BULAN purnama perlahan memanjat langit di pantai Lampon, Banyuwangi, Jawa Timur. Penduduk melek sepanjang malam, menyiapkan upacara Petik Laut untuk esok paginya. Orang bilang, waktu itulah juga Nyai Roro Kidul masih tergolek santai di atas peraduan berlapis beludru, nun jauh di dasar laut sana. Dikepung para abdi dalem yang melayaninya tanpa suara. Laut pun membisu. Gelombang sepi. Siapakah Nyai? Ia tersohor sebagai peri yang cantik, kenes, amat menggiurkan, tetapi juga adikuasa dan berbahaya. Hanya dengan satu kata: cekek, Nyai dapat membunuh siapa saja yang dianggap semborono atau kurang ajar di Laut Kidul. Termasuk mereka yang lupa menyediakan sesaji, memakai baju hijau, membuang air kecil sembarangan, atau pacaran seenaknya. Kalau ia sampai murka, tak ayal lagi badai akan menyapu pantai. Tetapi sebaliknya bila dihormati, ia bisa jadi tempat meminta rezeki. Memberi kode KSOB, mengentengkan jodoh, atau menaikkan pangkat. Bahkan, kata orang, jika kegemarannya kambuh, ia pun suka cari daun muda. Nyai "ditaksir" berusia di bawah 30 tahun. Ya, mungkin tak jauh dari apa yang digambarkan oleh pelukis Basoeki Abdullah. Hidup di pantai selatan Pulau Jawa. Apakah ia sama dengan Putri Tujuh yang dikenal di Riau -- masih perlu dilacak. Di sana semua sopir yang melewati jembatan Dumai diharuskan membunyikan klakson kalau ingin selamat. Menurut legenda, putri berambut panjang yang kini menghuni jembatan itu berasal dari hulu Sungai Kampar. Dr. Tabrani Rab, Ketua Lembaga Adat Riau, meskipun tak pernah melihat sendiri, mengaku pada TEMPO bahwa dia selalu patuh membunyikan klaksonnya bila melintas jembatan tersebut. Orang Melayu Deli dan masyarakat Karo di kawasan Deli Tua pun mengenal tokoh serupa bemama Putri Hijau. Diperkirakan, wanita itu kini menghuni dasar laut Selat Malaka atau di sekitar Pulau Berhala, Sumatera Utara, setidak-tidaknya mungkin juga di perairan Jambu Aye, Aceh Utara. Tapi tak seperti Nyai Roro Kidul, Putri Hijau hanya tinggal cerita mati. Masyarakat sudah memberi bingkai yang jelas, sehingga putri itu tak mampu menerobos ke dalam kehidupan sehari-hari seperti yang terjadi di pantai Lampon, Banyuwangi itu. Di Desa Pesanggaran, Lampon -- berpenduduk 367 jiwa atau 103 kepala keluarga, letaknya hanya 68 kilometer dari Kota Banyuwangi, tepat di sebuah teluk yang dikelilingi bukit-bukit "kekuasaan" Nyai Roro Kidul nyata. Lampon memberinya gelar: Mbok Ratu Mas, dan secara teratur mereka menyerahkan persembahan. Antara lain menyelenggarakan upacara Petik Laut. Dilaksanakan pada awal tahun Wawu -- nama tahun dalam kalender Jawa, yang berarti 1921 setiap tanggal 1 Suro. Tahun ini jatuh pada tanggal 14 Agustus 1988 yang lalu. Petik Laut merupakan sebuah prosesi bertahap. Mula-mula diadakan rembukan desa untuk menunjuk dua orang Engki -- semacam dukun yang bertugas menemui Mbok Ratu Mas. Mereka menjadi mediator antara penduduk dan Sang Ratu. Biasanya, seorang Engki adalah sesepuh yang dianggap pintar, punya ngelmu, dan berpengalaman menghadapi makhluk-makhluk gaib. Nanti, ketika bertemu dengan Nyai atau utusannya, Engki menanyakan segala sesuatu yang diperlukan dalam upacara. Satu Suro tahun ini, Supardi, 60 tahun, dan Matkardi, 65 tahun, kembali menjadi Engki. Tahun-tahun sebelumnya, dan entah sudah berapa kali, mereka mengemban tugas serupa. Karena Si Roro tergolong makhluk gaib, keduanya harus bertapa di gua peninggalan Jepang, dikaki bukit setinggi 25 meter, masih di teluk Lampon. Tiga hari tiga malam mereka bersemadi. Pada hari ketiga, menurut Supardi, muncul makhluk-makhluk halus dalam berbagai bentuk. Waktu itu, keadaan Supardi dan Matkardi setengah "teler". Tiba-tiba mereka melihat makhluk raksasa. Wujudnya sih, mirip manusia, tapi gayanya sungguh menggetarkan. Itulah utusan Mbok Ratu Mas. "Saking gedenya, ia bisa menyeberangi Sungai Sinu Gonggon hanya dengan satu langkah," kata Supardi pada Eddy Roesdiono dari TEMPO. (Catatan: mata Supardi mendelik saking semangatnya berbicara). Makhluk itu mengatakan bahwa Petik Laut harus dilengkapi 40 jenis barang. Antara lain sisir, tikar, cermin, entong -- alat pengeduk nasi bantal, cobek, dandang, kipas, cangkul, dan lain-lain. Lupa disebutkan apakah dalam daftar itu ada lipstick, parfum, atau perlengkapan ke disko. Benda-benda itu nantinya harus ditempatkan dalam perahu berukuruan 200 x 60 sentimeter, lalu "dilarung" -- dihanyutkan ke laut. Khusus diingatkan, jangan sampai lupa menyediakan empat paket sesaji di empat penjuru dusun. Setiap paket berisi jenang merah putih sejenis bubur sumsum dari beras -- ayam panggang utuh, dan seekor ayam hidup. " Itu saja pesan Nyai. Awas, jangan salah!" kata si makhluk halus, kemudian raib -- seperti diceritakan Supardi. Selesai menerima wangsit, Supardi dan Matkardi bergegas menemui penduduk. Rakyat segera sibuk menyiapkan apa yang diminta Nyai. Tanggal 1 Suro, saat matahari naik sepenggalah, penduduk Lampon berbondong menuju pantai dengan pakaian aneka warna. Sesaji sudah tercepak di empat penjuru kampung. Sampan kecil plus 40 jenis barang telah siap dilarung. Sementara, 70 perahu jongkong siap-siap mengawalnya hingga 2 kilometer ke tengah. Japa mantra dan harapan-harapan dikumandangkan dengan ekspresi memelas. Tak ketinggalan gamelan ditabuh agar suasana tambah marak. Malamnya, wayang kulit ditancap sampai pagi. Tanda-tanda Nyai Roro Kidul menerima persembahan adalah bila prosesinya lancar tanpa rintangan. Celakalah jika permintaan barang tak lengkap atau salah. Nyai bakal murka, lantas mengirim malapetaka. Lampon cukup bangga karena selama ini Petik Laut berlangsung tokcer. Selama upacara berlangsung, penduduk percaya bahwa Nyai Roro Kidul bangkit bersama anak buahnya, jalan-jalan di permukaan laut. Kalau perlu, menyamar di antara manusia, menonton pertunjukan wayang, sambil melirik mencari jejaka ganteng. Begitulah penghormatan nelayan Lampon pada Sang Ratu. Padahal, khasiatnya belum tentu mendatangkan berkah. Bahkan sudah ada yang berani menuduh Petik Laut hanya adat menabur uang sia-sia. "Kadang ada yang menyesali penyelenggaraannya," kata Legiman, seorang hansip di Lampon. Toh Mitos Nyai Roro Kidul beserta tata cara menghormatinya tetap dilaksanakan turun-temurun, dari tahun ke tahun. "Bagi kami, Nyai Roro Kidul adalah sumber sandang pangan. Dia memberi keselamatan dan rezeki," ujar Supardi. "Meninggalkannya berarti mengundang bencana. Ikan tangkapan akan menyusut. Ombak besar bakal menghantam," ujarnya lagi, dengan nada cemas. Di sepanjang pantai selatan Pulau Jawa berserakan upacara yang mirip Petik Laut. Di pantai Popoh, Trenggalek, Jawa Timur, misalnya, upacara serupa dilakukan tiap tahun. Begitu pula di Pelabuhan Ratu, Sukabumi, pantai Cilacap, dan lain-lain. Kerabat Mangkunegaran Solo, Kasultanan Ngayogyakarta. Kasunanan Surakarta, dan Pakualaman punya tradisi Labuhan di pantai Parang Kusumo, tak jauh dari Parang Tritis. Nampaknya, mitos Nyai Roro Kidul sampai kini tetap dalam menancap di masyarakat Jawa. Menurut Tengku Lukman Sinar -- ahli sejarah Melayu -- sebelum Perang Dunia II, Putri Tujuh juga dianggap sakral oleh masyarakat setempat. Hampir tiap tahun orang mengadakan upacara Jamu Laut. Waktu itu juga diharamkan mementaskan tonil tentang Putri Hijau, karena beberapa kejadian mencatat ada angin besar setelah pertunjukan berlangsung. Kini pamornya telah hilang, antara lain lantaran agama Islam mengharamkan pemujaan terhadap hal-hal seperti itu. Priyono B. Sumbogo, Eddy Roediono, Irwan E. Siregar, Mukhlizardy Mukhtar
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini