Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Permata dari Belarus

Berbekal gelar juara Australia Terbuka, Victoria Azarenka jadi petenis perempuan nomor satu dunia. Hanya berselang satu tahun dengan rencananya mundur dari dunia tenis bayaran.

5 Maret 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

VICTORIA Azarenka terbangun dari tidur. Sepuluh detik pertama saat memulai harinya, perempuan 22 tahun ini seperti linglung. Ia tak tahu di mana. "Aneh," ujarnya lewat Twitter, Senin pekan lalu. "Tapi, begitu sadar ada di rumah, saya langsung senang."

Wajar jika petenis nomor satu dunia—prestasi yang baru dia sabet setelah menjuarai Australia Terbuka akhir Januari lalu—itu bungah. Pagi itu Azarenka berada di Minsk, kota yang paling ia cintai. Saking senangnya, dia terus "berkicau" dan mengunggah foto kegiatannya di sana. Mulai jalan-jalan di bawah salju yang mengguyur ibu kota Belarus tersebut sampai makan malam bersama neneknya.

Victoria Fiodorovna Azarenka lahir di Minsk pada 31 Juli 1989 dari pasangan Fedor dan Alla Azarenka. Sang ibu mengajak Vika—panggilannya—saat bekerja di sebuah klub tenis di kota berpenduduk dua juta jiwa tersebut. Bocah 7 tahun itu diberi raket untuk memantulkan bola ke tembok. Awalnya supaya Vika kecil tidak bosan, lama-lama Alla kesulitan mengajaknya pulang karena si bocah keranjingan bermain raket.

Vika mulai berlatih pada 1996. "Dia tak pernah takut menghadapi lawan yang lebih senior," kata Valyantsina Rzhanykh, pelatih pertamanya. Di luar jam latihan, dia menjadi tukang pungut bola saat petenis nasional Belarus, seperti Max Mirnyi dan Vladimir Volchkov, berlatih.

"Saya ingin seperti mereka," kata Vika. Fedor dan Alla mengirimnya ke Amerika Serikat supaya bisa berlatih lebih intensif dan memulai karier di kompetisi junior. Pada 2004, saat teman seusianya belajar dandan dan sibuk pacaran, Vika mendarat di Scottsdale, Arizona. Dia ditampung teman ibunya, Nikolai Khabibulin, pemain hoki es Rusia yang malang-melintang di National Hockey League.

Azarenka cuma perlu satu tahun untuk merambah panggung internasional. Dia menjuarai Australia Terbuka Junior pada 2005, juga Amerika Serikat Terbuka, yang menjadikannya orang Belarus pertama yang jadi juara dunia junior Federasi Tenis Internasional (ITF). Tahun berikutnya, dia menembus 100 besar Asosiasi Tenis Perempuan (WTA).

Vika masuk jajaran petenis elite setelah menjuarai turnamen pembuka musim 2009, Brisbane Internasional di Australia. Sukses itu dia lanjutkan dengan menjadi kampiun di Memphis, Amerika Serikat, setelah mengalahkan teman baiknya, Caroline Wozniacki, di final. Namanya sepadan dengan legenda seperti Steffi Graf, Monica Seles, dan Gabriela Sabatini, yang jadi juara single pada usia remaja.

Setelah menghuni 10 besar dunia sejak 2009, Vika mulai tersandung. Dia kalah beruntun pada empat turnamen awal musim 2011. Setelah ditekuk petenis Slovenia, Daniela Hantuchova, di Qatar Terbuka, akhir Februari lalu, dia mutung. "Saya kehilangan gairah," ujarnya. "Bermain tenis tak lagi menyenangkan."

Beruntung, sebelum benar-benar gantung raket, Alla menasihatinya. "Mungkin kamu kecapekan. Lebih baik pulang dan beristirahat," ujarnya. Vika pun meninggalkan rumahnya di Monte Karlo, Monako—tempat tinggalnya sejak tahun lalu—ke kota kelahirannya.

Benar saja, udara dingin Minsk—plus nasihat dari nenek—membuka matanya. "Saya mulai bisa menerima kekalahan." Dari kampung halaman, Vika kembali ke lapangan untuk mengikuti BNP Paribas Terbuka di Indian Wells, California, Amerika, awal Maret 2011. Pada bulan yang sama, dia menjuarai Sony Ericsson Terbuka di Miami, Amerika, setelah mengalahkan Maria Sharapova dari Rusia.

Vika memulai musim 2012 sebagai petenis nomor tiga dunia. Dibimbing pelatih Sam Sumyk, dia menjuarai turnamen pembuka, Apia Internasional di Sydney, Australia, dengan mengempaskan juara bertahan asal Cina, Li Na. Puncak kariernya—sejauh ini—tercapai di Australia Terbuka di Melbourne. Di lapangan keras, yang jadi kesukaannya, Vika mengandaskan empat lawan awal tanpa pernah kalah satu set pun. Di final, mengandalkan pukulan top spin, dia mengalahkan Sharapova dan merebut posisi pertama dunia. "Ini mimpi yang jadi kenyataan," kata pengayun raket Wilson itu. Azarenka jadi petenis pertama dari Belarus yang menjuarai grand slam.

Di podium, ia berterima kasih kepada semua orang. Mulai pelatih sampai tukang bersih-bersih. Termasuk sopirnya, yang bakal bertambah gemuk karena terus-menerus dia belikan donat. Penonton di Melbourne Park menyambut kampiun anyar itu dengan tepuk tangan panjang, meski sebelumnya sempat mencemooh lenguhannya yang kelewat keras. Maklum, seperti lebah yang terus mendengung di dekat serbuk bunga, ia melenguh hampir setiap satu setengah detik. Lenguhannya mencapai amplitudo 95 desibel, hanya sedikit di bawah lengkingan Sharapova, yang mencapai 101 desibel, atau 15 angka lagi akan menyamai raungan singa.

Kendati berisik dan doyan memprotes keputusan wasit, Vika tetap memperagakan permainan cantiknya. Setelah menjadi jawara di Australia, ia kemudian meraih trofi ketiga tahun ini di Qatar Terbuka di Doha, dua pekan lalu. Catatan pertandingannya musim ini tanpa cacat: 17 kali menang. Presiden WTA Stacey Allaster mengaku bangga melihat perkembangan Azarenka. "Dia menggabungkan bakat, ketekunan, dan determinasi untuk mencapai posisi ini," ujarnya.

Vika menikmati statusnya sebagai selebritas. Kecantikan khas Eropa Timur—rambut pirang yang panjang terurai, kulit seputih susu, dan mata hijau—membuat kamera sulit berpaling. Lekuk tubuhnya yang menjulang, 1,83 meter, menghiasi sampul majalah, termasuk majalah pria, FHM.

Hengkang dari Dubai, Azarenka tak langsung pulang ke Monte Karlo dan mendatangi dealer untuk membeli Ferrari California—senilai Rp 2 miliar—yang lama dia idamkan. Dia terbang ke New York untuk menghadiri peragaan busana. Ia juga tampil di talk show Ellen DeGeneres di Los Angeles. Vika lantas menonton pertandingan Lakers dan menyapa idolanya, Kobe Bryant.

Tapi hanya Minsk yang ada di hatinya. Cuma di sana Vika bisa curhat kepada neneknya—yang dia sebut orang paling optimistis sedunia—dan bermain dengan anjing Rottweiler kesayangannya, serta makan malam bareng keluarga besar. Bukan Amerika yang melambungkan namanya, juga bukan indahnya pantai dan kasino di Monako. "Rumahku hanya di Belarus," katanya.

Reza Maulana (Reuters, Belarus Digest, Star Tribune)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus