"YAA... Asyik...," suara riang dari mulut-mulut mungil, murid Taman Kanak-Kanak Tunas Harapan, Sleman, Yogyakarta. Kelompok anak yang duduk mengitari meja itu bersorak karena ada tiga mahasiswa IKIP Yogyakarta masuk ruang kelas. Yang membuat para bocah itu gembira adalah setumpuk kartu yang digenggam mahasiswa tadi. Kecuali sebagai guru, tiga mahasiswa itu memang mengajak murid-muridnya bermain. Metode mengajar itu dicobanya dengan maksud agar anak usia 6-7 tahun itu bisa cepat mengenal angka dan membaca, sambil bermain. Model yang dicobakan ialah dengan kartu. Namanya Apik Yo (bagus, kan?). Model itu dirancang tujuh mahasiswa Jurusan Administrasi Pendidikan IKIP Yogya. Kartu angka dibuat dengan ukuran kartu domino, 5,5 x 3 cm. Satu sisi dilapis kertas merah dan sisi lainnya berwarna kuning. Setiap kartu -- muka berwarna kuning -- diberi dua angka berpasangan yang dipisahkan garis merah di tengah, dari 0 sampai 9. Misalnya pasangan angka 2-3, 3-4, 1-6, dan seterusnya. Jumlahnya 30 kartu. Sementara itu, kartu kata berukuran lebih besar, 7 x 4 cm. Kata-kata yang ditulis -- terdiri dari empat huruf -- berpasangan pada setiap kartu diambil dari konsonan yang ada pada kata-kata satu, dua, tiga, lima atau T, D, L, G, M. Artinya, bukan konsonan yang gampang diucapkan bocah yang mulai belajar bicara seperti B, P, M, atau N. Sedang huruf hidup terdiri dari A, I, U, E, dan O. Kata-kata yang tertulis berpasangan itu misalnya desa-satu, satu-sate, solo-desa. Jumlahnya juga 30 kartu. Kecuali sekadar mencocokkan angka atau kata yang sama -- seperti laiknya bermain gaple -- si anak juga harus menyebutkan angka atau kata yang dijatuhkan. Seorang anak, misalnya, memang bisa benar menjatuhkan desa-dudi untuk menutup rangkaian kartu solo-desa. Mahasiswa yang membimbing pun lalu bertanya, "Ayo, bagaimana membacanya? Si anak dengan tergagap menjawab, "Soto." Jawaban itu jelas salah. Mahasiswa pun kemudian mengucapkan kata yang benar -- desa -- untuk ditirukan. Setelah semua anak menjawab betul, permainan pun dilanjutkan. Kecuali anak-anak segera hafal angka atau kata, mereka pun senang. Metode mengenal angka dan huruf itu mereka buat bagi bocah yang mulai belajar membaca. "Alat ini dirancang untuk membantu siswa TK dan SD kelas satu membaca huruf dan angka," kata Slamet Aris Suyamto, Ketua Tim Mahasiswa Peneliti Jurusan Administrasi IKIP Yogya, yang menciptakan model tersebut. Idenya diilhami permainan domino. Penelitian yang makan waktu sebulan lebih itu ternyata menarik perhatian juri Lomba Karya Inovatif Produktif tingkat nasional, di Universitas Lampung, dua pekan lalu. Hasilnya, penelitian itu meraih gelar juara pertama bidang pendidikan. Juri menyimpulkan Apik Yo memang efektif untuk meningkatkan kemampuan membaca tahap awal anak. Dari tes terakhir, ternyata dalam waktu 30 hari anak-anak yang mereka teliti telah mampu mengenal huruf dan angka walaupun terbatas yang tertera pada kartu. Kelebihan lain temuan calon guru dari IKIP Yogya ini ialah unsur permainan yang tinggi. Menurut Drs. Syamsudin, ahli psikologi pendidikan IKIP Yogyakarta, pola sekarang ini sering membuat anak merasa tertekan dan terpaksa. Bahkan, kata Tatang M. Amirin, dosen pembimbingnya, sistem Apik Yo ini layak disebut baru bagi pengajaran di Indonesia. Temuan para mahasiswa itu, kata Prof. Sri Mulyani Martaniah, Dekan Fakultas Psikologi UGM, adalah baik dan perlu dihargai. "Bagaimanapun, tujuan pembuatan model pengajaran itu adalah untuk memajukan bidang ilmu yang sedang mereka pelajari," komentarnya. Siapa tahu Apik Yo memang cocok. Gatot Triyanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini