Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PADA tahun 1980, begitulah rencana P & K, pilihan pendidikan
tinggi untuk orangtua dan anak-anaknya akan bertambah. Di
beberapa kota besar akan dibuka pendidikan ketrampilan berjangka
waktu mulai dari satu sampai tiga tahun. Terutama pendidikan
tehnik. Pendidikan ini ditujukan kepada para orang tua dan
anak-anaknya yang bukan pemburu gelar sarjana, tapi sekedar
ingin pengetahuan yang bisa dipakai langsung dalam industri yang
lagi berkembang seperti sekarang.
Program pendidikan non-degree (tanpa gelar) ini, seperti yang
diceritakan Dirjen Pendidikan Tinggi Prof Dody Tisnaamidjaja,
memiliki tujuan rangkap. Dia akan dibuka untuk menampung para
pelajar yang gagal masuk universitas Selain itu dia merupakan
usaha pemerintah untuk memenuhi tuntutan masyarakat, terutama
pertumbuhan industri yang menginginkan bentuk ketrampilan di
bawah taraf sarjana, tapi di atas lulusan STM.
Kepandaian seperti itu kabarnya sudah merupakan kebutuhan
mendesak bagi perusahaan-perusahaan seperti Nurtanio, Siemens
dan beberapa lagi. Sebab sampai sekarang keahlian sebagai
perawat mesin (maintenance mechanics), pembuat perkakas mesin
(tool maker) dan perencana gambar (draftsman designer)
merupakan barang impor. Insinyur kita kalau ditempatkan di
bagian itu rasanya terlalu tinggi. Tapi kalau anak lulusan STM
yang dipasang di sana kemahirannya belum cukup.
Untuk memantapkan rencana ini sebuah proyek percontohan dibanun
di Bandung. Dilaksanakan oleh tenaga-tenaga dari ITB dengan
bantuan pemerintah Swiss, berupa uang $ 2,8 juta, peralatan dan
tenaga ahli: Bangunan sekolah itu terletak di daerah Dago, pada
sebuah lembah yang diapit bukitbukit. Nama resminya Polyteknik
Mekanik Swiss.
Bea Siswa
Kompleks perguruan itu terdiri dari dua bagian. Deretan untuk
kelas, perpustakaan, kantor dan yang sederet lagi merupakan
bangunan yang terbesar. Bagian ini dipergunakan untuk bengkel
yang berisi rupa-rupa peralatan. Mulai dari mesin penguji
ketepatan yang diletakkan dalam ruangan 20ø mesin bubut, martil,
obeng sampai ke minyak gemuk.
Polyteknik ini dibuka sejak tahun 1976. Ada 500 pendaftar
lulusan SMA dan STM, tapi yang diterima hanya 50. Untuk
tahun-tahun berikutnya pun hanya sejumlah itu saja yang bakal
diterima, karena terbatasnya peralatan tehnik. Untuk satu tahun
uang sekolahnya Rp 60.000. Uang ini sudah meliputi dua stel
pakaian kerja dan asuransi kecelakaan bagi siswa. Dia memberikan
bea siswa untuk siswa yang berbakat dan berasal dari keluarga
kurang mampu. 10% dari siswanya adalah penerima bea siswa itu.
Menurut Direkturllya, ir Hadiwaratama, polyteknik ini
"sebenarnya ingin ditujukan kepada anak-anak yang berasal dari
keluarga dengan kemampuan ekonomi sedang, sebab merekalah
sebenarnya yang menginginkan pekerjaan langsung. Tapi niat itu
terbentur karena adanya test masuk. Kalau saya hanya menerima
mereka yang kurang mampu, testing jadi lak berguna. Padahal
standar pengetahuan dan ketrampilan diperlukan."
Niat yang kuat untuk memperuntukkan perguruan ini bagi mereka
yang lemah dan sedang kedudukan sosialnya, agaknya didasarkan
pada pandangan bahwa tiap bantuan semestinya dijatuhkan kepada
yang lemah. "Anda tahu filsafat dari bantuan adalah memberikan
kepada yang paling miskin," kata Stefan Wunderlin, ketua dosen
polyteknik itu kepada wartawan TEMPO, Martin Aleida. "Tapi
lihatlah," sambungnya seraya cepat bangkit dari tempat duduk dan
menyingkapkan gordeng jendela. "Hampir semua pakai motor.
Malahan ada yang pernah datang pakai mobil. Tapi kemudian kami
larang, karena kebetulan kami tidak menyediakan parkir mobil
untuk siswa," kata anak muda Swiss ini tertawa.
Tenaga Kasar
Orang Swiss yang mengajar di sini masih melihat adanya motivasi
yang kurang tepat dari siswa untuk masuk ke sekolah yang
bagaikan bengkel itu, di mana dua pertiga dari masa pendidikan
dihabiskan di bengkel. "Saya harap mereka datang ke mari bukan
karena tidak diterima di perguruan tinggi. lni sesuatu yang
baru, karena itu sulit. Tapi bagaimana pun sekolah seperti ini
diperlukan. Setidak-tidaknya untuk menyatakan bahwa pendidikan
tenaga kasar itu sama pentingnya dengan pendidikan yang lain,"
ucap Wunderlin.
Empat-lima siswa menyatakan polyteknik tersebut memang
benar-benar sebagai pilihannya. "Soalnya begitu lulus bisa masuk
kerja," kata seorang yang sudah pernah duduk di kelas II STTN.
Harapan anak muda ini mungkin akan benar, sebab sudah ada
beberapa perusahaan yang memesan pembuatan perkakas di situ.
Penyusunan kurikulumnya berdasarkan perpaduan antara yang
terdapat di Swiss dengan kebutuhan yang kira-kira dituntut oleh
pertumbuhan industri di sini. Untuk membagi jurusan bagi siswa
yang sudah duduk di kelas III perguruan ini nampaknya menemui
kesulitan. Bagaimana dia akan membagi persentase bagian
pembuatan perkakas, perencana gambar dan perawat mesin. Sebab,
seperti yang dikatakan seorang staf pengajar, dari pihak tenaga
kerja belum ada gambaran mengenai perimbangan bagian itu dalam
perindustrian kita. "Jadi pembagian itu semata-mata didasarkan
pada perkakas yang ada di sini. Bukan atas kebutuhan yang ada di
masyarakat," sambungnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo