Assalamualaikum lae kawom salleum kamoe bri, mubek meucaci lae kawom upat ngoen ceula. (Salam sejahtera buat Anda sekalian, umpat cacian dan cela sekali-kali jangan)* * Radat pembuka dalam dikir Rapa'ie Pase PEKAN Kebudayaan Aceh (PKA) ke-3, akhir Agustus silam, dibuka dengan menabuh Rapa'ie Pase yang menggelegar. Suara tetabuhan yang digantung dan mirip rebana besar itu bergaung keras di sanubari setiap putra Aceh. Utusan dari 10 daerah tingkat II di provinsi tersebut menampilkan khazanahnya dalam hampir 600 kali pertunjukan selama 11 hari. Diperkirakan, 1 juta orang mengunjungi arena Blang Padang, Banda Aceh. Bahkan ada rombongan kesenian dari Desa Pameue, di pedalaman Aceh engah, harus lebih dulu berjalan kaki dua hari dua malam menembus hutan belantara untuk bisa hadir ke sana, walau dengan biaya sendiri. Seperti juga masyarakat Aceh yang berdatangan dari rantau, mereka turut menyemarakkan peristiwa budaya seperti PKA-2, 16 tahun lalu itu. Aceh sekarang memang bukan rencong dan perang. Tapi kebanggaan pada riwayat panjang kepahlawanan, ragam bentuk pada kesenian daerahnya, merupakan daya pesona utama. Ini, misalnya, dapat disaksikan dalam pertunjukan tari Saman atau Bines alias "tangan seribu" dan Seudati, tampilnya geudeu-geudeu (gulat Aceh), juga di ruang pameran benda budaya. Aceh menatap kembali masa silam mereka yang berangsur tenggelam, tapi ingin pula menemukan kembali kebanggaan lama yang ternyata berangsur berubah. Dan ciri Islami masih mencuat di mana-mana, sementara arus deras komunikasi kian menimbulkan perubahan -- kendati belum tentu sepenuhnya disetujui banyak pewaris. Dan itu malah turut menggelitik suasana Seminar Temu Budaya Nusantara dan Daerah di PKA-3, yang meniupkan aba-aba agar "tetap menggunakan filter Islami" untuk menapis pengaruh luar -- dan justru disuarakan dengan lantang oleh kalangan generasi muda. "Banyak perubahan di Aceh selama Orde Baru. Diharap, melalui PKA-3 ini rakyat Aceh melihat perubahan besar yang terjadi," kata Gubernur Ibrahim Hasan. Daerah penghasil gas alam cair terbesar di dunia ini bahkan berbenah untuk menanggalkan baju usang. Tapi apa "baju baru" yang sedang dirajut sekarang pas dengan daerah Serambi Mekah itu? Jawaban tidak cuma didapat di tempat sebatas mimbar seminar. Mendengarkan omongan terbuka, akrab, dan lugas di meunasah (surau) yang bertebar di pelosok desa akan lebih bermanfaat, dan itu simpatik. Agaknya itu penting, daripada berapi-api membantah Profesor Snouck Hurgronje, yang dalam bukunya De Atjehers mencap "orang Aceh itu fanatik, eksklusif, dan tertutup". Anehnya, cap dari kolonial ini terasa hidup terus hingga sekarang. Padahal, pintu begitu gampang terbuka lebar bagi si tamu, hanya dengan ucapan assalamualaikum. Burhan Piliang & Bersihar Lubis
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini