Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Buku, pesta, cinta.
Sudah empat pekan Melvin Hutabarat menghindari pesta. Bah, ia bahkan tak punya waktu lagi untuk nongkrong bersama kawan-kawannya di kantin Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia di Depok, Jawa Barat. Mahasiswa pascasarjana ini memilih tenggelam dalam tumpukan buku. "Saya harus cepat-cepat menyelesaikan tesis," ujarnya. "Saya tak mau kena aturan itu."
Melvin merujuk pada aturan baru mengenai syarat kelulusan sarjana strata 1 sampai strata 3. Dalam surat edaran Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan bertanggal 27 Januari 2012 disebutkan, untuk bisa lulus, setiap calon wajib menerbitkan tulisan atau artikel yang dipublikasikan di jurnal ilmiah.
Hal ini yang membuat Melvin ibarat dilecut. "Jangan sampai saya kena kewajiban itu," katanya. Padahal pegawai negeri Pemerintah Provinsi Jambi ini semula berencana mengajukan tesisnya pada Juni mendatang. "Kini saya ingin selesai pada akhir bulan ini," ujarnya pada akhir bulan lalu.
Ada banyak hal yang membuat Melvin keberatan dengan aturan baru itu. Tesisnya merupakan hasil investigasi dia tentang orang kuat di Jambi, sehingga hasilnya sebaiknya tak dipublikasikan. "Saya harus melindungi sahabat-sahabat yang jadi narasumbernya," kata dia.
Ia juga khawatir soal sedikitnya jumlah jurnal terakreditasi di Indonesia. Ia bahkan mengaku tak mengenal jurnal ilmu politik yang dipublikasikan secara nasional.
Hal yang sama membuat Septiawan Santana tak kalah waswas. Mahasiswa doktoral di Universitas Padjadjaran, Bandung, ini sudah terbiasa menulis. Ia telah menerbitkan tujuh buku bertema jurnalisme. Masalahnya, untuk memasukkan tulisan ke buletin ilmiah internasional butuh waktu lebih dari satu tahun.
"Padahal masa studi dibatasi beasiswa. Belum lagi kalau dosen promotor sibuk," kata dia. Dosen jurnalistik di Universitas Islam Bandung ini menilai kebijakan Kementerian Pendidikan itu tak memperhatikan kondisi riil dunia pendidikan. "Keputusan yang tergesa-gesa."
Ketua Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia Edy Suandi Hamid memperkirakan aturan Menteri Mohammad Nuh ini akan memicu gejolak, bisa seperti bah besar. "Para mahasiswa yang akan lulus bakal antre untuk memasukkan tulisannya ke jurnal," kata Edy, Rektor Universitas Islam Indonesia Yogyakarta.
Soalnya, rasio jumlah mahasiswa dan jumlah jurnal sangat jomplang. Saat ini jumlah mahasiswa di seluruh Indonesia sekitar 5,2 juta orang. Per tahun, lulusan strata 1 rata-rata 430 ribu, strata 2 ada 43 ribu, dan strata 3 sebanyak 1.765 orang. Padahal jumlah jurnal hanya sekitar 7.000 dan baru 201 jurnal yang terakreditasi. "Idenya tidak realistis," ujar Edy.
Soal itu juga menjadi sorotan anggota Dewan Perwakilan Rakyat. "Kementerian harus mengkaji ulang kebijakan tersebut, karena program ini perlu kesiapan infrastruktur dan mekanisme," ujar anggota Komisi Pendidikan Dewan Perwakilan Rakyat, Puti Guntur Soekarno.
Tempo menyambangi beberapa kantor jurnal ilmiah yang sudah mendapat akreditasi dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia disebutkan ada beberapa jurnal yang masuk daftar, tapi Tempo hanya berhasil menemukan kantor Medical Journal of Indonesia (MJI).
"Jumlah eksemplarnya kini 1.000, dari semula 2.000, karena jurnal ini sudah dipublikasikan di e-journal," kata Yudi Tarmizi. Menurut staf distribusi itu, MJI terbit pertama kali 21 tahun lalu. Menggunakan bahasa Inggris, MJI merupakan jurnal tiga bulanan. Tiap edisi memuat 10-13 artikel. "MJI terbitan terbaru volume 20 November 2011," kata Yudi.
Kantor buletin lainnya di Fakultas Kedokteran tertua di Indonesia itu, seperti Acta Medika Indonesiana, tak dapat ditemukan. Tempo dipingpong dari Fakultas Kedokteran ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta.
Di Medan sama saja. Buletin Info Kesehatan Masyarakat terbitan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara juga tak diketahui rimbanya. Tempo sempat menanyakan ke beberapa mahasiswa di sana, tapi tak ada yang mengenalnya. Titik terang diperoleh setelah pengasuhnya dapat dihubungi. "Kantor redaksinya memang berpindah-pindah," kata Kintoko Bochadi, anggota dewan penyunting Info Kesehatan Masyarakat.
Info Kesehatan Masyarakat, menurut Kintoko, terbit sejak 1996. Akreditasi Kementerian Pendidikan diperoleh pada 2005. Namun jurnal ini tak lagi terbit sejak 2008. "Kami berencana menerbitkannya kembali," ujarnya.
Buletin lainnya, SainTek, terbitan Institut Teknologi Medan, bernasib tak lebih baik. "Juli nanti terbit lagi," kata Mustafa, ketua dewan editor SainTek.
Di Kalimantan Timur, buletin Didaktika milik Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Mulawarman, Samarinda, juga sudah tutup dua tahun lalu. Terbit pertama pada Januari 2000, buletin empat bulanan ini hanya bertahan sepuluh tahun.
Kesulitan yang sama juga dialami buletin Rimba Kalimantan terbitan fakultas kehutanan di universitas yang sama. "Penyebabnya bukan soal dana," kata Lambang Subagiyo, ketua penyunting Didaktika. "Tapi karena tidak ada penyumbang tulisan."
Inilah yang mengganggu Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Bayangkan, ujar Menteri Pendidikan Mohammad Nuh, "Pada periode 1996 hingga 2010, Indonesia hanya menerbitkan 12.871 jurnal," kata dia. Padahal pada kurun yang sama Malaysia mempublikasikan 53 ribu jurnal, Thailand 58 ribu, dan Singapura 108 ribu.
Alhasil, di dunia, Indonesia cuma berada di peringkat ke-65. "Bahkan Kenya dan Bangladesh berada di posisi ke-63 dan ke-64," kata Nuh. "Kita pun jadi cemoohan di dunia akademik internasional," dia menekankan.
Masih ada alasan lain. Menurut Nuh, kewajiban menulis di buletin akan menekan plagiarisme. Pada saat yang sama, produk tulisan ilmiah itu bisa mempercepat pengembangan dunia keilmuan. "Kewajiban membuat jurnal akhirnya akan memaksa dunia akademik untuk memproduksi manusia dan karya ilmiah yang berkualitas."
Menurut Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Djoko Santoso, aturan itu juga bertujuan mengubah budaya tutur menjadi budaya tulis. "Tidak ada bangsa yang maju tanpa budaya menulis," kata dia. Ia yakin, aturan ini bisa mengubah kebiasaan malas menulis di dunia pendidikan akibat, "Orientasinya yang bukan akademis."
Ia mengakui jumlah jurnal untuk menampung tulisan calon sarjana masih terbatas. Tapi kantornya sudah punya solusi, yakni membuat jurnal online atau e-journal. Direktorat Jenderal, ujarnya, siap membantu dan memberi fasilitas kepada kampus yang ingin membuat jurnal online. "Kami harus berani memulai," ujar mantan Rektor Institut Teknologi Bandung ini.
Namun, ia menolak gagasan agar perguruan tinggi membuat jurnal online sendiri untuk tempat menerbitkan tulisan mahasiswanya. "Itu seperti masturbasi akademik," ujarnya.
Djoko mengatakan, mahasiswa yang menulis sendiri skripsi atau tesisnya tak akan kesulitan membuat artikel ilmiah. Soalnya, isinya bisa disarikan dari tugas akhir tersebut. Karena itu ia tak ambil pusing atas penolakan para mahasiswa hingga petinggi kampus. "Seleksi alam akan menyaring lulusan kampus yang memang punya kemampuan menulis," kata dia. "Kalau mahasiswa tidak setuju, ya sudah tidak usah jadi sarjana," ujarnya.
Toh, belakangan Kementerian Pendidikan sedikit melunak. Menteri Nuh menyatakan, kewajiban membuat tulisan di jurnal lebih merupakan dorongan untuk meningkatkan tradisi ilmiah di perguruan tinggi. Ia juga mengatakan tid ak ada sanksi bagi mahasiswa yang tak menulis jurnal. Rupanya, Menteri Nuh cuma membikin bah kecil.
Tito Sianipar,Angga Sukma (Jakarta), Soetana Monang (Medan), Firman Hidayat (Samarinda)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo