SRI, guru sebuah SD di Jakarta Barat, mengeluh karena banyak muridnya datang terlambat. Ternyata, keluhan serupa juga muncul dari banyak guru di pelbagai wilayah Indonesia. Mengapa? Penyebabnya, sebagaimana dalih murid-murid yang datang terlambat itu, ternyata Televisi Pendidikan Indonesia (TPI), yang mulai mengudara dua pekan lalu. "Saya nonton TPI dulu, Bu," alasan mereka bagaikan kor. Bagi kalangan menengah bawah, siaran televisi merupakan salah satu hiburan yang "sayang" untuk dilewatkan begitu saja. Soalnya, sekalipun TPI yang mengudara di pagi hari (mulai pukul 06.00 sampai 10.00) fokusnya pada pendidikan, yang menggelitik pelajar untuk tidak melewatkannya adalah siaran selingannya. "TPI juga ada film dan ada lagunya," kata seorang siswa SD. Ternyata, yang menjengkelkan para guru bukan hanya keterlam- batan siswa di saat masuk sekolah, tapi juga keterlambatan masuk kelas seusai jam istirahat. Maklum, pada jam itu (sekitar pukul 09.00) TPI memutar fi]m hiburan, dan sayangkalau tidak ditonton. Untung, kejadian itu tidak berkepanjangan. Terhitung pekan lalu, menurut beberapa guru yang dihubungi TEMPO, keterlambatan masuk sekolah karena menonton TPI tak lagi terjadi. Entah mengapa. Lepas dari soal kelambatan siswa masuk sekolah (sekalipun sementara), TPI sebagai TV pendidikan, menurut S. Sriyono, Kepala Sekolah SMP Negeri 2, Surabaya, memang tak cocok muncul pada pagi hari. Alasannya: siapa yang mau menonton? Sebagian besar sekolah di Indonesia, kata Sriyono, diselenggarakan pada pagi hari. Tak hanya itu kritik Sriyono. Ia juga mengimbau agar iklan yang ditayangkan pada acara TPI tidak melenceng dari prinsip pendidikan. "Iklan mobil, misalnya, itu kan tak cocok untuk TV pendidikan," katanya. Lain lagi kritik Ketua DPRD Jawa Timur, Nyonya Asri Soebarjati. Ia mempersoalkan film yang diputar TPI. Film Generation I (tentang pergaulan anak muda), menurut Nyonya Asri, sama sekali tak cocok untuk TV pendidikan. Sekalipun dalam film itu tak ada adegan syur-syuran, pada salah satu episode dikisahkan seorang perempuan yang tidur di rumah seorang pria yang bukan muhrim. "Itu jelas sudah tidak ada relevansinya dengan pendidikan," kata Asri. Suara senada dikemukakan Menteri P & K Fuad Hassan dalam rapat kerja dengan Komisi IX DPR RI, Selasa pekan lalu. Ia, katanya, sebelum ke DPR sengaja menonton TPI lebih dahulu untuk mengetahui kebenaran kritik yang dilontarkan masyarakat. Ternyata, kritik itu tak seluruhnya salah. "Acara yang saya tonton tadi pagi itu ada yang tak relevan dengan pendidikan," katanya. Menteri Fuad Hassan tidak menjelaskan acara mana yang tak relevan dengan pendidikan dalam siaran yang ditayangkan pagi itu: "Wanita Indonesia" yang menyajikan tema sajian menu Betawi, atau film Neighbours. Yang pasti, ia menegaskan, tidak semua acara TPI jadi tanggung jawab Departemen P & K. "Acara yang berada di bawah tanggung jawab P & K hanya memakan satu jam siaran, yakni acara pendidikan untuk SLTP dan SLTA," katanya. Kritik terhadap TPI juga muncul dari kalangan pemirsa. Penonton di Riau dan Ambon, misalnya, mengeluh karena di sana siaran TPI tidak bisa ditangkap. Di Pulau Jawa, kritik pemirsa terutama tertuju pada iklan. "Kalau yang muncul masih obat panas, obat sakit kepala, dan mobil, apa bedanya dengan iklan RCTI?" kata seorang pemirsa di Jakarta. Adakah kriteria iklan pendidikan? Ternyata, menurut Aswan Soendojo, Direktur Matari Inc., iklan pendidikan itu tidak ada kriterianya. "Rumusan iklan itu sangat elastis, bisa dibelok-belokkan," katanya. Pendapat Aswan dibenarkan oleh seorang pengusaha iklan yang tak mau disebutkan namanya. Menurut dia, hampir semua produk bisa dipromosikan dengan gaya "iklan yang mendidik". Ia mengambil contoh promosi sebuah sedan yang juga bisa saja dianggap mendidik. Misalnya, dalam iklan itu disebut pentingnya pemakaian sabuk pengaman. Singkat kata, "iklan yang mendidik" tampaknya tidak akan pernah terumuskan -- kecuali iklan layanan masyarakat. Bagaimanapun, TPI memerlukan dana untuk kelanjutan penyelenggaraan siaran. "Ini kan TV swasta yang perlu ongkos produksi dan biaya lainnya. Jadi, tentu saja tidak terlepas dari aspek bisnis," kata Abdullah Alatas Fahmi, Direktur Pemasaran dan Produksi TPI. Adanya acara atau iklan yang dikritik tidak mendidik, menurut Fahmi, wajar saja. "Namanya juga baru mulai," katanya. Fahmi mengaku membangun citra baik TPI tidak mudah. Namun, ia berjanji menyeleksi setiap gambar yang akan ditayangkan. "Film yang berbau seks atau kekerasan, misalnya, pasti tidak akan kami putar," kata Fahmi, yang juga berjanji akan bersikap ekstraselektif untuk pemasangan iklan di TPI. Tidak jelas bagaimana seleksi iklan yang ketat itu akan dilakukan. Yang pasti, munculnya TPI secara langsung merupakan ancaman bagi pangsa iklan yang kini telah berada di tangan RCTI. TPI, seperti dikemukakan Aswan, merupakan lahan yang subur untuk beriklan karena lebih luasnya jangkauan siaran. Buktinya, kata Aswan lebih lanjut, sudah ada beberapa perusahaan yang "membelokkan" sebagian jatah iklannya dari RCTI ke TPI kendati tarif yang dipasang TPI jauh lebih mahal. Iklan yang ditayangkan pada saat prime time di RCTI, misalnya, tarifnya hanya Rp 10,6 juta per menit, sementara TPI memasang harga Rp 18 juta. Aswan memperkirakan sedikitnya TPI akan menyedot 25% iklan yang kini sudah dipegang RCTI. Benarkah dugaan itu? "Saat ini, persaingan itu belum kami rasakan," kata bos RCTI, Peter Gontha. Ia kelihatan membenarkan perhitungan Aswan, dan telah menyiapkan jurus-jurus penangkal khusus. Di antaranya, menurut Peter Gontha, peningkatan kualitas program siaran RCTI, seperti penggalakan acara forum diskusi yang membahas masalah-masalah hangat di masyarakat. Bukan tidak mungkin kelak RCTI akan menampilkan siaran berita produksi sendiri. "Pokoknya, kami akan membuat acara-acara yang mampu menarik hati penonton," kata Peter Gontha. Budi Kusumah, Moebanoe Moera, dan Zed Abidien
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini