Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Pemain Pengganti ?

Kejurnas Junior 1981 menampilkan beberapa pemain harapan: Ratih Kumala Dewi tampil sebagai juara tunggal putri, sedang pada kelompok putra direbut oleh Edy Hartono dari PB Jarum, Kudus.

17 Oktober 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KONDISI fisiknya sedang lemah, batuk-batuk. Tapi keyakinannya untuk menang teup besar. Ia merasa malu kalau sekali ini kalah. Sebab pada Kejurnas Bulutangkis Junior di Palembang tahun lalu, ia jadi juara. Pada PON X pun ia meraih tiga medali emas. Dan pekan lalu di Gedung Olahraga Pajajaran, Bandung, Ratih Kumala Dewi yang batuk-batuk itu membuktikan lagi keunggulannya. Ia jadi juara tunggal putri Kejurnas Bulutangkis Junior 1981. Di final ia mengalahkan Lanny Tedjo dari Jawa Tengah dengan angka 11-2 dan 11. Kejurnas junior yang diusahakan tiap tahun itu tampaknya makin dianggap penting dan digalakkan. Maksudnya untuk membina pemain pengganti. Terutama pemain wanita. Dengan kejuaraan junior ini, bibit baru diharapkan terlihat. Bilit baru itu nanti bukan langsung di-TC-kan, tapi dikembalikan ke daerah masing-masing, dan dibina secara tetap. Cara pembinaan sewaktu diperlukan saja, misalnya, 6 bulan menjelang PON baru latihan, ternyata salah. "Itu berarti tak membantu program pusat," kata P. Sumarsono, Ketua Bidang Pembinaan PBSB. Tapi adakah bibit baru dari Kejurnas ini? 'Pemain putri masih itu-itu juga. Yang putra satu-dua baru," kata Sumarsono. Sedang Kejurnas ini diikuti 200 pemain dari 20 Pengda. Sedikitnya dipertandingkan 251 partai: 100 partai tunggal putra, 71 tunggal putri, 46 ganda putra dan 34 ganda putri. Ratih Kumala Dewi, 18 tahun, berbintang Libra kelahiran Kediri, bukanlah pemain yang istimewa. Adalah smashnya yang terarah yang terutama banyak menolong. "Permainan saya memang masih polos," kata gadis berkulit hitam manis ini. Menurut Sumarsono keadaan fisiknya perlu digarap lebih baik. "Bakat dasarnya sudah bagus," katanya. Bisa majukah Ratih sebaya itu? Pertanyaan ini muncul lantaran Ivanna atau Verawati dalam usia belasan tahun sudan masuk Sepuluh Besar Dunia. Namun pelatih nasional, M. Ridwan, mengatakan Ratih "berbakat besar". Setelah Ratih secara berturut-turut sejak Mei tahun lalu mengantungi lima elar juara, ibunya khawatir. Pesannya ada Ratih "Kalau jadi superstar, contohlah Rudy Hartono. Jangan sombong dan lupa daratan." Ayahnya, Sukirman, guru olahraga STM III, Jakarta, sering memanasi dan menantangnya untuk jadi juara. Semula Ratih, ketika masih siswa SMP kelas II hanya iseng bermain di PB Bayangkara. Lalu ia terpilih memasuki TC Jakarta Timur. Kemudian ia bergabung dengan PB Mei asuhan Panji Suwarto. Ridwan melihat (tahun 1978) postur Ratih ideal untuk seorang pemain bulutangkis. Tinggi 156 cm, berat badan 49 kg. Dan dengan rekomendasi Ridwan, ia masuk Sekolah Khusus Olahragawan Ragunan. Tapi ini belum jaminan. Pada seleksi regu All England lalu, Ratih tersandung. Masalahnya sepele. Ceritanya, begitu Ratih habis bertanding, ibunya membawakan tukang pijat. Tubuh Ratih dipijatnya. Akibatnya letihnya memang lenyap, tapi ternyata Ratih dipecundangi di seleksi itu. "Sejak itu, saya tak mau utik-utik dia lagi, takut salah," kata Ny. Rahayu Sukirman, ibunya. Ratih, anak kedua dari lima bersaudara, bercita-cita jadi dokter. Tapi ia gagal dalam ujian Perintis beberapa bulan lalu. Ia akan masuk bimbingan tes. Kalau gagal lagi, ia akan masuk akuntan. "Biar bisa memeriksa penyelewengan pembukuan," katanya. Anak Kudus Pada kelompok putra, tuntutan berprestasi dari PB Jarum (Kudus) rupanya terpenuhi oleh anak asuhannya. Dalam final, Edy Hartonot 17 tahun, adik Hastomo Arbi, mengungguli Musrifin, pemain andalan Jambi. Edy yang jangkung, 171 cm dengan berat 65 kg, seolah menguasai lapangan. Dengan penempatan bola yang sukar diduga, dikombinasikan dengan smash ala Liem Swie King, ia membuat Musrifin menyerah dengan angka 10-15 dan 6-15. Pada perempatan final, Eddy Yayay dari JaBar pun jatuh dibuatnya dengan angka 2-15 dan 5-15. Gedung olahraga yang dipenuhi 1.500 penonton itu pun seolah meledak dengan tepuk tangan. Anak Kudus ini memainkan raket sejak umur 11 tahun. Pernah ia uk naik kelas dua kali karena raket. Sering telat ia tiba di sekolah gara-gara raket. Ia berlatih sampai jauh malam. Sejumlah pemain nasional sudah muncul dari Jarum Kudus. Easiliashya kngkap. Malah, kata Arissanto, Ketua PB Jarum, para pemainnya diberi kesempatan bertanding lebih banyak di dalam maupun luar negeri. "Edy ini sudah baik. Hanya perlu ditambah pengalamannya bertanding. Sebab untuk pematangan juara (dunia) dibutuhkan waktu 5 tahun," kata Sumarsono. Juga menonjol dari Kejurnas ini juara pasangan ganda putri dari Sulawesi Selatan--juga murid Ragunan--Rosiyana (17 tahun) dan Susy Ogeh (18 tahun). Ganda putranya direbut pasangan Aryono (17 tahun) dan Kimas Wijaya (18 tahun) dari Jawa Barat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus