KONDISI fisiknya sedang lemah, batuk-batuk. Tapi keyakinannya
untuk menang teup besar. Ia merasa malu kalau sekali ini kalah.
Sebab pada Kejurnas Bulutangkis Junior di Palembang tahun lalu,
ia jadi juara. Pada PON X pun ia meraih tiga medali emas. Dan
pekan lalu di Gedung Olahraga Pajajaran, Bandung, Ratih Kumala
Dewi yang batuk-batuk itu membuktikan lagi keunggulannya. Ia
jadi juara tunggal putri Kejurnas Bulutangkis Junior 1981. Di
final ia mengalahkan Lanny Tedjo dari Jawa Tengah dengan angka
11-2 dan 11.
Kejurnas junior yang diusahakan tiap tahun itu tampaknya makin
dianggap penting dan digalakkan. Maksudnya untuk membina pemain
pengganti. Terutama pemain wanita. Dengan kejuaraan junior ini,
bibit baru diharapkan terlihat.
Bilit baru itu nanti bukan langsung di-TC-kan, tapi
dikembalikan ke daerah masing-masing, dan dibina secara tetap.
Cara pembinaan sewaktu diperlukan saja, misalnya, 6 bulan
menjelang PON baru latihan, ternyata salah. "Itu berarti tak
membantu program pusat," kata P. Sumarsono, Ketua Bidang
Pembinaan PBSB.
Tapi adakah bibit baru dari Kejurnas ini? 'Pemain putri masih
itu-itu juga. Yang putra satu-dua baru," kata Sumarsono. Sedang
Kejurnas ini diikuti 200 pemain dari 20 Pengda. Sedikitnya
dipertandingkan 251 partai: 100 partai tunggal putra, 71 tunggal
putri, 46 ganda putra dan 34 ganda putri.
Ratih Kumala Dewi, 18 tahun, berbintang Libra kelahiran Kediri,
bukanlah pemain yang istimewa. Adalah smashnya yang terarah yang
terutama banyak menolong. "Permainan saya memang masih polos,"
kata gadis berkulit hitam manis ini. Menurut Sumarsono keadaan
fisiknya perlu digarap lebih baik. "Bakat dasarnya sudah bagus,"
katanya.
Bisa majukah Ratih sebaya itu? Pertanyaan ini muncul lantaran
Ivanna atau Verawati dalam usia belasan tahun sudan masuk
Sepuluh Besar Dunia. Namun pelatih nasional, M. Ridwan,
mengatakan Ratih "berbakat besar".
Setelah Ratih secara berturut-turut sejak Mei tahun lalu
mengantungi lima elar juara, ibunya khawatir. Pesannya
ada Ratih "Kalau jadi superstar, contohlah Rudy Hartono. Jangan
sombong dan lupa daratan."
Ayahnya, Sukirman, guru olahraga STM III, Jakarta, sering
memanasi dan menantangnya untuk jadi juara. Semula Ratih, ketika
masih siswa SMP kelas II hanya iseng bermain di PB Bayangkara.
Lalu ia terpilih memasuki TC Jakarta Timur. Kemudian ia
bergabung dengan PB Mei asuhan Panji Suwarto.
Ridwan melihat (tahun 1978) postur Ratih ideal untuk seorang
pemain bulutangkis. Tinggi 156 cm, berat badan 49 kg. Dan dengan
rekomendasi Ridwan, ia masuk Sekolah Khusus Olahragawan Ragunan.
Tapi ini belum jaminan. Pada seleksi regu All England lalu,
Ratih tersandung. Masalahnya sepele. Ceritanya, begitu Ratih
habis bertanding, ibunya membawakan tukang pijat. Tubuh Ratih
dipijatnya. Akibatnya letihnya memang lenyap, tapi ternyata
Ratih dipecundangi di seleksi itu. "Sejak itu, saya tak mau
utik-utik dia lagi, takut salah," kata Ny. Rahayu Sukirman,
ibunya.
Ratih, anak kedua dari lima bersaudara, bercita-cita jadi
dokter. Tapi ia gagal dalam ujian Perintis beberapa bulan lalu.
Ia akan masuk bimbingan tes. Kalau gagal lagi, ia akan masuk
akuntan. "Biar bisa memeriksa penyelewengan pembukuan," katanya.
Anak Kudus
Pada kelompok putra, tuntutan berprestasi dari PB Jarum (Kudus)
rupanya terpenuhi oleh anak asuhannya. Dalam final, Edy Hartonot
17 tahun, adik Hastomo Arbi, mengungguli Musrifin, pemain
andalan Jambi. Edy yang jangkung, 171 cm dengan berat 65 kg,
seolah menguasai lapangan. Dengan penempatan bola yang sukar
diduga, dikombinasikan dengan smash ala Liem Swie King, ia
membuat Musrifin menyerah dengan angka 10-15 dan 6-15. Pada
perempatan final, Eddy Yayay dari JaBar pun jatuh dibuatnya
dengan angka 2-15 dan 5-15. Gedung olahraga yang dipenuhi 1.500
penonton itu pun seolah meledak dengan tepuk tangan.
Anak Kudus ini memainkan raket sejak umur 11 tahun. Pernah ia uk
naik kelas dua kali karena raket. Sering telat ia tiba di
sekolah gara-gara raket. Ia berlatih sampai jauh malam.
Sejumlah pemain nasional sudah muncul dari Jarum Kudus.
Easiliashya kngkap. Malah, kata Arissanto, Ketua PB Jarum, para
pemainnya diberi kesempatan bertanding lebih banyak di dalam
maupun luar negeri. "Edy ini sudah baik. Hanya perlu ditambah
pengalamannya bertanding. Sebab untuk pematangan juara (dunia)
dibutuhkan waktu 5 tahun," kata Sumarsono.
Juga menonjol dari Kejurnas ini juara pasangan ganda putri dari
Sulawesi Selatan--juga murid Ragunan--Rosiyana (17 tahun) dan
Susy Ogeh (18 tahun). Ganda putranya direbut pasangan Aryono (17
tahun) dan Kimas Wijaya (18 tahun) dari Jawa Barat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini