BAGAIMANA melahirkan seorang pemain bulu tangkis yang andal, barangkali seorang pelatih perlu meniru Fang Kaixiang. Pelatih Cina yang pernah menjadi pemain terkuat di negerinya ini sudah hampir dua bulan ini melatih di klub Bimantara Tangkas Jakarta. Cara-caranya melatih begitu keras, sampai-sampai Fang dijuluki "Pelatih singa". Jumat pekan lalu, di gedung Bimantara Tangkas Bakti, di perumahan Greenville, Jakarta Barat, Fang mendemonstrasikan kehebatannya. Sejak pukul tiga siang, sekitar 20 pemain yunior Bimantara Tangkas sudah digenjotnya. Tak ada kecuali, semua pemain harus melalap porsi latihan yang diberikan Fang. Mulai dari lari meloncati bangku-bangku kecil, sampai stroke di lapangan. Seorang pemain mendapat jatah melakukan netting sampai ratusan kali, dengan ratusan shuttlecock. Di bagian akhir, selama lima menit pemain harus lari cepat dalam jarak pendek. Latihan fisik seperti itu berjalan penuh tiga jam, tanpa istirahat. Hampir semua pemain basah kuyup berkeringat, napasnya terengah-engah, sebagian kelihatan memegang perutnya. Ketika beberapa pemain mencoba "mencari napas" dengan pura-pura berganti kaus, Fang membentak, "Hei, terus, nggak boleh berhenti, terus." Dan porsi itu ternyata belum maksimal. Tapi banyak pemain yang sudah muntah dan kram. "Padahal, ini baru dasar-dasar untuk memperkuat fisik, menambah kekuatan dan kecepatan," kata Fang. Bulan depan, kalau fisik pemain sudah siap, baru masuk latihan yang sebenarnya. Artinya, beban latihan makin berat. "Saya di Malaysia dijuluki pers pelatih singa," kata Fang lagi. Fang memang pernah menangani tim Malaysia untuk persiapan perebutan Piala Thomas di Kuala Lumpur pada 1988. Pelatih asal Kanton itu dikontrak BAM (Persatuan Bulu Tangkis Malaysia) selama setahun. Dan program pertamanya adalah menggarap fisik pemain-pemain utama Malaysia. Sehari, ia melatih lebih dari 10 jam. Sampai-sampai Fang dipanggil dan diusut BAM, apakah latihan fisiknya yang membuat hampir semua pemain menderita kram itu tak berbahaya. Fang, alumnus universitas olahraga Kanton, menjawab tidak. Hasilnya: Malaysia mengalahkan Indonesia 3-2 di semifinal Piala Thomas -- kendati kemudian Malaysia kalah dari Cina di final. Setelah Piala Thomas itu, Fang kembali ke Kanton. Yang menggantikannya, jago Cina lainnya, Han Jian. Setelah hampir dua bulan melatih di Bimantara, Fang melihat kebanyakan pemain Indonesia masih perlu digarap fisiknya. Inilah ketinggalan Indonesia dibandingkan Cina. Di Cina, di setiap provinsi, bibit-bibit pemain berusia mulai 11 tahun sudah menjalani latihan berat. Fang sendiri menangani 16 pemain yunior di Kanton. Akan halnya di pusat pelatihan Beijing, sekarang ada masing-masing 10 pemain putra-putri yang siap berlaga di tingkat yunior. Latihan berat seperti ini, menurut Fang, juga dilakukan di Korea Selatan. "Sayang kalau Indonesia tak mulai membina anak-anak yang berbakat, padahal potensi dan jumlah pemain berbakat lebih banyak di Indonesia," kata Fang, yang sampai kini masih menjabat Kepala Pelatih Tim Yunior Cina. Fang kemudian menunjukkan perlunya seorang pelatih yang full timer untuk membina atlet muda. Selain itu, diperlukan sarana pendukung yang memadai. Misalnya, perawatan dokter dan perumahan. Di Cina, seorang anak berbakat harus masuk asrama yang ada di setiap provinsi. Segala keperluannya ditanggung negara dan tiap bulan si anak mendapat uang saku yang besarnya sampai 100 yuan atau sekitar Rp 50 ribu. Di Indonesia sekarang ini jarang ada pelatih bulu tangkis yang menghabiskan seluruh waktunya untuk melatih. Kecuali, mungkin Tong Sin Fu, juga asal Cina dan saingan Fang dulu, yang kini menangani klub Pelita Jaya Jakarta. Menurut Justian Suhandinata, pemilik Bimantanra Tangkas, Fang dikontrak hanya selama tiga bulan. Kalau Fang punya waktu, mungkin diperpanjang. Soalnya, Fang masih status berlibur setelah menangani tim yunior Cina seusai Kejuaraan Dunia Yunior Bimantara di Jakarta, November tahun lalu. Fang masih tercatat sebagai warga Kanton. Istrinya, seorang pelatih klub senam, juga tinggal di provinsi selatan Cina itu bersama dua anaknya -- yang tertua 19 tahun, mahasiswa jurusan komputer sebuah universitas di Kanton. "Saya sebenarnya cuma ingin menengok Ibu di Surabaya," kata pria 51 tahun yang lahir di Pekalongan dan besar di Surabaya ini. Ayahnya sudah lama meninggal, dan ibunya memilih tinggal di Surabaya sampai sekarang, di kawasan Pengampon. Di Kota Pahlawan itu, Fang pernah bergabung dalam klub Hua Qiao dan berlatih di sekitar Pasar Turi. "Klub itu mungkin sekarang sudah bubar. Surabaya sudah banyak berubah setelah 32 tahun saya pergi," kata juara tunggal Surabaya (1958) dan Jawa Timur (1959) ini. Fang pergi ke Cina, langsung masuk Kanton, pada akhir 1959 akibat peraturan pemerintah PP 10. Di Cina, Fang selalu bergantian menjadi juara tunggal dengan Hou Jiachang -- kini pelatih senior Cina -- dan Tong Sin Fu. Tiga orang inilah yang merajai bulu tangkis Cina tahun 1968 sampai 1979. Di Asian Games Teheran pada 1974, Hou meraih medali emas dan Fang menyikat perak. "Saya sempat menggalakan Tjun Tjun di partai tunggal," kata Fang. Fang cuma tertawa ketika ditanya akankah suatu waktu ia punya pikiran untuk kembali ke Indonesia. Hanya dia sendiri yang tahu makna tertawanya itu. Sementara hari semakin sore dan anak asuhannya sudah pulang, Fang -- yang tinggal sementara di belakang gedung Bimantara -- kembali ke lapangan: ia mengambil ratusan shuttlecock yang berserakan dan menyimpannya dengan rapi. Toriq Hadad dan Rudy Novrianto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini