus Rp 1 milyar? Itulah yang dipertanyakan Donald. "Apakah kebersamaan dan kesatuan bangsa ini sudah berkurang?" tanya Donald.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus