Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Satu milyar diantara suratan takdir

Susi Susanti meraih emas di Barcelona. ia akan menerima bonus Rp 1 milyar. beberapa komentar atlet yang pernah berprestasi di arena internasional. kondisi gurnam singh dan nanda

15 Agustus 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUSI Susanti melambaikan bunga dengan senyum manis di Pavello de la Mar Bella, Barcelona. Orang bertepuk tangan. Lalu, lagu Indonesia Raya berkumandang dan Merah Putih dinaikkan pelan-pelan. Susi terharu. Pelan-pelanair matanya meleleh. Tangan kirinya kemudian mengusap matanya. Entah perasaan apa yang ada di benak mojang Tasikmalaya ini. Yang pasti, penonton televisi di Indonesia ketularan rasa haru itu, dengan berbagaiperasaan. Haru sekaligus bangga karena Susi memenuhi cita-cita yang sudah 40 tahun berjalan, bagaimana meraih medali emas di turnamen dunia seperti olimpiade. Haru dan gembira, karena target PBSI yang juga menjadi target KONI tidak meleset. Mungkin juga ada yang haru sekaligus "menyesal", kenapa tidak dari dulu bulu tangkis dipertandingkan di olimpiade. Kegemilangan Susi diikuti kegemilangan Alan Budikusuma, dalam kadar yang lain karena musuhnya adalah temannya sendiri, Ardy B. Wiranata. Sayang, pada ganda putra, pasangan Indonesia masih kalah kelas dari ganda Korea. Dua emas, dua perak, dan satu perunggu di Olimpiade Barcelona, yang dihasilkan hanya darisatu cabang olah raga, membuat bulu tangkis semakin menjadi primadona. Dan di Jakarta, bos Pembangunan Jaya, Ir. Ciputra, tak hanya sekadar terharu. Siaran persnya segera muncul di faksimile media-media masa. Isinya, ia sedangmembantu Bambang Trihatmodjo untuk mengumpulkan dana dari para pengusaha untuk bonus peraih medali emas ini. Targetnya, masing-masing Rp 1 milyar. Sedangkankhusus untuk Susi, yang anggota klub Jaya Raya, perusahaan kelompok Sang Pelopor membangunkan rumah senilai Rp 200 juta di Bumi Serpong Damai. Inimelengkapi kekayaan Susi sebelumnya, antara lain rumah di Ciledug dan mobil Toyota Starlet. Rabu pekan ini, "pahlawan olimpiade" itu tiba di Jakarta dan disambut kalungan bunga oleh sejumlah pejabat di Bandara Soekarno Hatta. Namun, Ardydan Eddy Hartono sudah pulang lebih dulu, entah di mana ia dikalungi bunga. Kecewa? "Jelas, namanya juga kalah," katanya. "Main kalah itu wajar, kecewa juga wajar." Namun, ia tetap bersyukur karena mendapatkan medali perak. Setiba di Jakarta, menurut jadwal, Susi dan kawan-kawan diarak melalui jalan-jalan protokol menuju Dunia Fantasi Ancol. Alan, kabarnya, mau menghindar, "karena malu diarak begitu." Di Ancol itulah para peraih medalimendapatkan bonus dari pengusaha yang konon ide dari Bambang Trihatmodjo, bos Bimantara. "Saya hanya membantu Pak Bambang untuk mengumpulkan dana dari pengusaha," kata Ciputra. "Kalau bidang yang saya bina mendapat medali emas, wajar bila saya memberi perhatian," kata Ciputra lagi. Apakah peraih medali perak juga mendapat bonus? Ciputra terus terang mengaku tidak tahu. Baik Susi maupun Alan kaget ketika diberi tahu jumlah bonusnya Rp 1 milyar."Masa sih, sebesar itu?" tanya Susi tak percaya. Namun, sebenarnya banyak orang yang kaget dengan bonus besar itu, walau tak ada yang "keberatan"dengan usaha Ciputra. Bob Hasan, misalnya, setuju-setuju saja ada hadiah uang. "Asal tidak berlebihan. Berilah sesuatu yang bermanfaat bagi mereka, dan dalam hal ini PBSI harus tegas," kata Bob. "Jadi, jangan ndompleng untuk memasyhurkan nama. Kalau itu sih, saya bisa kasih," katanya. Ternyata PB PBSI cukup tanggap dengan perkara bonus selangit ini. Ketua Umum PBSI Try Sutrisno mengatakan hadiah dari pribadi-pribadi akan diatur lewat PBSI. Tapi, hingga Senin pekan ini soal bonus itu masih digodok PBSI. "Sedang dicari formulanya," kata Titus Kurniadi, Ketua Bidang Luar Negeri PBSI. Muncul berbagai usulan. Misalnya, pola 321. Maksudnya, peraih emas mendapat tiga bagian, perak dua bagian, dan perunggu satu bagian. Ada pula yang mengusulkan agar pelatih juga kebagian rezeki. Di negara lain, bonus itu bermacam-macam. Taiwan, yang meraih perak dari baseball, menghadiahkan masing-masing Rp 440 juta kepada 20 atletnya. Spanyol lebih gila. Peraih emas diberi Rp 2 milyar. Tapi, Persemakmuran Negara-Negara Merdeka (PNM), yang menjadi juara umum Olimpiade, hanya mampu memberi Rp 6 juta untuk setiap medali emas. Di kalangan atlet Indonesia, bonus Rp 1 milyar ini disambut dengan berbagai nada. "Saya merasa kaget juga. Uang satu milyar kan tidak kecil. Itu hadiah paling gede yang pernah diterima atlet," kata Ivana Lie, bekas pemain bulu tangkis yang pernah menjuarai ganda putri Indonesia Terbuka 1987, berpasangan dengan Rosiana Tendean. Ivana kaget karena di zaman dia hampir tak dikenal adanya bonus. Walau setuju bonus Rp 1 milyar, "Hadiah itu seharusnya bukan hanya untuk pemain, tapi juga pelatih dan pengurus PBSI," katanya. Bahwa ada suara-suara minor yang menyebutkan bonus bisa memelempemkan prestasi atlet, Ivana tak sependapat. Semua itu tergantung atlet masing-masing. Kekhawatiran Ivana adalah bonus itu bisa menimbulkan kecemburuan sosial sesama atlet. Ivana, 32 tahun, sudah mengundurkan diri sebagai pemain bulu tangkis sejak 1987. Kini ia menjalankan bisnis keluarga di bidang konfeksi olah raga. TapiIvana, yang pernah menuntut ilmu kepelatihan di California itu, masih tetap melatih di klub bulu tangkis Mutiara Bandung, yang pernah membesarkannya. Bagi Iie Sumirat, pahlawan Piala Thomas 1979, bonus Rp 1 milyar yang akan diterima Susi dan Alan itu dianggap wajar. "Itu kan mengangkat martabat bangsa Indonesia di mata dunia," alasan Iie, kini 42 tahun. Dulu pun, Iiebergelimang hadiah. Tahun 1976, ketika meraih Piala Asia di Bangkok, ia menerima hadiah sebuah rumah di Kompleks Sukaluyu, Bandung. Bupati Bandung waktu itu, R.H. Lili Somantri, juga menghadiahkan tanah kebun seluas 2 ha berserta vilanya. Sekarang, dengan profesinya sebagai pelatih dan menjual peralatan olah raga, ayah empat anak ini mengaku bisa menghidupi keluarganya dengan layak. "Seharusnya, di seluruh event internasional yang mengharumkan nama bangsa, atlet berprestasi layak diberi penghargaan," kata penyandang Satya Lencana Kebudayaan ini. Liem Swie King, pemain asal Kudus yang kini mengelola Hotel Interhouse, Jakarta, milik mertuanya, juga tak keberatan bonus Rp 1 milyar, meski jumlah itu sempat mengagetkannya juga. "Hadiah itu sesuai dengan prestasi mereka," katanya. Tapi, yang penting lagi, setelah ini mereka tidak cuek-cuek pada prestasinya. "Maksudnya, mereka harus tetap bertanggung jawab dengan prestasinya," kata juara All England tiga kali (1978, 1979, dan 1981). King pun berkali-kali mendapat hadiah. Tanah seluas 500 meter di Bintaro Jaya dari Astra, sebuah rumah di Bukti Sari Semarang, serta tanah 400 meter didaerah Gunung Muria dari Pemda Kudus, antara lain. "Kami para pemain tidak pernah meminta hadiah. Kebanggaan sebagai pemenang dan meraih medali emas serta membela negara lebih besar nilainya dari hadiah satu milyar," kata King, yang telah mengundurkan diri sebagai pemain sejak 1988. Bekas juara dunia bulu tangkis, Icuk Sugiarto, malahan berharap bonus segede itu juga ditularkan ke cabang lain untuk peristiwa sebesar olimpiade. Hanya saja, kata Icuk, yang sudah setahun ini menjadi pelatih di Klub Pelita Jaya, ada baiknya Pemerintah melongok cara Korea Selatan memperhatikan masa depan atletnya. Yaitu dengan memberi tunjangan seumur hidup bagi atlet yangberprestasi. "Setahu saya, tunjangan yang diberikan tidak besar, hanya US# 250 seumur hidup setiap bulan. Itu merupakan penghargaan yang besar,"katanya. Di cabang bulu tangkis, nasib para atletnya memang lebih makmur. Di cabang panahan, masa depan Lilies Handayani, yang meraih perak di Olimpiade Seoul,juga tidak buruk. Berkat prestasi tadi, ia mengaku menerima uang tunai dari Gubernur Jawa Timur Rp 10 juta, dari Menteri Negara Pemuda dan Olah Raga Rp 10juta, dan dari pabrik rokok Djarum Rp 5 juta. Di samping memberi uang, Gubernur Jawa Timur juga menjanjikan pekerjaan di Bank BPD Ja-Tim, jika ia sudah lulus dari Unair. Kini Lilies sudah menggondol gelar sarjana, tinggal menunggu panggilan BPD. Selain itu, Lilies pun mendapat Satya Lencana Kebudayaan dari Presiden Soeharto. Menteri Soesilo Soedarman juga memberi hadiah sambungan telepon yangsiap pakai ke rumah Lilies. Semua itu cukup membuatnya bahagia. "Pemberian itu mendorong kami untuk mengejar prestasi lebih lanjut," kata Lilies, yangtelah dikaruniai seorang anak. Sayang, pada seleksi ke Barcelona tempo hari, ia tak terpilih. Namun, tak berarti semua atlet tingkat dunia punya nasib mapan. Bekas pelari jarak menengah dan maraton dari Medan, Gurnam Singh, menyedihkan. Sejak ia mundur dari arena atletik tahun 1970-an, Gurnam seperti kehilangan segalanya. Medalinya pun entah di mana sekarang. Bahkan Gurnam, yang telah berumur 60tahun itu, tak ketahuan rimbanya. Ia hidup tak menentu. Menclok dari rumah teman satu ke rumah teman lainnya. Keluarganya tak dihiraukannya lagi.Tubuhnya kurus, wajahnya kuyu, dan pipi kempot, menyiratkan penderitaan yang dalam. Kadang ia tampak berjalan kaki tanpa alas. Kadang ia muncul menggenjot sepeda bututnya. Padahal, dulu, Gurnam dari keluarga kaya. Ia menjadi pedagang alatalat olah raga di kotanya. Karena ia lebih serius berlatih di lapangan dibanding mengelola tokonya, usahanya itu bangkrut. Peraih medali perak di Asian Games 1962 itu, rumahnya di Gang Sauh, Medan, digusur Pemda tahun 1972. "Ini suratan takdir saya," kata Nanda, 27 tahun, atlet angkat berat dunia asal Sumatera Barat. Tahun 1984, di Australia, Nanda mengukir sejarah, memecahkan rekor dunia atas nama R. Capullo dari AS dengan total angkatan 500 kilogram. Selama empat tahun gelar dunia itu dipertahankannya. Kini, 60 buah medali emas ada di rumahnya. Tapi prestasi yang cemerlang itu tak sejalandengan rezekinya. Nasibnya jelek, tapi tak seburuk Gurnam, memang. "Saya sadar, mempertaruhkan nama bangsa di negeri orang. Tapi, siapa yang tahu nasib anakanak saya?" tanyanya. Nanda telah dikaruniai dua anak. Gubernur Sumatera Barat, Azwar Anas (waktu itu), pernah memberikan hadiah rumah berukuran 45 meter. Sayang, rumah sejauh delapan kilometer dari tempat latihan itu harus ditempati saudaranya demi mengirit ongkos. Nanda dan keluarganya memilih tinggal di kamar berukuran 4 X 5 meter di gedung latihan Hasta Yuda. Bukan karena dekat dengan tempat latihan saja, tetapi di situ ia bisa membuka warung. "Kalau tak dibantu Pak Wali Kota Syahrul Udjud, mungkin sudah lama saya jadi tukang becak," kata jebolan kelas III SD ini. Misalnya bantuan untuk kelahiran anaknya. Syahrul pun membantu membelikan jip Jimny bekas seharga Rp 10 juta. Tapi jip itu dijualnya lagi karena ia butuh uang untuk membetulkan rumah. Sisanya untuk membeli motor dan didepositokan. Toh uang deposito akhirnya ludes untuk menambal kebutuhan hidup dan memenuhi gizi. Maklum, sebagai atlet angkat berat, Nanda butuh makan vitamin dan protein. Jatah telurnya saja sehari 20 butir. Sementara itu, biaya latihan dari KONIdaerah hanya Rp 75.000 sebulan. Maka, ketika ia mendengar kabar bahwa pemain bulu tangkis peraih emas mendapat hadiah Rp 1 milyar, hatinya bertanya-tanya."Apa ukurannya seorang atlet dianggap sebagai pahlawan bangsa sehingga mendapat penghormatan dan hadiah luar biasa?" ujarnya. Kata Nanda, kalau ukurannya hanya kelas dunia dan mengibarkan bendera Merah Putih di tingkat internasional, ia pun telah melakukannya. "Saya terjun kekejuaraan itu bukan atas nama pribadi, tapi atas nama bangsa," katanya. Jadi, Nanda pun mengembalikan ke kodrat-Nya. "Ini suratan tangan. Tapi saya tak tahubagaimana mengakhiri apa yang telanjur saya tekuni ini," katanya kepada Fachrul Rasyid dari TEMPO. Sebagai atlet angkat berat, ia pun pasrah. Awal Agustus lalu, ia ditunggu di Jakarta untuk bersiap ke kejuaraan dunia diBombay, India. Tapi uang yang diberikan PABBSI Sum-Bar tak cukup untuk membeli karcis pesawat. Akhirnya batal. Itulah beda angkat berat dengan bulu tangkis,misalnya. Yang satu berat, yang satu ringan, bisa melayang ke mana-mana. Widi Yarmanto, Liston P. Siregar, Ahmad Taufik, Siti Nurbaiti, dan Affan Bey Hutasuhut

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus