DALAM keadaan kritis, bila kelangsungan hidupnya terancam dalam perang dengan Arab, Israel akan membalas dengan senjata nuklir. Ini merupakan tekadnya sejak negara itu punya senjata nuklir. Dan saya yakin, Saddam Hussein pun punya sikap yang sama. Tinggal, masalahnya, apakah benar Irak punya senjata nuklir. Pertanyaan itu pantas dikemukakan karena reaktor nuklir Irak, Osirak, sempat dihancurkan Israel 1981, lewat serangan udara yang dinilai sangat gemilang. Bila reaktor itu benar-benar hancur, kemungkinannya kecil bagi Irak bisa punya senjata nuklir dalam kurun waktu 10-15 tahun sesudah itu. Saddam Hussein ketika itu menyadari bahwa cita-cita memiliki senjata nuklir untuk menangkal Israel akan mundur sekian lama. Kemungkinan membelinya dengan harga mahal, apalagi cuma barter dengan minyak, pun tidak mustahil. Hal ini dimungkinkan karena tak diketahui secara pasti negara mana saja yang sudah punya senjata nuklir (masih banyak negara yang belum menandatangani perjanjian NonProliferation). Negara-negara itu sengaja merahasiakan agar bisa bebas mengembangkan- nya. Walaupun hanya punya beberapa biji, atau cuma satu sekalipun, itu sudah cukup bagi suatu negara untuk menggentarkan lawan. Paling tidak, seperti istilah Amerika Serikat, itu akan menjadi weapon of terror. Memiliki senjata nuklir beberapa buah bukan berarti suatu negara sudah mampu melakukan perang nuklir. Kecuali bila senjata maut itu hanya digunakan untuk tujuan deterrence atau menangkal. Amerika telah lama mempersiapkan perang nuklir untuk menghadapi Uni Soviet di masa lalu. Itu sudah masuk doktrin militer, lengkap sampai pelaksanaan taktis di lapangan (nuclear weapon employment). Senjata nuklir taktis bahkan menjadi andalan utama di Eropa Barat. Perannya, tak lain, untuk menandingi senjata konvensional Pakta Warsawa (terutama tank) yang jumlahnya jauh lebih besar dari NATO. Penggunaan senjata nuklir taktis memang sudah dengan perhitungan akurat. Korban penduduk sipil dan pasukan kawan bisa sangat kecil. Secara teknis, senjata nuklir taktis "diamankan" dengan sistem peluncur (delivery system) yang presisi seperti rudal Tomahawk, debu radioaktif yang minim dengan senjata nuklir "neutron", penentuan titik ledak (airburst), penentuan obyek militer lawan yang tepat dan lain-lain. Kalau misalnya terjadi baku hantam senjata nuklir di Perang Teluk, siapa yang akan memulainya? Amerika tak akan mengambil risiko dikecam dunia bila menggunakan senjata pamungkas itu. Alasannya, dengan senjata konvensional saja ia bisa memenangkan pertempuran walau dengan korban yang besar. Kemungkinan lain, kalau kita mengambil analogi dengan Israel tadi, Irak akan menembakkan senjata nuklir pada saat-saat terakhir. Itu pun dilakukan bila kekalahan sudah di depannya. Saddam Hussein, bila diingat reputasi, riwayat hidup, dan konsistensinya sampai saat akhir, sudah siap tempur sampai titik darah penghabisan. Terlepas benar atau salah, Saddam di mata di dunia Arab dianggap sebagai pahlawan. Ia dinilai telah mengangkat derajat bangsa Arab yang sudah sekian kali dipermalukan dan dikalahkan oleh Israel dalam berbagai perang. Saat ini, hanya dia yang berani menentang satu-satunya negara superkuat, Amerika, yang ditopang oleh berbagai negara terutama Inggris dan Prancis. Apalagi dua negara yang terakhir itu oleh sementara bangsa Arab, masih dianggap sebagai bekas penjajahnya dan pernah memecah-belah bangsa Arab. Bahkan, Saddam pula yang pertama kali berhasil menempatkan Israel sebagai sitting duck, menjadi bulan-bulanan tembakan rudal Scud. Saya sempat tertarik dalam salah satu siaran televisi Amerika, CNN. Tampak seorang wanita Palestina di daerah pendudukan berteriak gembira ketika Israel mendapat kiriman bom. Ia sangat memuja Saddam. Bahkan Pierre Lellouche dari majalah Time mengatakan, "Di rimba Timur Tengah, hanya ada seekor macan yakni Israel. Kemudian muncul Saddam Hussein, harimau Arab yang pertama." Skenario kira-kira demikian. Mudah-mudahan tak terjadi. Pada saat-saat terakhir Saddam terdesak dan akan menjadi korban, dia ingin dikenang sepanjang masa sebagai pahlawan bangsa Arab yang berhasil menghancurkan Israel dengan korban besar tentunya. Untuk itu, senjata nuklir yang dimilikinya ditembakkan baik dengan Scud maupun Frog 7, kekuatan (yield) 100 KT (lima kali dari bom nominal Nagasaki/Hiroshima). Ini bisa membumihanguskan seluruh Kota Tel Aviv. Ratusan ribu korban akan jatuh dan akan menjadi holocaust kedua sesudah Hitler membasmi bangsa Israel. Untuk mencegah ini, Amerika dapat melakukan beberapa langkah. Salah satunya adalah mengandalkan Patriot, menghadang Scud dengan nuclear warhead di udara. Yang kedua dengan serangan darat. Diharapkan, senjata artileri dan Scud Irak akan digelarkan terbuka. Dengan demikian, ini akan menjadi sasaran empuk serangan udara Amerika yang dikenal unggul. Apabila senjata nuklir Irak itu berhasil mencapai sasaran dan merenggut korban, Amerika pasti akan meluncurkan senjata nuklir taktis dengan dalih mencegah Irak agar tak menembakkan senjata nuklir berikut. Sejauh Amerika yang meluncurkan senjata nuklir, pembatasan-pembatasan obyek militer beserta efeknya masih dapat dikendalikan. Akan tetapi, keadaan mungkin tak bisa terkendali bila Israel sudah telanjur menjadi korban. Kiranya ia tak mungkin terus-menerus menahan diri. Dengan prinsip "utang mata dibayar mata", dikhawatirkan Israel akan membalas dengan membabi buta. Kalau demikian, Perang Teluk akan menjadi besar, brutal, makin rumit. Namun, kunci berbagai kemungkinan itu sebenarnya hanya satu. Apakah benar Irak sudah punya senjata nuklir? Intelijen Amerika sampai sekarang belum berhasil menjawabnya. * Pengajar bidang Strategi Militer pada Seskoad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini