Kisah Sepasang Kekasih Susi dan Alan adalah contoh atlet yang dibina sejak kecil di lingkungan keluarga. Latihan yang mereka lakukan keras, jarang ada hari santai. "Karena itu, saya kuper, kurang pergaulan," kata Susi. AIR cucuran atap, jatuhnya ke pelimbahan juga. Risad Haditono pada masa mudanya adalah pemain bulu tangkis asal Purwokerto yang sudah berkali-kali menjuarai bulu tangkis di Jawa Tengah. Ia mengawini Benowati, pemain bulu tangkis pemegang gelar juara se Tasikmalaya. Dari pasangan inilah lahir Susi Susanti, sebagai anak kedua dari tiga bersaudara. Haditono dan istrinya ingin Susi mengikuti jejak mereka. Maka, Susi dilatihnya footwork, inilah langkah dasar bermain bulu tangkis. Itu dilakukan tiap pagi, sebelum Susi berangkat ke sekolah. Setelah dasar-dasar itu dikuasai, Susi pun diberi raket, yang tangkainya sudah dipotong. Sejak itu, Susi asyik menepuk-nepuk kok, dengan siapa saja, dimana saja, dan kapan saja. Tukang becak langganannya pun ditantangnya, meski pertandingan cukup di jalan tanah depan rumahnya. Ketika itu usianya baru delapan tahun. Untuk latihan fisik, Susi sudah terbiasa bertanding lari, sejak kecil. Ia tak mau bertanding dengan teman wanitanya, karena ia akan selalu menang. Ia memilih melawan laki-laki. Ia sederhana saja, mungkin sadar betul sebagai anak dari keluarga penjual kue, yang tidak berkelebihan uang. "Pakaian robek pun dipakai terus. Susi nggak mau minta yang baru," kata Benowati. Di sekolah, nilai rapornya tinggi, rata-rata 7,5. Ia tak mudah menyerah. "Itulah syarat menjadi pemain bulu tangkis," kata Risad. Kelebihan Susi ini dilirik pamannya, Anton Purwosugiono, pemilik klub bulu tangkis Tunas Inti di Tasikmalaya. Maka, pada usia 10 tahun Susi dilatih diklub itu. Jika tidak berlatih, ia membantu ibunya membuat kue. Tak lama kemudian Susi menjadi juara bulu tangkis tingkat SD se Priangan. Masa depan Susi semakin lempang terbentang ketika ia diminta ke Jakarta, bergabung di klub Jaya Raya. Terpaksa Susi pindah sekolah, waktu itu ia barusaja naik ke kelas II SMP. Selama di Jakarta, yang dikerjakan Susi hanya berlatih dan sekolah. Sebab itu, Susi mengaku tak punya teman banyak. "Saya ini jadi kuper, kurang pergaulan," katanya. Untuk latihan fisik, Susi digembleng sepupunya, Dede Dewanto. Sementara teman-temannya di siang hari habis latihan bisa istirahat, Susi tidak. Ia diberi jatah berlari lagi. "Saya sudah teler-teler masih disuruh lari juga,"kata Susi. Latihan keras itu membuahkan prestasi bagus. Ia pun direkrut sebagai atlet Pelatnas Pratama dan tinggal di Jalan Bulu Tangkis, Senayan. Tak lama,statusnya pun naik ke Pelatnas Utama. Dan sejak 1987 itulah Susi menghuni flat di Jalan Manila, Senayan. Di flatnya, Susi tinggal bersama Sarwendah Kusumawardhani. Di flat seberang, di bagian atlet putra, tinggal Alan Budikusuma, yang sekamar dengan HermawanSusanto. Karena para atlet ini punya kesibukan -- dan masa istirahat -- yang sama, ya, keempatnya sering bertemu, ngobrol, berkeluh kesah, membagi ceria.Apalagi pulang balik sekolah (di SMA Ragunan) sama-sama, naik bus. "Ya, tiap hari ketemu, saling meledek. Lalu dijodohin oleh teman-teman," kata Susi.Akhirnya, jadi sungguhan. Susi mematri cinta kasihnya dengan Alan, dan dalam agenda hariannya, itu tercatat pada 1 Mei 1987. Sarwendah dengan Hermawan. Perihal pacaran ini sempat membingungkan kedua orangtua Susi. "Soalnya, Susi baru 16 tahun, kok pacaran segala," kata Benowati. Setelah ibu dan ayah Susike Jakarta mengecek hubungan pribadi ini, mereka lega. Susi dan Alan berjanji akan mengutamakan prestasi. Susi memang membuktikan kepada orangtuanya, pacaran justru meningkatkan prestasi. Ia menggondol tiga gelar di kejuaraan Yunior Dunia Bimantara 1987,yaitu di nomor tunggal, ganda, dan ganda campuran. Sukses luar biasa, walau dengan risiko yang juga luar biasa: ia pingsan ketika mengikuti misa di Gereja Santa, Kebayoran Baru, lantaran kecapekan setelah bertanding enam kali sehari. Setelah kejuaraan itu, program latihan Susi ditingkatkan. Pagi latihan dari pukul tujuh hingga siang hari, istirahat tiga jam, lalu disambung latihan sorehingga malam hari. Tak ada waktu buat Susi untuk menyalurkan hobinya, membaca komik silat serial Tapak Sakti dan Tiger Wong, yang digemari sejak kecil.Kalaupun ada waktu luang, ia kursus bahasa Inggris. Karier Susi akhirnya menembus dunia internasional pada 1989. Saat itu ia menjuarai Indonesia Terbuka, mengalahkan pemain Cina, Huang Hua. Tahun itupula, Susi yang punya pemain idola Ivana ini melibas Han Aiping di Cina, dalam kejuaraan Piala Dunia 555. Setahun kemudian, Susi menjadi wanita pertama Indonesia yang menjuarai All England. Dan gelar itu dipertahankannya di tahun 1991. Tak ada atlet yang selalu menang. Dan Susi kalah di turnamen penting semacam Kejuaraan Dunia 1991 di Kopenhagen, Denmark. Ia dikalahkan Tang Jiuhong.Konon, karena Susi terlambat bangun sehingga kurang pemanasan. Dalam All England 1992 ia juga kalah sebelum mencapai final karena flu. Semua kekalahan itu, bagi Risad, ayahnya, tak terlalu membuat gusar. "Biarlah sekali-sekali kalah. Biar latihannya lebih bersemangat. Kalau menang terus, Susi bakal lalai," katanya. Benar kata sang ayah. Susi Susanti belajar dari kekalahannya itu. Ia tidak lalai. Menuju Barcelona ia mempersiapkan diri dengan lebih gila lagi. Jerihpayah itu terobati, ia menangis terharu ketika Indonesia Raya berkumandang di telinganya, ketika Merah Putih dinaikkan di depannya, jauh, jauh dari Tanah Air. Dilihat dari pengorbanan ini -- masa kanak-kanak dan remaja yang praktis hilang -- Susi layak mendapatkan semua ini: semilyar rupiah plus rumah di Bumi Serpong Damai. Sebelum mendapat hadiah dari Olimpiade Barcelona, Susi memang sudah tergolong "atlet kaya". Dari kontrak dengan perusahaan olah raga Yonex, Susi memperoleh hampir Rp 50 juta setahun. Belum lagi hadiah bonus sebagai juara diberbagai turnamen internasional. Misalnya, di All England ia memperoleh Rp 12 juta, belum dipotong pajak 40% di Inggris, dan dipotong 25% oleh PBSI. Bagaimana dengan Alan, sang kekasih? Sementara Susi mengenal bulu tangkis sejak usia delapan tahun, Alan malah sejak empat tahun. Anak sulung pasanganArya Wiratama dan Veronica Tejakusuma yang lahir 24 tahun lalu di Surabaya itu memang cinta bulu tangkis. "Di kala umur empat tahun, nonton bulu tangkismatanya tak berkedip. Dan tak mau beranjak dari tempat sebelum permainan selesai," kata Arya. Pada umur delapan tahun ia sudah menjuarai Porseni SD seSurabaya. Dan jika sedang latihan, kalau belum membuat penyok 30 kok, iabelum puas. Umur 11 tahun Alan dimasukkan ke klub bulu tangkis Rajawali Surabaya. Pada usia 15 tahun, Alan dilatih Rudy Hartono di Jakarta. Di situlah "keganasan"nya makin tumbuh. Tiap bulan ia "melahap" sepasang sepatu dandua pasang kaus kaki. Karena biaya mencetak juara itu mahal, Alan lantas dimasukkan ke klub PB Djarum. Langkah Alan semakin tampak ketika ia menjuarai seri grand prix di Taiwan Terbuka 1986. Dan prestasinya semakin bagus di tahun 1991, ketika menjuaraiCina Terbuka. Kemenangan demi kemenangan bertambah panjang, walau namanya kalah ngetop dibandingkan dengan Ardy. Dan nama Alan semakin jatuh, ejekan semakin sering ia dengar, karena ia kalah di nomor penting perebutan Piala Thomas, Mei lalu, di Malaysia. Itulah bekal Alan berangkat ke Olimpiade, menjadi pemain underdog. Ia tak punya beban. Ia bermain tenang. Ia menang. Alan melengkapi sukses Susi meraih medali emas. "Pengantin emas", demikian orang memberi julukan. Jadi, sudah terpikirkan kawin? "Oh, belum. Selagimuda, lebih baik berprestasi," ini jawaban Susi. WY, LPS, Ida Farida (Bandung), dan Kelik M. Nugroho (Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini