SAATNYA sudah tiba. Sebuah panggung bagi para olahragawan unuk berperang dan bersaing untuk mencapai Citius, Fortis, Altis (Makin cepat, makin tinggi, dan makin kuat) telah siap. Maka, mulai Sabtu pekan ini, semua mata dunia menatap ke Seoul. Di situlah Olimpiade XXIV diselenggarakan. Suatu tradisi olahraga yang panjang dan telah berlangsung sejak 3.000 tahun silam pun dilestarikan. Diperkirakan, lebih dari 13.700 atlet, 5.000 ofisial, dan 2.000 wasit dari 161 negara peserta bakal tmplek blek di Seoul. Para atlet yang hadir itu memburu 237 medali emas dari 23 cabang olah raga yang dipertandingkan. Peristiwa ini juga diliput oleh sekitar 14.000 wartawan media ceak dan elektronik. Jumlah turis asing pecandu sport yang datang diduga lebih dari 250.000 orang. Dan diperkirakan, 3 milyar penduduk bumi akan menyaksikan drama olah raga itu sepanjang 16 hari penuh lewat televisi. "Inilah pesta olah raga terbesar dalam sejarah Olimpiade," tutur Ketua Panitia Penyelenggara Olimpiade Seoul SLOOC, Park Seh-Jik, dengan bangga. Kor-Sel -- macan Asia yang makin garang ini -- memang patut bangga. Setelah Olimpiade Tokyo pada 1964, inilah untuk kedua kalinya Asia menjadi tuan rumah pesta olah raga terbesar sejagat ini. Karena itu, pantas jika semua warga Kor-Sel kini bersukacita, sekaligus waswas dalam menyambut peristiwa akbar ini. Rekor penyelenggaraan Olimpiade sebelumnya yang paling meriah dicatat di Los Angeles 1984 -- dihadiri 8.000 atlet dari 142 negara peserta -- tumbang sudah. Namun, ancaman teror dari "Saudara di Utara" yang komunis dan ulah "Si Anak-Anak Nakal" mahasiswa Kor-Sel yang militan masih terus menghantui suksesnya penyelenggaraan 0limpiade Seoul ini. Tak heran jika semua polisi dan militer Kor-Sel hari-hari belakangan ini dalam keadaan siaga. Di luar arena pertandingan keadaan tak ubahnya seperti menghadapi perang. Geledah sana, geledah sini. Periksa ini, periksa itu. Tapi di arena pertandingan, para pecandu olah raga tampaknya bakal terhibur. Untuk pertama kalinya dalam 12 tahun terakhir terjadi kembali duel antara dua negara yang bermusuhan di medan politik dunia: Amerika Serikat vs. Uni Soviet. "Pertempuran" terakhir kedua negara raksasa itu di medan olah raga terjadi di Olimpiade XXI Montreal 1976. Ketika itu Soviet keluar sebagai juara umum dan mengungguli AS dalam pengumpulan medali. Ketika Olimpiade XXII Moskow 1980 berlangsung, AS bersama 60 negara sekutunya -- termasuk Indonesia -- memboikot dan tak mengirimkan atletnya sebagai protes atas invasi Soviet ke Afghanistan. Empat tahun kemudian, Soviet dengan 19 negara Blok Timur lainnya ganti membalas dengan memboikot Olimpiade XXIII Los Angeles 1984. Mudah ditebak bila dua seteru bebuyutan itulah yang di Seoul nanti bakal kembali memborong medali dan berupaya merebut supremasi Juara umum Olimpiade. Apalagi AS datang dengan rombongan yang terbesar: hampir 900 orang, yang terdiri atas 639 atlet dan 169 ofisial. Target yang dipatok, merebut 50-60 medali emas. Kubu Rusia mengutus 520 olahragawan. Kendati lebih sedikit, para kamerad itu diharapkan mampu membawa pulang medali, yang tak jauh berbeda dengan ambisi AS, yaitu lebih dari 50 emas. Pertempuran sengit setidaknya terlihat pada cabang yang selama ini disebut sebagai "saripati" olah raga: atletik dan renang. Kedua cabang itulah yang memang menyediakan medali emas terbanyak. Atletik: 42 emas. dan renang: 38 emas. Dalam Olimpiade Los Angeles 1984, hanya pada kedua cabang itulah tercipta rekor dunia yang baru, renang 10 dan atletik 2. Sedangkan rekor Olimpiade yang diperbaiki, atletik 15, renang 9, dan angkat besi 1. Lalu rekor apa lagi yang akan dipecahkan di Seoul nanti? Mungkinkah rekor-rekor "abadi" seperti lompatan Bob Beamon sejauh 8,90 m (diciptakan di Olimpiade Meksiko 1%8) dalam cabang lompat jauh akan dilampaui? Atau kecepatan Ben Johnson dalam lari 100 m dengan catatan fantastis 9.83 detik (diukir di Roma 1987) akan dipatahkan? Entahlah. Namun, yang pasti atletik memang olah raga yang penuh pesona. Berbagai kejutan mungkin saja terjadi. Dan di cabang ini pula Amerika dan Uni Soviet mempertaruhkan prestise bangsa. AS tampaknya akan lebih banyak berperan di nomor lintasan (track). Sedangkan Soviet bakal merajalela di nomor lapangan (field) -- tentu saja harus diperhitungkan pelari-pelari Afrika untuk nomor lintasan jarak jauh. Andalan Amerika, siapa lagi kalau bukan Carl Lewis. Bujangan berusia 27 tahun ini di Olimpiade Los Angeles 1984 lalu mencetak prestasi spektakuler. Ia merebut 4 medali emas dari nomor lari 100 m, 200 m lompat jauh, dan estafet 4 x 100 meter. Suatu prestasi yang hanya bisa dilakukan oleh mendiang Jesse Owens di Olimpiade 1936 Berlin dan Alvin Kranzlein di Olimpiade 1900 Paris. Mungkinkah Lewis mengulang kembali kehebatannya itu? "Saya tidak terlalu memikirkan harus merebut 4 medali emas di Seonl. Yang penting, saya mendapatkan satu saja di antaranya," tuturnya merendah. Setidaknya, dia memang mengincar nomor paling bergengsi, 100 m. Selama ini belum ada pelari yang mampu memenangkan nomor itu dalam dua olimpiade. Penantangnya yang sanggup mematahkan ambisinya adalah pemegang rekor dunia Ben Johnson dari Kanada. Dialah satu-satunya pelari yang mampu mengalahkan Lewis dalam percaturan elite pelari jarak pendek. Di kelompok putri, AS menaruh harapan pada duet sprinter Evelyn Ashford dan Florence Griffith Joyner. Kedua pelari cewek ini sama-sama tangguh di nomor 100 m dan 200 m. Teristimewa Florence Griffith. Dia kini memegang predikat ce wek tercepat di dunia. Ia mengukir rekor dunia 100 m dengan catatan 10.61 detik Juli lalu di Indianapolis. Penampilan cewek hitam manis ini memang memikat. Penonton akan mudah menandainya. Ia selalu berlomba dengan menggunakan celana panjang ketat yang hanya berkaki sebelah. Sedangkan tungkai kaki kirinya yang mulus dibiarkan telanjang. Wajahnya bahkan dipoles dengan make-up yang mencolok. Sementara itu, kukunya dibiarkan memanjang. "Penampilan seperti ini membuat saya lebih percaya diri," kata Florence sembari menebar senyumnya yang seksi itu. Di nomor lari jarak pendek ini, pelari-pelari Jer-Tim akan menjadi kerikil tajam buat Florence dan kawan-kawan. Di antaranya adalah Silke Gladisch dan Heike Dreschler. Pelari terakhir ini pemegang rekor dunia 200 m dengan catatan waktu 21.99 detik. Heike Dreschler memang seorang atlet serba bisa. Ia pernah mematok rekor dunia lompat jauh (7,45 m) -- sebelum dipatahkan Juni lalu oleh atlet Soviet Chistyakova. Di Seoul nanti ia akan turun di nomor lompat jauh dan lari gawang. Sementara itu, atlet Soviet akan berjaya di nomor-nomor lapangan. Di nomor lompat galah hanya ada satu nama yang berada di awang-awang: Sergei Bubka. Dialah satu-satunva atlet yang berulang-ulang mampu melompat setinggi lebih dari 6 meter. Bulan lalu, kamerad Bubka sudah mematok rekor dunia dengan lompatan 6,06 m. "Ini bukan rekor saya yang terbaik," katanya. Ia berambisi menggapai ketinggian 6,20 m. Pemuda asal Ukrania itu dalam usia 19 tahun sudah menjadi juara dunia. Empat tahun terakhir ia mampu membukukan 9 rekor dunia berturut-turut. Rekor terbaik saingannya masih sekitar 10 cm di bawah lompatannya. Dan seterunya yang serius hanya teman senegaranya, Rodion Gataulin. Cewek-cewek Soviet malah lebih meyakinkan. Rekor dunia lompat jauh masih dikangkangi oleh Chistyakova, 26 tahun, yang mencatat lompatan sejauh 7,52 m. Atlet tolak peluru bertubuh kekar, Lisovskaya, masih terlalu perkasa. Rekor dunia atas namanya (22,63 m) masih sulit terpatahkan. Di kolam renang, persaingan antara anak-anak Reagan dan Gorbachev semakin basah. Amerika lebih mengandalkan pada nomor sprint dan loncat indah. Sedangkan Soviet di nomor jarak menengah dan jauh. Seorang calon bintang, Matt Biondi, akan diturunkan di 7 nomor membela panji AS. Dialah yang kini disebut-sebut sebagai reinkarnasi dari Mark Spitz -- perenang AS yang berhasil mengumpulkan 7 medali emas di Olimpiade Muenchen 1972. Saingannya adalah Michael "Albatros" Gross dari Jerman Barat. Kedua perenang itu akan bertarung di nomor 200 meter gaya bebas. Di bagian putri, AS menaruh harapan pada perenang muda Janet Evans. Cewek berusia 16 tahun itu memegang dua rekor dunia: 400 m dan 1.500 m gaya bebas. Ia akan ditemani Tami Bruce, Jenna Johnsson, Kara McGarth, dan Mary Meagher. Ancaman terhadap supremasi Janet dan kawan-kawan tampaknya datang dari Jerman Timur, yang diperkuat para pemegang rekor dunia seperti Kristin Otto (100 m gaya bebas), Silke Horner (100 m gaya dada), Anke Mohring (800 m gaya bebas), dan Heike Friedrich (400 m gaya bebas). Tapi penggemar olah raga akan kehilangan sejumlah atlet kelas dunia yang absen di Seoul nanti. Di antaranya seorang bintang muda asal Kuba, Javier Sotomayor. Kamis pekan lalu secara tak diduga ia memecahkan rekor dunia lompat tinggi, 2,43 meter, di Salamanca, Spanyol. Pemuda berusia 20 tahun itu mematahkan rekor sebelumnya, 2,42 m, yang dipegang Patrick Sjoeberg dari Swedia. Tentu saja Sotomayor tak akan bisa pergi ke Seoul dan untuk bertarung dengan Sjoeberg, mengingat negerinya memboikot Olimpiade Seoul. Dua pelari jarak menengah nomor wahid dari Inggris, Sebastian Coe (800 m dan 1.500 m) dan Zola Budd (1.500 m dan 3.000 m), juga terpaksa absen. Coe -- pemenang dua medali emas Olimpiade 1980 dan 1984 -- gagal ke Seoul karena tersisih dalam seleksi atlet di negerinya. Sedangkan Zola harus memendam keinginannya bertanding di Olimpiade tahun ini karena akibat kontroversi seputar dirinya, ia akhirnya memilih mengundurkan diri. Kekosongan ini toh bisa dihibur dengan hadirnya sejumlah atlet Afrika yang memang tangguh di nomor-nomor lari. Seperti tampilnya pelari asal Maroko Said Aouita. Pemegang medali emas 5.000 m di Olimpiade Los Angeles 1984 itu di Seoul nanti akan turun di nomor 800 m dan 1.500 m. Dia akan disaingi oleh juara dunia 800 m Billy Konchellah dari Kenya dan juara dunia 1.500 m Abdi Bile dari Somalia. Cina juga tak bisa dianggap enteng di kolam renang. Mereka memiliki sejumlah perenang kelas dunia. Tantangan dari Cina ini memang serius, khususnya di nomor loncat indah. Apalagi buat Amerika, yang sempat berjaya di Olimpiade Los Angeles 1984 dengan merebut 8 emas dari 12 medali yang disediakan. Di Seoul nanti sulit bagi para peloncat indah AS mengulang prestasinya itu. Soalnya, jagoan AS Greg Louganis, 28 tahun -- pemegang dua emas Olimpiade Los Angeles 1984 -- pernah dipermalukan dua kali oleh Tan Liangde, 22 tahun. Padahal, Tan justru belajar banyak dari Greg sejak 10 tahun yang lalu. Pelatih Xu Yiming membuatkan video gerakan peloncat indah AS itu dan kemudian dipelajari dengan tekun oleh si kecil Tan, yang ketika itu masih berusia 12 tahun. Siapa nyana kalau sepuluh tahun kemudian sang murid justru mengalahkan sang guru. Untuk sementara ini, sebagian besar negara Asia -- kecuali Cina, Jepang, dan Kor-Sel -- tampaknya cuma sekadar menjadikan olimpiade sebagai tempat mencari pengalaman. Trio negara Asia itu menaruh harapan pada cabang-cabang tradislonal Asia seperti: judo, tenis meja, senam, dan gulat di kelas-kelas bawah. Bagaimana dengan kans Indonesia? Para atlet Indonesia, 29 orang, tak dibebani target apa-apa, kecuali mencari pengalaman, dan kalau bisa memecahkan rekor nasional. Apa boleh buat, di Olimpiade Seoul nanti, peran Indonesia agaknya memang baru berpartisipasi, belum ikut mencetak prestasi (dunia). Ahmed Kurnia Soeriawidjaja
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini