DENGAN wajah berseri-seri Menpan/Wakil Ketua Bappenas Sumarlin
mendampingi tamunya Menteri Perdagangan Inggris Peter Rees naik
eskalator menuju Grand Ball Room, Hotel Mandarin Jakarta, Selasa
pekan lalu. Hari itu, kedua pejabat tersebut akan berbicara
tentang kebijaksanaan perdagangan dan penanaman modal
masing-masing negara di depan peserta Pertemuan Bisnis
Inggris-Indonesia.
Pertemuan itu dihadiri lebih 100 pengusaha Indonesia dan 60
pengusaha Inggris yang ikut mendampingi Rees dalam kunjungan
pertamanya ke Indonesia. Acara ini diselenggarakan Badan
Pengembangan Ekspor Nasional (BPEN) bekerjasama dengan BKPM dan
dua perusahaan terkemuka Inggris. Ultramal dan Arbutnoth Latham.
Pertemuan seperti ini jugalah yang dihadiri rombongan Sumarlin
yang terdiri dari--sejumlah pejabat dan 30 pengusaha
Indonesia--ketika mereka mampir di Inggris empat bulan lalu,
dalam suatu perlawatan ke berbagai negara di Eropa, AS dan
Kanada.
Kini, bersama Ketua BPEN dan BKPM, Sumarlin menjadi tuan rumah
bagi rombongan Rees. Konon, jumlah rombongan dari Inggris itu
merupakan yang terbesar yang pernah datang ke Indonesia. "Mereka
langsung dari negerinya ke Jakarta. Tak pakai mampir di negara
lain lebih dulu," kata seorang pejabat BKPM bangga. Romhongan
ini memang tidak mampir ke Malaysia, yang hubungan dagangnya
dengan Inggris belakangan ini agak terganggu.
Jika ini benarr bisa disebut suatu surprise buat Sumarlin. Apa
misi rombongan Rees yang besar itu? "Agar tak ada keraguan
terhadap keseriusan pemerintah dan pihak swasta kami dalam
mempererat hubungan dengan negeri ini," kata Rees di pertemuan
bisnis itu.
Ia menjelaskan, sekarang ini pemerintah telah melakukan berbagai
perubahan kebijaksanaan di bidang ekonomi guna memungkinkan
perusahaan Inggris mampu bersaing di luar negeri. Antara lain,
katanya, pengurangan beban pajak pribadi, penghapusan terhadap
pengawasan kegiatan bursa dan mengakhiri pengawasan terhadap
harga dan dividen. "Jadi, Saudara Menteri, saya kira anda bisa
beristirahat dengan tenang setelah mengetahui bahwa The Royal
Wedding ternyata bukanlah satu-satunya berita baik yang keluar
dari Inggris tahun ini," kata Rees sambil melirik Sumarlin dan
tersenyum lebar.
Memang tampaknya ada minat dan kesempatan buat pengusaha Inggris
sekarang untuk menanam modal ke luar negeri: Frans Seda, ketua
Komisi Kerjasama Inggris-Indonesia mengatakan komisi yang
dipimpinnya sudah membicarakan hal itu dalam upaya meningkatkan
hubungan dagang swasta antar kedua negara. "Kami sudah bicara
blakblakan. Kini, mereka sudah mengerti kebijaksanaan
pemerintah," ujar Seda.
Ada tiga bidang yang katanya sudah dibicarakan dengan rombongan
Inggris itu. Yakni, masalah kerjasama dalam bentuk patungan,
soal investasi asing di Indonesia serta perdagangan langsung
antar kedua negara dan promosi ekspor di kedua negara. "Untuk
kelancaran semua tugas tersebut, sudah diputuskan untuk
mendirikan Pusat Informasi Dagang yang nantinya berkantor di
kantor pusat Kadin," kata Seda.
Dengan pusat informasi itu kedua belah pihak diharapkan lebih
cepat mengetahui perkembangan perdagangan di negara patner
masing-masing.
Tapi itu jelas belum merupakan suatu jaminan bisa mengubah
neraca dagang yang sejak sepuluh tahun terakhir ini tetap
menunjuk saldo negatif buat Indonesia. "Kita harus berusaha
memanfaatkan pengusaha Inggris untuk kepentingan kita," ujar
Seda.
Langsung Balas
Secara resmi hubungan dagang Indonesia-Inggris dimulai dengan
Agieed Minutes yang ditandatangani 29 Maret 1950 dan setiap
tahun diperbarui. Tapi perkembangannya dari tahun ke tahun tetap
saja menunjukkan saldo negatif buat Indonesia. Tahun 1972,
misalnya ekspor Indonesia ke Inggris bernilai 23 juta US dollar
sementara impor: 67 juta. Angka ini setiap tahun meningkat.
Tahun 1980 ekspor tercatat: 76 juta US dollar dan impor: 105
juta.
Dua tahun lalu hubungan dagang kedua negara agak terganggu
tatkala Inggris memotong kuota impor garmen dari Indonesia
Pemerintah Indonesia langsung membalas dengan mengalihkan
beberapa kontrak dagang dari lnggris ke negara lain. PM Tatcher
waktu itu mengakui aksi balasan Indonesia itu memukul keras
Inggris, hingga dia segera mengirim menteri perdagangannya untuk
membujuk Indonesia.
Sampai 1980 Inggris masih tercatat sebagai salah satu anggota
IGGI yang memberikan bantuan sebesar US$ 26 juta untuk periode
1979/1980. Di samping itu sampai tahun 1979 tercatat sebanyak 43
proyek PMA Inggris yang beroperasi di Indonesia dengan investasi
sebesar US$ 95,9 juta.
Salah satu di antaranya adalah PT Dunlop Indonesia. Pabrik ban
dan berbagai jenis barang konsumsi seperti raket, bola tenis dan
bulutangkis serta sepatu itu sudah beroperasi sejak 1928.
Perusahaan itu memiliki anak perusahaan: PT Dunlopillo Indonesia
sejak Januari 1978. Kini perusahaan ini sedang menyiapkan sebuah
proyek: pabrik ban kendaraan khusus bernilai US$ 150 juta di
Cilegon bekerjasama dengan PT Intirub--pesero milik pemerintah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini