Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KWARTAL pertama masa kepengurusan Ali Sadikin tampaknya belum
beranjak dari kesuraman. Menang 1 dari Spartak Moskow,
mengalahkan Kesebelasan Malaysia 2-1, seri dan ricuh lawan
Thailand 1-1, hari Natal kemarin kembali Iswadi dkk dikalahkan
oleh Dynamo Zagreb 1-5.
Namun demikian, di balik prestasi yang kurang meyakinkan itu,
terjadi pula peristiwa yang bersejarah. Atas prakarsa SIWO/PWI
Pusat pertengahan Desember lalu telah diselenggarakan diskusi
panel dengan tema "Membangun Kembali Sepakbola Nasional."
Pelbagai kalangan olahraga diundang, termasuk juga pejabat
pemerintah dan eks pengurus PSSI, yang menyampaikan saran-saran
tentang perbaikan organisasi dan tim nasional.
Dalam diskusi itu soal sepakbola bayaran yang disuguhkan
beberapa pemrasaran ternyata merupakan hidangan yang hangat.
Meskipun secara en bloc pihak PSSI ogah menerimanya. Ali
Sadikin dengan gamblang bertanya pada hadirin apakah tim Burma
dan Korea Selatan itu prof? Tentu saja "amatir." Tapi dalam
soal pembinaannya? Tak ada yang menanyakan, apalagi menjawab.
Panel diskusi yang dipimpin oleh Prof. Bachtiar Rivai sebagai
moderator akhirnya menampilkan Kadir Yusuf, kolomnis Kompas,
sebagai Ketua Komisi Pembinaan Sepakbola Prof jabatan yang
sampai waktu itu masih lowong. Apa yang bisa diperbuat tokoh
bola yang berusia 6 tahun itu? "Tunggu saja tahun depam
Sekarang semuanya kan sibuk dengan Natal dan Tallun Baru," kata
bekas Komisi Teknik Persija itu. "Bila saya mati, mata saya
takkan meram kalau sepakbola bayaran belum lahir di Indonesia,"
ia pernah berkata begitu. Ia menganggap, sepakbola bayaran
adalah senjata untuk meningkatkan mutu sepakbola Indonesia. Dan
potensi itu ada. Tergantung dari kemauan pilnpinan PSSI sendiri.
Sementara itu panel diskusi itu menarik pula perhatian beberapa
tokoh KONI Pusat. Ada yang mengatakan bahwa lepas dari materi
diskusi, PSSI di bawah Ali Sadikin telah membuka diri bagi
orang-bukan-sepakbola. "Baru pertama kali ini terjadi, orang
luar seperti Prof Bachtiar bisa diterima oleh mereka. Biasanya
PSSI selalu menutup diri dari unsur-unsur luar," kata seorang
pimpinan KONI. Ketika ketua SIWO/PWI Pusat, Sondang Meliala,
pertama melemparkan gagasan panel diskusi itu, memang terdengar
reaksi dari pengurus PSSI tertentu yang berbau prasangka. Seolah
ada orang-luar yang ingin mencampuri urusan intern PSSI. Oleh
karena itu momentum di bawah kepemimpinan Ali Sadikin ini
hendak dimanfaatkan oleh pihak KONI untuk menjajagi keadaan
publik sepakbola Indonesia. "Kita ingin sekali menyelami sampai
di mana fanatisme sepakbola di Indonesia, apresiasi penonton
terhadap peraturan dan tingkah-laku mereka sebagai massa
penonton," kata seorang pimpinan KONI lainnya yang menilai bahwa
maju-mundurnya sebuah cabang olahraga tak lepas dari dukungan
yang diberikan penggemarnya. Sayangnya biro pengumpulan pendapat
yang dimaksud belum lazim seperti halnya biro riset yang
mengaudit pembaca majalah atau koran. Tapi nampaknya ke arah itu
pihak KONI akan menuju.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo