Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sedan Nissan Cefiro A31 buatan 1990 itu melesat di antara gerimis yang membasahi sirkuit Jakarta International Expo, Kemayoran, Jakarta Pusat, Ahad siang pekan lalu. Jarum di speedometer hampir menunjuk angka 100 kilometer per jam. Dari kaca depan yang berembun, terlihat trek mulai menikung ke kiri. Jaraknya hanya tinggal beberapa meter. Namun, alih-alih menginjak pedal rem, Rio Saputro Budihardjo, pengendara Nissan itu, justru menjejak pedal kopling.
Mobil pun meluncur miring. Rio cepat menarik tuas rem tangan sambil membanting setir ke kanan, menjaga agar moncong mobil tetap mengarah ke sisi dalam tikungan. Setelah itu kaki kanannya kembali menginjak pedal gas. Mesin mobil berkubikasi 3.000 cc itu pun meraung. Suaranya beradu dengan jeritan ban belakang yang kehilangan traksi. Asap tebal menyembur dari knalpot. Wuush!
Seribuan penonton yang berjejer di tepi luar lintasan bersorak ketika Rio sukses menggelincirkan sedan merah-putihnya itu mengikuti tikungan yang membentuk huruf U. Itulah tikungan tersulit di sirkuit tempat digelarnya Formula Drift Asia 2012, pekan lalu. "Momennya harus pas, karena telat sedikit saja menarik rem tangan atau menginjak kopling," kata Rio, "mobil bisa muter 360 derajat atau keluar lintasan."
Aksi Rio itu akhirnya membawa ia ke tangga juara umum ketiga di seri terakhir ajang drifting paling bergengsi se-Asia Tenggara tersebut. Drifter dari GT Radial Drift Team ini mengoleksi 218 poin dari tiga seri yang digelar di Malaysia, Singapura, dan berakhir di Indonesia. Sementara juara dua diraih drifter Malaysia, Tengku Djan Ley, dengan 253 poin; dan juara pertama adalah drifter asal Jepang, Daigo Saito, dengan 330 poin.
Balapan memang bukan hal baru bagi Rio. Remaja kelahiran Surabaya 27 Juli 1991 ini bahkan sudah doyan ngebut sejak masih berseragam putih-biru. Saat itu ia sering mengikuti balap liar di jalanan. "Akibatnya," kata Rio, "saya sering nyungsep." Meski begitu, ia tak pernah kapok.
Aksinya di jalanan baru berhenti ketika ia masuk SMA. Itu pun bukan dari kesadarannya sendiri. Ia tinggalkan sirkuit "swasta" lantaran ultimatum ayahnya, Aryanto Boedihardjo-yang seorang jenderal polisi bintang dua itu: boleh terus kebut-kebutan tapi di ajang resmi, atau tidak sama sekali! Ultimatum ini membuatnya keder.
Apa boleh buat, Rio pun memilih opsi pertama. Sejak itulah ia sering wira-wiri ke Sirkuit Sentul, Jawa Barat. Di sana ia menggeber habis Honda Estillo 1992 pemberian orang tuanya. Bakat, minat, dan keterampilan balapnya digenjot. Usianya yang baru 16 tahun tak membuatnya minder.
Merasa sudah cukup bekal, ia ikut kejuaraan Indonesia Touring Car Championship Junior pada 2007. Saat itu dia berhasil naik podium pertama. "Padahal mobil saya sempat mogok dan kehabisan bensin."
Nama Rio mulai merajalela di Sentul ketika ia memborong semua gelar juara di seri balap Retro Touring Car Championship pada 2008. Saat itu ia menunggang Toyota Corolla DX lansiran 1982. Prestasi serupa kembali dicetaknya setahun kemudian.
Ia mulai tertarik ngedrift setamat SMA. "Saat itu saya lihat video D1 Grand Prix di Jepang lewat YouTube, kok sepertinya menarik," katanya. Bagaimana dia tidak tertarik, di video itu terlihat dua mobil berlomba ngepot. Sepanjang trek, mobil tak dipacu lurus ke depan seperti umumnya di ajang balap, melainkan melaju miring seperti kepiting. Decit putaran ban dan semburan asap knalpot menambah dramatis pertandingan.
Ia lalu mencoba-coba teknik ngedrift. Tak ada guru khusus yang mengajarinya. Ia belajar dari video kemudian menerjemahkannya sendiri di kabin mobil. Pengalamannya selama balapan di Sentul cukup membantu, meski, "Teknik balapan tidak sama dengan ngedrift."
Barangkali karena memang bakatnya besar di dunia kebut-kebutan ini, ia mulai berbicara di tingkat Asia. Puncaknya adalah pada seri Formula Drift Asia di Kemayoran itu, saat ia menjejakkan kaki di podium. "Saya tidak percaya, tapi saya senang sekali," kata Rio tentang gelar juara ketiganya itu. Dia mengakui posisi ketiga Asia adalah pencapaian tertinggi sejauh ini.
Tentu saja pencapaian ini membikin bangga ayahnya, yang dua tahun lalu pensiun dari kepolisian. Bagaimanapun itu adalah lonjakan prestasi yang cukup tajam. Sebab, tahun lalu Rio hanya mentok di posisi kesepuluh.
Rupanya, pencapaian drifter Indonesia memang tengah ngebut dua tahun terakhir. Hal ini diakui Ryan Sage, salah satu pendiri Formula Drift. Kata dia, perkembangan keterampilan drifting pembalap Indonesia adalah yang tercepat di Asia. Ia menunjuk fakta kian seringnya drifter Indonesia naik podium dalam berbagai balapan. "Orang seperti Rio Saputro dan Amandio memiliki tingkat drifting yang bagus," kata Ryan.
Amandio yang ia sebut punya nama lengkap Emmanuel Adwitya Amandio. Pemuda 20 tahun ini memang salah satu drifter andalan Indonesia. Di kantongnya sudah terselip lisensi Formula Drift Amerika Serikat. Dio, sapaan akrabnya, adalah satu-satunya drifter Indonesia yang memegang lisensi itu. Sebuah lisensi yang berlaku seumur hidup. "Kalau sudah masuk ke Amerika, ke balapan lain lebih mudah," katanya. Lisensi itu ia sabet dua tahun lalu saat berhasil merebut gelar juara umum ketiga Formula Drift Asia 2010 di Thailand.
Dio langsung memanfaatkan lisensinya dengan terjun ke Formula Drift Amerika Serikat 2011. Hasilnya lumayan. Dari 60 peserta, ia masuk 40 besar. April lalu ia kembali mengikuti ajang yang sama, dan berhasil melejit ke 16 besar.
Di dunia drift, nama Dio memang mencorong. Di Formula Drift Asia 2012 kemarin, ia memang tak masuk tiga besar. Pembalap dari tim Wedrifteam Syailendra Achilles ini tersingkir di babak 16 besar. Ia dikalahkan drifter Malaysia, Tengku Djan Ley. Tapi targetnya tahun ini memang bukan menjuarai Asia. "Saya ingin mencoba D1 Grand Prix di Jepang."
Jepang memang salah satu kiblat olahraga ini. Di Negeri Matahari Terbit itulah teknik ngedrift ditemukan sejak 40 tahun silam. "Saat ini kita masih tertinggal dalam pengembangan mobil, suspensi, engine, dan segala macam," kata Dio.
Siapa tahu, dengan menjajal tantangan di negeri asalnya, pelan-pelan drifter Tanah Air segera bisa menyusul para pendauhulunya. Para drifter Indonesia kini bagai tengah memegang bendera start untuk melejit lebih tinggi.
Dwi Riyanto Agustiar
Soal Keplok dan Semburan Asap
DRIFT adalah olahraga balap yang pemenangnya tidak ditentukan siapa yang tercepat menembus garis finish. Menurut Teguh Busono, Sekretaris Indonesia Drift Community, juaranya adalah pembalap yang mobilnya paling cantik saat ngepot . "Karena itu unsur seninya lebih dominan ketimbang balapannya," kata Teguh.
Dia akui pada akhirnya ini memang bergantung pada subyektivitas. Bahkan, saking subjektifnya, tepuk tangan penonton dan semburan asap pun turut dinilai. Makin meriah tepuk tangan, berarti makin cantik pertunjukan ngepotnya. Begitu pula makin banyak semburan asap, menandakan makin tinggi putaran mesin saat ngedrift.
"Soal tepuk tangan dan asap masuk ke poin style," kata Teguh. Poin lain yang dinilai adalah kecepatan awal, alur laju mobil di drift line, serta sudut countersteer yang dihasilkan saat buritan mobil mulai mengayun.
Nah, sisi hiburan dan subyektivitas juri yang kelewat dominan inilah yang membuat drift hingga kini belum diakui Fédération Internationale de l'Automobile (FIA), badan yang membawahkan kegiatan balap motor dunia. Meski begitu, minat masyarakat Indonesia terhadap adu ngepot ini cukup tinggi. Saat ini ada 215 orang yang tergabung di Indonesia Drift Community. Akun resmi mereka di Facebook bahkan diikuti tak kurang dari 4.650 orang.
Angka ini terhitung lumayan karena drift baru dikenal di Indonesia pada 2006 lewat gelaran Goodyear Night Drift Champions di lapangan parkir Markas Polda Metro Jaya. Lomba yang disponsori produsen ban itu rutin dilakukan hingga 2008. "Tapi kejuaraan itu lebih ke fun saja," kata Teguh, "karena belum ada standar penilaiannya."
Pesatnya perkembangan drift juga diakui Ryan Sage. Pendiri Formula Drift Asia ini menilai, dibanding di negara-negara Asia lain, olahraga drift di Indonesia paling cepat berkembang. "Awalnya drifter Indonesia hanya sedikit, tapi jumlah mereka cepat tumbuh besar," katanya kepada Gadi Makitan dari Tempo.
Antusiasme ada, pembalapnya cukup andal, maka prestasilah yang kini menjadi terget utama.
Dwi Riyanto Agustiar
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo