TINGGAL sepekan lagi kompetisi berbagai tingkat Divisi Persija periode 1985/1986 dimulai. Tapi, sampai Jumat pekan lalu, para pengurus klub dan perserikatan di lima wilayah DKI belum sibuk menyiapkan kejuaraan yang diadakan setiap tahun sekali itu. Suasana lesu masih terasa, setelah kegagalan tragis tim Jakarta: terkena degradasi dalam Kejuaraan Divisi Utama PSSI, yang baru berakhir dua minggu lalu. Wajah-wajah murung dan tak bersemangat terutama terlihat di kubu Persija Pusat, perserikatan yang mewakili Jakarta di kejuaraan yang diikuti 12 perserikatan itu. Tampil sebagal Juara ketika pertama kali kompetisi ini diadakan, 1931, di Solo, Persija selama ini berhasil muncul pada kedudukan pertama paling banyak (sembilan kali). Tapi pada keJuaraan kah inl, mereka untuk pertama kali tak hanya tersisih dari enam besar, tapi juga terlempar dari tempat terhormat di Divisi Utama ke Divisi I. Itulah sebabnya tak kurang dari Todung Barita Lumbanraja, anak Siantar yang baru tiga bulan jadi ketua umum Persija Pusat itu, mengakui bahwa hasil kali ini amat mengecewakan dia dan juga warga Jakarta. Sejak berdiri dengan nama VIJ (Voetbalbond Indonesia Jacarta) pada 1928, boleh dikatakan, Persija selalu berada di 10 besar kesebelasan terkuat. Bahkan dengan materi pemain M. Saelan, Djamiat Dalhar, Kwee Kiat Sek, Tan Liong Houw, pada tahun 50an, Persija adalah salah satu bond yang menjadi tulang punggung tim nasional Indonesia dalam pertandingan di dalam dan luar negeri. Keadaan ini diulangi Persija pada tahun 70an, ketika masih memiliki pemain seperti Iswadi Idris, Oyong Liza, dan Risdianto. Dengan materi pemain itu, sepanjang tahun 1970-an itu, Persija berhasil menjuarai empat kali Kejuaraan PSSI. Yakni pada 1973,1975 (juara kembar bersama PSMS Medan), 1977, dan 1979. Prestasi itu, rupanya, kini tinggal kenangan. Tampil dengan materi pemain yang sebagian besar (sedikitnya delapan pemain) berasal dari wadah setengah bayaran Galatama, bond kota metropolitan ini sepanjang Kompetisi PSSI yang baru lalu terus-terusan jadi pecundang. Persija cuma sekali menang lawan Padang, selebihnya kalau tak seri, ya, kalah. Terakhir, setelah tersisih dari enam besar di Jakarta, pada pertandingan di Semarang, tim Ibu Kota ini - yang kalah 3--6 dari Persiraja, Banda Aceh - bersama Persema Malang, resmi terlempar ke Divisi I. Kedua tim ini, dengan begitu, harus berjuang dari bawah untuk bisa tampil lagi ke Divisi Utama bersama lebih 300 klub perserikatan. Proses untuk itu sangat panjang. Sebab, selain harus merayap di tingkat rayon, mereka kemudian harus unggul di tingkat zone. Jakarta, misalnya, ada di zone i2 bersama empat perserikatan dari Kalimantan (Timur, Barat, Utara, dan Selatan). Juara zone ini kemudian diadu dengan juara zone lain dalam pertandingan antarzone. PSSI membagi Divisi I dalam 18 zone, yang masing-masing sedikitnya akan terdiri dari lima perserikatan. Juara dan runner up pertandingan antarzone inilah yang nantinya bisa bertanding dalam Kejuaraan 12 Besar PSSI. Tahun lalu, tempat ini direbut Perseman Manokwari dan PS Bengkulu. Mereka, dengan demikian, menggeser kedudukan Persija dan Persema. Artinya, Persija, menurut Pelatih Yuswardi, di Divisi I nanti paling sedikit harus melakukan 30 pertandingan. Mereka, kata Todung, apa boleh buat, "Memang harus ikut bertanding masuk kampung keluar kampung." Tapi, kenapa Persija bisa mengalami nasib setragis itu? Menurut Todung, karena banyak krisis. Antara lain, krisis pemain. "Sulit mencari pemain dari 150 klub yang ada di DKI yang berkualitas baik dan bersemangat kuat seperti yang dimiliki perserikatan lain," ujar Todung. Bahkan, khusus tentang semangat bertanding, dia mengatakan, "Ini soal lama bagi Persija, karena pemain tak punya fanatisme pada daerahnya ketika bertanding." Dalam posisi sulit itulah, menurut pengakuan Todung, ia harus membawa Persija ke Kejuaraan PSSI. Dengan bantuan Pelatih Yuswardi dan Yopie Timesela, ia kemudian memutuskan memakai sisa pemain eks Galatama, yang dalam penilaian mereka, "Kualitas keterampilan tekniknya di atas pemain-pemain perserikatan." Antara lain Yopie Noya, Hadi Ismanto, dan Didiek Darmadi. Tapi, langkah ini rupanya sia-sia. Salah satu penyebabnya adalah persiapan menggabungkan sebagian besar pemain Galatama tadi dengan pemain perserikatan terlalu singkat hanya sekitar dua bulan. "Kerja sama antar pemain tak jalan. Koordinasi di lapangan jadi susah. Kalau keadaan sudah begitu, sekalipun yang main pemain kaliber dunia, pasti tak bakal menang," ujar Yopie Noya, kapten Persija. HAL ini tidak dibantah Pelatih Yuswardi, 38. "Persija memang kurang siap dalam membuat tim," katanya. Maksudnya, kendati hampir rata-rata pemain memiliki keterampilan teknis yang baik, mereka kurang lama digodok dalam latihan bersama. Akibatnya, mereka ibarat pasukan yang tak siap berperang. Apalagi, Yuswardi mengakui terus-terang, mereka tak didukung oleh semangat kedaerahan yang telah mengobarkan semangat bertanding tim-tim lainnya. Berbagai usaha dicoba untuk mengobarkan semangat bertanding tim Jakarta itu. Di Semarang, misalnya, menurut Yuswardi, dijanjikan bonus berupa uang bila Persija menang. Ternyata, iming-iming duit itu, seperti diakui Todung, tak cukup manjur untuk membangkitkan semangat bertanding mereka. Persija tetap kalah. "Sehingga sekarang saya hampir yakin, jangankan fanatisme daerah fanatisme klub pun mungkin tak dimiliki pemain-pemain Galatama," katanya. Terbukti bahwa uang memang bukan segala-galanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini