Menghitung Prestasi Menimbang Dan Di tingkat dunia, olahragawan Indonesia hanya berbicara dalam cabang bulu tangkis. Adakah ini disebabkan oleh kecilnya dana pembinaan yang tersedia? DANA pembinaan olah raga di Indonesia sebenarnya termasuk kecil. Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Pusat, selaku wadah tertinggi induk organisasi olah raga di Indonesia, tak bisa berbuat banyak dalam hal menggali dana. "Terus terang, bantuan dana pembinaan dari KONI Pusat kepada induk-induk organisasi sangatlah kecil," ujar Mohamad Sarengat, Sekretaris Jenderal KONI Pusat periode 19861990. Bantuan itu kecil karena yang didapat KONI juga kecil. Menurut Sarengat, uang yang diperoleh KONI dari Sekretariat Negara hanya 500 juta rupiah per tahun. Dan jumlah itu dibagi 47 induk organisasi olah raga yang bernaung di bawah KONI Pusat. Juga termasuk membantu kas KONI-KONI daerah. Bisa dibayangkan berapa jumlah yang diterima oleh masing-masing induk organisasi. Itu sebabnya besar bantuan kepada masing-masing induk organisasi berbeda-beda. "Tergantung intensitas kegiatan mereka, makin banyak kegiatan makin besar dana yang mereka peroleh," tambah Sarengat. Untungnya, tak semua induk organisasi menerima bantuan itu. PBSI dan PASI, misalnya, punya sumber keuangan tersendiri. Bagi cabang olah raga yang ingin berlatih di luar negeri, KONI hanya membantu dana sesuai dengan plafon yang berlaku bagi pelatnas di dalam negeri. Misalnya, untuk biaya makan dan akomodasi sekitar Rp 30 ribu per atlet per hari. Itu belum termasuk uang saku dan perlengkapan latihan maupun pertandingan bagi si atlet. Kekurangannya dicari induk organisasi. Itu tadi dana rutin. Jika ada turnamen besar, seperti SEA Games, Asian Games, dan Olimpiade, KONI harus membuat anggaran kepada Pemerintah melalui Menteri Negara Pemuda dan Olah Raga (Menpora). Menpora meneruskan ke Departemen Sosial, dan instansi terakhir ini "minta" ke Yayasan Dana Bhakti Kesejahtraan Sosial yang menyelenggarakan SDSB. "Ya, dananya dari SDSB, kalau Departemen Sosial di mana dapat uang," kata Jusuf Talib, Dirjen Bantuan Sosial Depsos. Uang itu besarnya Rp 3,4 milyar. Jumlah itu sudah termasuk biaya persiapan, perlengkapan, maupun uang saku dan akomodasi selama di Barcelona. Tentu saja itu tak cukup. Sebagai perbandingan, India mengeluarkan sekitar Rp 30 milyar. Maka KONI mencari dana tambahan dari donatur. Dari RCTI-SCTV, KONI mendapat sumbangan sebesar Rp 100 juta dengan menyelenggarakan "Pekan Dana Barcelona bagi Sang Juara" selama dua bulan (Juni-Juli). Menurut Bobby Sael, Koordinator Humas RCTI, uang tersebut diperoleh dari hasil penjualan souvenir peralatan olah raga dengan logo resmi olimpiade. Mei lalu televisi swasta ini juga memberikan sumbangan sebesar Rp 45 juta hasil pelelangan raket milik Susi dan Ardy. RCTI dan SCTV hanya sebagai mediator. "Itu kan uang masyarakat, jadi kita kembalikan lagi ke masyarakat," ucap Bobby Sael kepada Siti Nurbaiti dari TEMPO. Berapa sebenarnya dana yang diperlukan oleh induk organisasi dalam membina atlet-atletnya? Pengurus Besar PBSI setiap tahun menganggarkan dana sekitar Rp 2,5 milyar. Delapan puluh persen dari jumlah itu dipergunakan untuk pembinaan atlet. Bahkan, sejak 1986, PBSI setiap tahunnya menyiapkan dana sekitar Rp 1,2 milyar untuk menghadapi Olimpiade Barcelona. Jadi dua emas yang direbut Susi dan Alan itu sudah dipersiapkan enam tahun lalu. Biaya pelatnas jangka panjang itu sudah termasuk asrama, biaya latihan, uang saku, bonus, uji coba, dan mengikuti kejuaraan di luar negeri. Menurut Rapiudin Hamarung, Sekjen PB PBSI, dana itu diperoleh dari (lagi-lagi) SDSB sekitar 30-40%, sisanya dari Yayasan Bulu Tangkis, sebuah yayasan yang didirikan 1988, yang sengaja bertugas menghimpun dana. Yayasan ini kabarnya sudah punya dana abadi yang cukup besar sehingga dari bunganya saja bisa untuk menutup kekurangan uang pembinaan setiap tahun. PBSI tergolong kaya karena bulu tangkis sudah sedemikian populer sehingga memudahkan mencari sponsor. Bahkan PBSI sejak awal tahun lalu sudah membangun gedung Pusat Bulu Tangkis Indonesia di kawasan Pondok Gede, Jakarta Timur. Fasilitas gedung yang menelan biaya sekitar Rp 5 milyar ini terdiri atas 21 lapangan bulu tangkis dan asrama yang mampu menampung sekitar 100 atlet. Juga ada Museum Bulutangkis. "Seluruhnya fullac dan dilengkapi juga dengan ruang serba guna," Rapiudin menambahkan. Nantinya seluruh aktivitas kesekretariatan PBSI pindah ke sana. Setelah tahap pertama selesai, menurut Rapiudin lagi, pembangunan akan dilanjutkan dengan pendirian Akademi Bulu Tangkis Indonesia, yang gedungnya akan berhadap-hadapan dengan gedung Pusat Bulu Tangkis Indonesia."Mudah-mudahan Oktober 1992 seluruh fasilitas sudah bisa dipergunakan dan ditempati," ujarnya. Artinya, kalau bulu tangkis Indonesia memang menonjol sekarang, pembinaannya itu memang paling rapi. PB PASI pun tergolong induk organisasi olah raga yang kaya. Walau atletik tak mengirimkan atletnya ke Olimpiade Barcelona, di bawah pimpinan Mohamad Hasan yang lebih dikenal dengan Bob Hasan, PASI menyediakan dana sekitar Rp 1 milyar setiap tahun. Bob Hasan pun, yang menjabat Ketua Umum PASI sejak 1978, punya andil besar memopulerkan atletik di Indonesia. Adalah Bob Hasan yang membuka dompetnya untuk pemugaran Stadion Madya Senayan yang menelan biaya sekitar Rp 5 milyar. Lalu berkat inisiatif dia pula atlet-atlet dan pelatih pergi menimba ilmu ke Amerika dan Jerman. Kemudian ia mendatangkan pelatih asing untuk meningkatkan mutu pelatih di daerah-daerah. Sebagian besar dana pembinaan atletik dikeluarkan dari kocek pengusaha yang memiliki lebih dari 20 perusahaan ini. Sebagian lagi sumbangan dari teman-teman dekatnya. Bob pernah mengatakan bahwa orang yang mau ngurusin olah raga itu orang gila, karena akan mengeluarkan duit terus tanpa mendapat apa-apa. "Tapi saya senang, asal puas melihat kemajuan atletik di Indonesia," ujar Bob Hasan. Lantas apa prestasi atlet atletik? Harus diakui bahwa atletik Indonesia sudah disegani walau baru tingkat Asia. Purnomo, misalnya, merupakan satu-satunya sprinter dari Asia yang mampu masuk semifinal lari 100 m pada Olimpiade Los Angeles 1984. Dan ia mampu mengulangi prestasinya di Olimpiade Seoul 1988. Di nomor paling bergengsi ini pula nama Mardi Lestari sempat tercatat sebagai pemegang rekor Asia dengan catatan waktu 10,20 detik, walau saat ini rekor Asia dipecahkan lagi oleh pelari Qatar, Tatal Mansor, 10,18 detik. Selain prestasi di lapangan, Bob Hasan "mendapat prestasi" di organisasi. Ia adalah Presiden Assosiasi Atletik Amatir Asia. Tentu lebih banyak lagi induk organisasi olah raga yang miskin, panahan misalnya. Olah raga yang terkadang sepi penonton ini tak mudah menggaet sponsor. Padahal panahan sudah mengangkat nama Indonesia di Olimpiade Seoul 1988 dengan merebut medali perak. Itu medali tertinggi yang pernah diraih Indonesia sampai 1988. Menurut ketua PB Perpani, Haposan Panggabean, organisasinya ini punya anggaran kecil sekali setiap tahun -- dan ia "malu" menyebutkannya. Untuk persiapan ke Barcelona dengan mengirim empat atlet, Perpani mendapat jatah Rp 25 juta. Itu jelas tidak cukup untuk uji coba, pelatnas, dan apalagi pembelian peralatan. "PB Perpani terpaksa mengutang ke bank dengan bunga komersial," ujar Haposan. Sayang, cabang-cabang olah raga lainnya tak suka untuk "diselidiki" berapa sebenarnya uang yang mereka siapkan -- dan dihabiskan -- setiap tahun. Lagi pula memang ada yang sulit dihitung, misalnya, sepak bola. Karena demikian banyak sumber dananya dan demikian banyak yang mengelola, tidak hanya pengurus di tingkat pusat. Rudy Novrianto, Siti Nurbaiti, Indrawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini