Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Grand Slam, Setelah Itu Seoul

Steffi graf mengalahkan gabriela sabatini di turnamen as terbuka. steffi berhak menjadi juara grand slam & menjadi orang ke-5 yang mampu mencetak prestasi itu. berharap meraih emas di olimpiade seoul.

17 September 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PETER Graf yakin bahwa suatu saat anak gadisnya akan menjadi kampiun tenis. Padahal, ketika itu si anak belum lagi genap berusia empat tahun. Namun, sang ayah sudah melihat bakat pada buah hatinya yang tampak sudah menggebu-gebu ingin bermain tenis. Bahkan dalam usianya yang masih kencur itu ia mampu memegang raket dengan baik dan memukul bola tenis dengan kencangnya. "Tangannya lebih kuat dari anak laki-laki seusia 7 tahun," kata Peter. Lima belas tahun kemudian, apa yang diimpikan Graf itu menjadi kenyataan. Steffi, begitulah nama anak gadisnya yang kini berusia 19 tahun, Sabtu pekan lalu membuat sejarah. Ia memenangkan turnamen AS Terbuka setelah di final menghantam musuh bebuyutannya Gabriela Sabatini dari Argentina, 6-3, 3-6, dan 6-1. Kemenangannya itu membuat ia berhak atas gelar yang diidam-idamkan setiap petenis mana pun di dunia, yakni menjadi juara Grand Slam -- memenangkan empat turnamen paling bergengsi: Australia Terbuka, Prancis Terbuka, Wimbledon, dan AS Terbuka berturut-turut dalam satu tahun kalender. Memang tak semua pemain -- bahkan Bjorn Borg, John McEnroe, Jimmy Connors, Martina Navratilova Chris Evert, atau Billie Jean King, dan, banyak lagi kampiun tenis lainnya mampu menyamai prestasi yang diukir cewek kelahiran Kota Bruehl, Jerman Barat, ini. Sebelum ini hanya ada empat pemain legendaris yang pernah menjadi juara Grand Slam, yaitu Don Budge (1938), Maureen Connoly (1953), Rod Laver (1962 dan 1969), dan yang terakhir Margaret Court (1970) -- ketika itu Steffi masih orok berusia 1 tahun. Lebih dari 21.000 penonton yang menjejali National Tennis Center di New York menjadi saksi mata sebuah peristiwa yang langka itu. Sabatini, yang lebih muda setahun dari lawannya, sempat memberikan perlawanan dengan melancarkan pukulan-pukulan top spin ke garis belakang ketika merebut set kedua. Namun, memasuki set ketiga, si jelita yang berambut hitam itu kedodoran menghadapi Steffi yang semakin menggila dengan senjata forehand-nya yang terkenal sangat keras. Pertandingan final ini juga sekaligus menandai suatu alih generasi dalam dunia tenis. Hampir dua dekade belakangan Martina Navratilova, 31 tahun, dan Chris Evert, 33 tahun, telah malang melintang menguasi berbagai turnamen. Setelah 1 jam 42 menit, berakhir sudah duel antara dua remaja ting-ting itu untuk kemenangan Steffi. Penonton bersorak. Sebuah momen yang historis telah terjadi. Tapi gadis berhidung mancung dengan rambut model buntut kuda itu dingin-dingin saja menyambut kemenangannya. Ia hanya mengepalkan tinju kanannya, lalu berlari-lari kecil ke arah net dan menyalami Sabatini. Setelah itu ia menghampiri wasit lalu menaruh raketnya. Tiba-tiba ia berlari menghampiri penonton. Di situ telah menanti kedua orangtuanya, Peter dan Heidi Graf, adik laki-laki Michael Graf, dan pelatihnya, Pavel Slozil. Mereka kemudian saling peluk merayakan sebuah impian yang kini menjadi kenyataan. "Sekarang tak ada lagi pertanyaan tentang Grand Slam. Saya sudah melakukannya," tutur gadis bermata biru itu. Sebagai juara AS Terbuka, Steffi mengantungi cek senilai US$ 275.000 -- bandingkan dengan hadiah yang diterima Margaret Court 18 tahun yang silam yang "cuma" US$ 7.500. Kocek gadis yang pemalu itu semakin kembung setelah sepanjang tahun ini ia menggaet hampir US$ 1,3 juta. Sedangkan seluruh uang yang dikumpulkan selama kariernya di tenis pro sudah mencapai US$ 3 juta. Gerak-gerik Steffi di lapangan mengingatkan pada gaya Margaret Court -- pemenang Grand Slam 1970. Ekspresi mereka sama-sama "dingin" di lapangan. Tak ada senyum yang tersungging. Konsentrasinya hanya tertuju pada bola. Margaret bahkan mengolok-olok dirinya dan juga Steffi dengan julukan "Poker Face" -- mimik yang serius bagaikan orang bermain judi Poker sedang mengintip kartu di tangan. Tipe permainan kedua pemain itu juga hampir serupa. Mereka mengembangkan permainan yang kini sudah dianggap old fashioned -- kuno. Yaitu berjaga-jaga di garis belakang sebagai pemain baseliner. Kalau memegang servis, kedua bola ikut digenggam. Suatu kebiasaan aneh dan tak lagi banyak dijumpai pada petenis dunia lainnya. Aba-aba bakal munculnya seorang ratu baru sebenarnya sudah ada sejak tahun lalu. Ketika itu Steffi secara tak terduga meraih gelar juara Prancis Terbuka setelah mengalahkan Martina. Ia menjadi juara termuda turnamen rangkaian Grand Slam dalam usia belum lagi genap 18 tahun. Maret lalu ia meroket menduduki peringkat pertama dunia menggeser supremasi Martina yang sudah bertahun-tahun duduk di takhta itu. Setelah kemenangannya di AS Terbuka itu, kini ia sah menyandang predikat sebagai petenis nomor wahid di dunia. Tahun ini Steffi sudah membukukan 60 kemenangan dan hanya kalah dua kali. Hanya Sabatini yang mampu menaklukkan cewek doyan disko itu. Di kelompok putra, sejarah lainnya juga dicatat oleh Mats Wilander yang menjadi juara di turnamen AS Terbuka 1988. Minggu pekan lalu, ia menyikat unggulan pertama dan juara bertahan tiga kali berturut-turut, Ivan Lendl, dengan skor ketat 6-4, 4-6, 6-3, 5-7, dan 6-4. Pertandingan yang berlangsung alot itu memakan waktu 4 jam 54 menit. Inilah pertandingan terlama sepanjang sejarah turnamen AS Terbuka. Pemuda berusia 24 tahun itu juga menjadi orang pertama sejak tahun 1974 yang dapat memenangkan tiga dari empat rangkaian turnamen Grand Slam dalam satu tahun kalender. Tahun ini ia juga juara di Australia Terbuka dan Prancis Terbuka tapi gagal di Wimbledon. Jagoan Swedia itu menyamai prestasi Jimmy Connors 14 tahun yang silam. Ketika itu si petenis kocak Connors merebut tiga gelar juara turnamen Grand Slam -- kecuali Prancis Terbuka. Apa rencanamu selanjutnya, Steffi? "Meraih emas di Olimpiade Seoul," jawabnya tegas. Suatu keinginan yang juga dimiliki Wilander dan petenis-petenis lainnya di dunia. Cabang tenis kembali masuk agenda Olimpiade setelah terakhir dimainkan di Olimpiade Paris 1924. AKS

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus