Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Politik Otentik: Manusia dan Kebebasan dalam Pemikiran Hannah Arendt
Penulis: Agus Sudibyo
Penerbit: Marjin Kiri
Terbit: 2012 Tebal: 240 + xx
APA itu politik? Dalam sekejap, kita akan menunjuk pada hiruk-pikuk pemilihan umum, perilaku para wakil rakyat di Dewan Perwakilan Rakyat, manuver-manuver penuh muslihat, perebutan kursi ketua umum partai politik, hingga persekongÂkolan menggangsir anggaran negara. Tapi kemuakan pada politik ternyata tak menyurutkan partisipasi warga—entah kerumunan dalam kampanye yang lebih mengumbar tontonan yang tak ada kaitannya dengan program politik, entah ribuan relawan yang sukses mengantar pasangan calon kepala daerah. Lugasnya, wajah ganda politik tetap saja langgeng: dibenci dan dicaci sekaligus dirindukan dan dirayakan.
Di tengah praktek politik sehari-hari seperti itu, hidup pula daya yang selalu menggetarkan untuk terus-menerus menimbang, menggugat, melampaui, dan menerobos realitas—inilah yang disebut "yang-politik" (the political). Pada aras inilah sejarah mencatat Hannah Arendt, filsuf perempuan yang sangat berpengaruh pada abad ke-20. Arendt adalah filsuf keturunan Yahudi yang hidup di Jerman. Dia mengalami masa kelam di bawah pemerintahan Nazi dan akhirnya menjadi warga diaspora di Amerika Serikat. Refleksi kritisnya berayun di antara kekejian totalitarianisme dan sistem pasar yang ekspansif.
Kisah menyelami gagasan Arendt ini dihadirkan Agus Sudibyo dalam buku Politik Otentik: Manusia dan Kebebasan dalam Pemikiran Hannah Arendt (Marjin Kiri, 2012). Tatkala praktek politik dipenuhi kontestasi kekuasaan yang bertendensi merusak kemanusiaan dan merendahkan keluhuran politik—atau dalam bahasa Arendt Âdipenuhi penyimpangan dan pemaksaan—gema pemikiran Arendt bak pisau yang menyayat selubung kepalsuan kekuasaan. Politik yang otentik, kata Arendt, terwujud ketika individu berbeda-beda, sekaligus setara, bertindak dan berbicara untuk memutuskan perkara-perkara bersama secara diskursif.
Arendt berikhtiar memulihkan martabat politik yang sejak Plato telah secara sengaja dipinggirkan dan turun-temurun Âdiwarisi tradisi Barat. Padahal, di tangan Socrates, politik diberi sentuhan model maieutic—bak seorang bidan membantu seorang ibu melahirkan anaknya. Filsuf pun harus turun ke ruang publik (agora), bercakap-cakap, terlibat, dan membaur dalam arus opini orang banyak demi terciptanya komunitas yang lebih bermutu. Arendt mengidealkan polis Yunani kuno sebagai ranah praktek politik otentik. Polis adalah ruang publik tempat manusia bebas bersama-sama membicarakan dan memutuskan persoalan-persoalan publik secara argumentatif. Dalam pengandaian Arendt: politik berbasis pada kemajemukan manusia dan keniscayaan hadirnya liyan.
Sasaran tembak Arendt sebenarnya adalah kolonisasi ruang publik oleh yang-privat. Hal ini tampak pada gejala dominannya pengejaran kepentingan individu yang dicirikan paksaan dan kontrol. Totalitarianisme dan dominasi pasar adalah dua ideologi yang melucuti otentisitas ruang publik dan melumpuhkan komunitas menjadi kawanan. Padahal tindakan individu-individu bebas dalam ruang publik adalah kekuasaan yang sesungguhnya (halaman 53). Implikasinya, konsepsi tentang kedaulatan tertinggi harus ditinjau ulang karena meniadakan kesetaraan.
Dalam pandangan Arendt, kekuasaan mesti dipahami sebagai potensialitas yang ada karena interaksi timbal balik individu-individu di ruang publik. Ia bukan sesuatu yang digenggam. Dengan pemahaman ini, kekerasan pun mustahil menjadi pembentuk kekuasaan karena secara esensial kekerasan bertentangan dengan kekuasaan.
Meski bercuriga pada kinerja sistem dan institusi politik, Arendt berpendapat bahwa manusia politik justru meletakkan tindakannya pada struktur, bukan menghancurkannya. Di sini ia menaruh harapan pada tindakan konkret manusia dalam menyelamatkan ruang publik. Ia meletakkan kepercayaan pada kemampuan berpikir otonom manusia. Berpikir, bagi dia, adalah proses pencarian makna. Dan trilogi pikiran, kehendak, dan penilaian merupakan pilar bagi munculnya tindakan itu.
Di buku ini, Arendt menunjukkan bahwa sistem demokrasi masa kini justru mengidap defisit politik. Ketika kita miskin visi kepuÂblikan, tak mampu melukis cita-cita bersama, maka negara disesaki para pelaku yang terjangkit watak pengecut. Ruang publik yang seharusnya menjadi arena perwujudan kesejatian diri justru dicabik oleh motif-motif cari untung sesaat. Corak kerumunan semakin kental sebagai wajah perpolitikan. Di tengah arus deras kedangkalan seperti ini, justru mendesak memberi tempat bagi kembalinya "yang-politik" atau politik otentik untuk menggembalakan cita-cita bangsa.
Barangkali Arendt, dan siapa pun yang percaya pada cita-cita kebaikan bersama, bak sang nabi berteriak-teriak di gurun kesunyian. Toh, interupsi itu tetaplah bermanfaat memperpanjang napas harapan.
Upaya Agus Sudibyo menghadirkan pemikiran Arendt patut disambut. Karya ini digarap dengan serius dan mewakili kegelisahan eksistensial sang penulis. Ia mewakili begitu banyak pribadi yang tak mampu bersuara di tengah kebisingan politik Indonesia. Meski ada beberapa pokok pemikiran Arendt yang tampak luput dari tilikan, seperti pandangannya tentang hak asasi manusia, perspektif keadilan, dan eksistensi negara, mutu buku ini tak berkurang. Politik Otentik: Manusia dan Kebebasan dalam Pemikiran Hannah Arendt hadir tepat pada waktunya, ketika masyarakat mulai jengah terhadap tingkah polah politikus yang genit.
Yustinus Prastowo, alumnus Pascasarjana STF Driyarkara Jakarta, peneliti di Perkumpulan Prakarsa Jakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo