SEPAK BOLA Indonesia semakin melorot di percaturan Asia. Klub Pelita Jaya Jakarta, juara kompetisi Galatama 1988/1989, hanya menjadi juru kunci dalam grup B Kejuaraan Antarklub Asia yang berakhir Ahad lalu di Stadion Lebakbulus, Jakarta. Pada pertandingan terakhir itu, klub milik konglomerat baru Bakrie Brothers itu dipecundangi Shanin (klub dari Iran) dengan 0-2. Juara Grup B adalah kesebelasan Liaoning dari Cina setelah menahan saingan beratnya, Al-Rasheed dari Irak, dengan 0-0. Untuk menentukan siapa juara antarklub di Asia, Liaoning masih harus melawan juara Grup A, Nissan dari Jepang. Nissan yang diperkuat 3 pemain dari Brazil -- salah satunya Renato, bintang Piala Dunia Meksiko -- menjadi juara setelah mengalahkan Fanja FC dari Oman di Kuala Lumpur, Senin malam pekan ini. Entah kenapa, Pelita Jaya kini jadi payah. Dalam Kompetisi Piala Liga Bank Summa putaran pertama di Bandung, Pelita Jaya kalah 1-2 dari Pusri Palembang dan 1-3 dari Bandung Raya. Lalu, pada putaran kedua di Surabaya pekan lalu, klub para bintang itu dikalahkan muka baru Asyabaab Galatama dari Surabaya. Dengan semangat yang babak belur itulah Pelita Jaya ditahan 1-1 oleh Al-Rasheed pada pertandingan pertama kejuaraan Asia, dan lantas digebuk 0-1 oleh Liaoning pada pertandingan kedua, sebelum kalah dari Shanin tadi. "Yah, bagaimana lagi, motivasi tak didukung oleh fisik yang sudah kecapekan," ujar Manajer Pelita Jaya Rahim Sukasah. Dia mencatat, setelah memperkuat daerah masing-masing di PON XII Jakarta, pemainnya langsung main di Piala Liga di Bandung dan terus ke Surabaya. "Bayangkan, kami harus bertanding empat kali seminggu, itu luar biasa," lanjut Rahim lagi. Alasan Rahim sudah usang. Untuk sebuah klub semiprofesional yang berlatih hampir tiap hari, semestinya tak ada lagi alasan soal kondisi fisik. Apalagi, harus dicatat, Pelita Jaya punya segudang pemain nasional. Sebut saja Rully Nere, Bambang Nurdiansyah, Noach Meriem, dan I Made Pasek Wijaya. Urusannya tinggal motivasi pemain untuk bertanding, hal penting yang tidak dipunyai Pelita Jaya dan sangat dikritik Administratur Liga Acub Zaenal. "Mereka sama sekali tak punya mental juara," ujar Acub lantang, seusai Pelita kalah 0-2 dari Shanin. Masih ada catatan buruk untuk Pelita Jaya, menurut pelatih Liaoning, Li Ying Fa. "Mereka bermain kasar dan membahayakan," kata Li. Penyerang Liaoning, Xu Hui, dimakan keras oleh Bonggo Pribadi, pemain belakang Pelita, yang kemudian mendapat kartu kuning wasit. Menurut Li Ying Fa, penampilan Pelita Jaya, kali ini, lebih buruk dari Krama Yudha Tiga Berlian (KTB) di kejuaraan serupa, 1986. Ketika itu, di Hong Kong, KTB mampu menahan Liaoning 0-0. Liaoning, yang juara Grup B, ini memang kampiun di negerinya. Dari 1984-1988 mereka selalu juara kompetisi di Cina. Sedangkan pada 1989 ini, dari delapan klub yang ada, Liaoning berada di urutan kedua di bawah Klub Olympic. Pada kejuaraan antarklub Asia 1986 klub yang didukung perusahaan obat tradisional Cina "Northeast Pharmacy Enterprise Group" ini menduduki urutan ketiga. Ada lima pemain nasional Cina, termasuk Xu Hui, di klub yang memakai nama provinsi di perbatasan Cina-Soviet ini. Para pemainnya adalah siswa Sekolah Olah Raga di Senyang, ibu kota provinsi Liaoning. Hebatnya, pemain Liaoning bisa dengan cepat menyesuaikan suhu di Jakarta, sementara suhu di negerinya kini 0-10 derajat Celsius. Pelatih Li Ying Fa cukup gembira bermain di Lebakbulus, kendati ia sering jadi sasaran lemparan botol minuman oleh penonton. "Tak apa. Yang penting, pemain kami tidak ada yang kena lempar," ujarnya simpatik. Toriq Hadad, Liston P. Siregar, dan Ardian Taufik Gesuri (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini