Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Ssttt, film porno

Bakorstanasda sumatera bagian utara memanggil 10 distributor film di medan. mereka menyisipkan adegan porno. masyarakat dan organisasi pemuda mengirim surat protes ke gubernur.

23 Desember 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEORANG lelaki bersandal jepit dan bertopi pet antre di antara puluhan calon penonton di bioskop Deli, Medan. Malam itu diputar film perang: Hunters Crossing. Penuh ketegangan, begitu bunyi iklannya. Penonton di gedung ini selalu ramai, tak peduli film tegang atau setengah tegang. Sudah jadi rahasia umum orang Medan, film yang tak tegang pun -- misalnya film humor -- tetap membuat penonton tegang. Seperti malam itu, akhir November silam, ketika lelaki bersandal jepit itu memasuki bioskop. Hunters Crossing diputar. Penuh dar-der-dor. Ketika ketegangan memuncak, muncul adegan lain yang tak kalah tegangnya, tak lama, sekitar 10 detik. Pergumulan dua manusia berlainan jenis yang tanpa busana. Dan, ah, menjijikkan.... Tapi adegan seperti itu termasuk yang ditunggu-tunggu penonton. Adegan sisipan itu pulalah yang ditunggu lelaki bersandal jepit tadi. Tapi bukan untuk dinikmati, melainkan untuk bukti. Bahwa ternyata sinyalemen selama ini benar adanya, sejumlah gedung bioskop di Medan menyelipkan adegan "teramat porno". Lelaki bersandal jepit itu, esok harinya, langsung bertindak. Ia adalah Djoko Pramono, pangkatnya mayor jenderal TNI, dan jabatannya Pangdam I Bukit Barisan. Awal Desember lalu, A Tiong, Direktur Utama PT Indah Jaya Film, salah satu dari 10 distributor film di Medan yang dianggap bertanggung jawab atas adanya film porno itu, ditangkap. Dua distributor lainnya, Abah dari PT Dipa Jaya Film dan Budi Tanuwijaya dari PT Malando Film, juga dipanggil Bakorstanasda Sumbagut (Sumatera Bagian Utara). Abah tak memenuhinya dan menghilang dari Medan. Penyisipan adegan porno itu, kabarnya, sudah lama terjadi. Menurut seorang pejabat di Kanwil Departemen Penerangan Sumatera Utara, film-film yang menonjolkan adegan merangsang ini sudah dimulai sejak setahun lalu. Tindakan dari Kanwil Deppen bukannya tidak ada. Instansi ini sudah meminta bantuan Gubernur Sum-Ut agar membentuk Bapfida (Badan Pengawasan Peredaran dan Pemutaran Film Daerah) di seluruh daerah tingkat dua. Bapfida bersama Deppen kemudian melakukan pelacakan. Razia juga sudah dilakukan sejak Desember 1988. "Tapi tak pernah bisa dibuktikan," kata pejabat itu lagi. "Kalau kami razia, film itu tidak diputar. Namun, begitu lengah, film diputar lagi. Jadinya, kami main kucing-kucingan," tambahnya. Selain "kucing-kucingan", kerja sama petugas bioskop ternyata lebih pintar. Film porno sudah disiapkan di sebuah proyektor khusus. Film yang diputar ada di proyektor yang lain. Rupanya, petugas proyektor tahu juga "seni". Ketika film cerita sampai pada adegan tegang, pemutarannya disetop. Proyektor khusus ditembakkan. Atau, jika film cerita tidak tegang, sisipan film porno ditembakkan setelah adegan dua insan menunjukkan tanda bermesraan. Jika di antara penonton ada yang bergerak mencurigakan -- misalnya ada petugas dari Bapfida dan Deppen -- petugas di ruangan segera kontak petugas proyektor lewat earphone, minta supaya "barang antik" (kata sandi untuk film porno) diamankan. Dengan begitu, film porno tak pernah tertangkap tangan. Sesungguhnya hasil razia ada juga. April lalu, Pengadilan Negeri Medan menvonis Burhan dengan 15 hari penjara dan denda Rp 500. Karyawan PT Malando Film itu terbukti melanggar pasal 282 ayat 2 jo 55 (1) KUHP. Ketika itu, Burhan yang juga pegawai di Bioskop Benteng, Medan, ini ketahuan menyelipkan film porno ketika pemutaran film Among Wolles. Menurut Kasi Siaran TV dan Film di Kanwil Deppen Sumatera Utara, Delsi Syamsumar, Burhan tak sempat "mengamankan" guntingan film porno yang diselipkan itu. Tim razia saat itu membawa petugas kepolisian, dan memang sudah memasang perangkap sebelumnya. Rupanya, sejak itu pula petugas bioskop mencari akal dari jebakan perangkap. Reaksi masyarakat sebenarnya cukup keras setelah itu, lebih-lebih kelanjutan kasus Burhan tak kunjung ada. Dan ketika sinyalemen beredarnya film porno semakin ramai, FKPPI (Forum Komunikasi Putra Putri Purnawirawan ABRI) Sum-Ut melakukan protes keras, September lalu. Belum ada gebrakan. Pertengahan November menyusul surat protes ke kantor Gubernur dari Gerakan Angkatan Muda Kristen Indonesia (GAMKI) Sum-Ut. Protes senada kemudian muncul dari Pemuda Pancasila, HMI, Generasi Muda Persatuan, dan Perbiki (Persatuan Bioskop Keliling Indonesia) Medan. Memang tak ada gebrakan -- mungkin disengaja. Sampai munculnya lelaki bersandal jepit itu tadi. Ironisnya, menurut Ketua DPD GAMKI Sum-Ut, Efendy Naibaho, pionir pemutaran film porno itu adalah Bioskop Ria dan Bioskop Riang, yang tidak lain bioskop-bioskop milik Pemda. "Ini yang paling menyakitkan. Kok, tidak menjadi contoh yang baik," kata Efendy. Sementara itu, Ketua Pemuda Pancasila Sum-Ut, Marzuki, menyebutkan pemutaran selipan film porno itu sebagai kegiatan yang menjurus ke politis, bukan semata bisnis. Yang belum tuntas, dari mana potongan film itu. A Tiong belum membuka mulut, kecuali ia membantah kalau film porno itu ia peroleh dari BSF (Badan Sensor Film) Jakarta, sebagaimana yang ramai dibicarakan orang. Seorang distributor lain menyebutkan film itu diperoleh lewat seorang perantara di Jakarta yang punya hubungan dengan BSF. Ketua Pelaksana BSF, Soekanto, menganggap keterlibatan BSF itu mustahil. "Kalau sampai ada potongan film keluar dari BSF, kok, saya kurang yakin," katanya. Sebab, selama ini pengamanan film-film yang kena gunting sensor sangat ketat. Dua kopi disimpan sebagai arsip, dua kopi lain disegel untuk dimusnahkan setahun sekali. Pemusnahan itu mengundang pihak kepolisian dan kejaksaan, lengkap dengan berita acaranya. Kemungkinan lebih besar adalah membeli di luar negeri. Apalagi film porno itu semuanya film asing, antara lain cuplikan film Chaned Heat yang dibintangi Linda Blair. Selebihnya adalah potongan film porno yang tak jelas diketahui lagi judul filmnya. Menurut Soekanto, "Itu film yang sudah lama dan tak punya hak edar lagi." Walau begitu, toh BSF sudah mengirim tim ke Medan untuk meneliti kasus ini. Yusroni Hendridewanto, Sarluhut Napitupulu dan G. Sugrahetty Dyan K.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus