Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Membuka Jaring Untuk Papan Atas

Kasus penyelundupan 300 unit holden camira di surabaya yang sudah dibekukan beberapa tahun lalu, akan diusut kembali. langkah lain dan kejutan dari jaksa agung sukarton marmosudjono secara hati-hati.

17 September 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KASUS penyelundupan 300 unit Holden Camira, di Surabaya, yang selama ini telah "tutup buku", akan dibuka kembali. Itulah "kejutan" terbaru dari Jaksa Agung Sukarton Marmosudjono. Dalam rapat kerja dengan Komisi III DPR RI, Agustus lalu, Sukarton mengatakan kasus manipulasi bea masuk yang merugikan negara sekitar Rp 1 milyar akan diselesaikan hingga tuntas. Sukarton ternyata tak main-main. Senin pekan lalu, ia menurunkan Jaksa Agung Muda Bidang Pidana Khusus, Singgih, ke Surabaya, untuk mengarahkan tim yang akan menyidik kembali kasus mengebohkan itu. Keputusan Sukarton itu sangat menarik, karena selama ini kasus penyelundupan Holden Camira itu diisukan hanya mengorbankan "papan bawah", sementara "papan atas" lolos dari jerat hukum. Isu itu semakin "dipercaya" masyarakat, setelah seorang anggota tim penyidik, Jaksa Moh. Amien, mempraperadilankan intansinya, kejaksaan, yang dianggapnya telah "berselingkuh" dalam mengusut kasus itu. Kendati praperadilan Amien, yang kini sudah berhenti dari jaksa, itu ditolak pengadilan, toh Sukarton memperhatikan kasus itu. Untuk itu Sukarton membentuk tim baru yang diketuai Asisten Intel Kejaksaan Tinggi Jawa Timur, Emil D. Pamanan Itulah tim ketiga yang dibentuk kejaksaan untuk mengusut kasus itu sejak 1983. Adakah tim Emil akan mengungkapkan kasus itu sampai tuntas ke pelaku "papanatas"? "Semua bahan sedang dikumpulkan untuk bahan penyidikan. Kelanjutan kasus itu, ya, tergantung hasil penyidikan," ujar Singgih. Boleh jadi Singgih terlalu berhati-hati. Sebab, sebuah sumber TEMPO di Kejati Jawa Timur sudah menyebutkan sebuah nama "papan atas" yang akan duduk di persidangan nanti. Tersangka itu adalah Remiel Herald Eman, 36 tahun, Direktur Keuangan PT Indauda, distributor tunggal dan perakit mobil Holden Camira. Kalau nanti Remiel diadili, ia merupakan orang ketiga yang duduk di kursi terdakwa, setelah dua terdakwa "papan bawah", Purnomo, pegawai EMKL PT PIDC, dan Zulkarnaen dari EMKL PT Linatoni. Kedua orang itu, April 1985, divonis hakim masingmasing 4 tahun 8 bulan penjara. Sejak vonis itu pula kasus Camira "tutup buku". Tim penyidik yang diketuai I.D. Sunardi, ketika itu Asisten Intel Kejati Jawa Timur, berkesimpulan bahwa hanya kedua orang itulah yang benar-benar bisa disidangkan dalam kasus Camira. Artinya, penyidikan kasus itu telah dihentikan. Keputusan itu pula yang tak diterima oleh seorang anggota tim, Mohamad Amien, 43 tahun. Ia mengundurkan diri dari kejaksaan dan kemudian mempraperadilankan instansinya itu. Sebab, menurut Amien, instansinya itu telah mengorbankan "papan bawah" dan melindungi "papan atas", yang terdiri atas beberapa pejabat penting EMKL, Bea Cukai, importir, dan pemilik barang. Hanya saja "kenekatan" Amien itu tak diterima pengadilan. Ia dianggap tidak berhak mengajukan praperadilan. Sebab, Amien bukanlah pihak ketiga, yang berkepentingan dengan kasus itu. Padahal, gugatan Amien bukan tak beralasan. Pada 1983 pihak kejaksaan mencium "permainan" dalam impor 300 unit Holden Camira dalam keadaan terurai dan 300 unit AC dari pelabuhan Melbourne, Australia. Barang milik PT Multi Gemini Motor itu dimasukkan ke Surabaya, pada 16 November dan 3 Desember 1983, melalui importir PT Indauda. Remiel Herald Eman, selaku Direktur Keuangan PT Indauda, dengan bantuan EMKL PT PIDC dan PT Linatoni, berhasil mengurus inklaring (penyelesaian dokumen) dan pengeluaran barang. Bahkan putra bos PT Udatimex -- induk perusahaan Indauda -- itu bisa "memainkan" Pemberitahuan Pemasukan Barang untuk Dipakai (PPUD) atas Holden Camira itu, sehingga tanpa dilampiri "packing list" (daftar barang dalam peti). Jumlah barang di PPUD itu juga disulap, dari yang seharusnya 300 unit Holden Camira menjadi hanya 60 unit. Bahkan 300 unit AC lolos tak dicantumkan sama sekali. Akibatnya, negara dirugikan sekitar Rp 1,1 milyar. Hebatnya, Remiel, menurut sumber TEMPO, bisa memerintahkan anak buahnya mengeluarkan barang sebelum PPUD diurus. Padahal, lazimnya, barang baru bisa keluar satu atau dua minggu setelah PPUD diajukan -- dan semua syarat lengkap. Semuanya itu terjadi berkat "kemudahan" yang diberikan oknum Bea Cukai. Semua bea masuk, kata sumber itu, memang dibayar Remiel melalui EMKL. Tapi seharusnya ia meminta bukti pembayaran dari EMKL ke Bea Cukai berupa Register III -- sesuatu yang tidak pernah dilakukannya. Sebab itu, tim penyidik kejaksaan, akhir 1986, menyimpulkan ia terlibat dalam perkara itu. Remiel ketika ditemui TEMPO, Senin pekan ini, di rumahnya di kawasan Putat Indah Surabaya, tak banyak komentar atas tekad Sukarton itu. Ia sendiri tahu dari koran bahwa akan diajukan sebagai terdakwa. Tapi, baginya, itu belum pasti. "Dalam soal Camira, terlalu banyak versi," ujarnya. Remiel sudah dimutasikan ke PT Ionuda, juga anak perusahaan Udatimex, sejak kasus Camira terbongkar. Tapi bekas Jaksa Amien menganggap pengusutan terhadap Remiel itu bisa mengaburkan keterlibatan pemilik barang, Lunardi Wijaya, bos Multi Gemini Motor. Dalam pemeriksaan kejaksaan, kata Amien, Lunardi mengaku, dokumen impor barangnya dikeluarkan Panin Bank Cabang Surabaya 13 Desember 1983 dan 4 Januari 1984. Padahal, barang telah keluar dari gudang Bea Cukai 18 November dan 7 Desember 1983. Bagaimana mungkin "invoice" yang seharusnya dilampirkan pada PPUD untuk mengurus pengeluaran barang justru diterimanya setelah barang keluar dari gudang? Maka, katanya, tim penyidik, sekitarJanuari 1986, menganggap Lunardi, yang merintis usahaya dari dagang "bakpao" ini, memalsukan "invoice" barangnya. Lunardi Wijaya, 40 tahun, salah satu dari sepuluh eksekutif Jawa Timur 1986 itu, Senin pekan ini mengatakan ia tak tahu-menahu soal manipulasi Camira. "Perkara Remiel itu pun saya baca di koran. Coba you lihat, nama saya 'kan enggak disebut-sebut," kata bos Multi Gemini Motor itu. Jalil Hakim, Saiff Bkham, dan Toriq Hadad (Biro Surabaya)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus