KALI ini giliran polisi lalu lintas yang diajukan ke praperadilan. Polantas Ujungpandang terpaksa diadili karena dianggap telah menghentikan penyidikan terhadap suatu kecelakaan lalu lintas. Padahal, akibat kecelakaan itu, menurut pemohon praperadilan, Nyonya Djunaedah, ia kehilangan suaminya, M. Alwi Zainuddin. Nasib nahas menimpa Alwi, 25, ketika berangkat ke tempat kerjanya di PT Tempo, Ujungpandang, 14 Agustus tahun lalu. Sepeda motor yang dikendarai ayah dua orang anak itu bertabrakan dengan sebuah mobil jip Jimny. Dalam keadaan luka parah, korban diangkut ke rumah sakit. Tapi empat jam kemudian Alwi meninggal dunia. Keluarga Almarhum, Nyonya Djunaedah, selama lima bulan menunggu-nunggu pengendara jip, M. Natsir, 24, mahasiswa salah satu perguruan tinggi di kota itu, diadili. Tapi berita yang diterimanya kemudian, 22 Januari 1985, justru sebaliknya. Polisi dengan resmi menghentikan penyidikan atas perkara itu. Melalui kuasanya, M. Ilyas Amin, dari LBH kota itu, Djunaedah menuntut polisi kc praperadilan. Akibatnya, Kamis pekan lalu, lalu lintas Kota Ujungpandang macet. Selain lampu lalu lintas kebetulan mati, juga karena hampir semua polantas di kota itu membanjiri ruangan sidang. Bahkan sebuah karung bekas terigu penuh untuk menampung pistol-pistol yang dibawa Polantas karena ke sidang dilarang membawa senjata api. Di persidangan, Djunaedah ternyata kalah "pintar" melawan polisi. Sebab, menurut kuasa polisi, Letnan Dua Pardjo, dalam kasus itu yang menjadi tersangka bukanlah Natsir, melainkan Almarhum Alwi. Alasan Pardjo, dari pemeriksaan ternyata bahwa Almarhumlah yang menabrak jip, bukan sebaliknya. Apalagi, kata Pardjo, Alwi ternyata tidak mempunyai SIM ketika mengendarai sepeda motor itu. Karena tersangka sudah meninggal, tambah Pardjo, wajar penyidikan dihentikan. Hakim yang mengadili kasus itu, Junaidi Yo, tentu saja tidak punya pilihan lain kecuali menolak gugatan Djunaedah. "Penghentian penyidikan itu sah menurut hukum. Jika tersangka meninggal dunia, otomatis perkaranya gugur demi hukum," kata Junaidi. Tepuk tangan dari hadirin, yang sebagian besar anggota polantas, bergemuruh menyambut putusan Hakim. Yang tidak bertepuk tangan adalah Ilyas Amin, kuasa Djunaedah. "Sejak kapan orang mati bisa dijadikan tersangka?" protes Ilyas. Ia menduga ada yang tidak beres dalam kasus itu. Sebab, menurut keyakinan Ilyas, Almarhumlah yang ditabrak jip, bukan sebaliknya. Buktinya, kata Ilyas, tubuh Almarhum remuk di sebelah kanan. "Keadaan itu hanya bisa terjadi karena korban ditubruk jip dalam kecepatan tinggi," ujar Tlyas. Pengacara itu juga membantah keterangan polisi bahwa Almarhum tidak memiliki SIM. Sebab, dari laporan unit kecelakaan Polantas, diketahuinya bahwa Almarhum mengantungi SIM dan STNK ketika peristiwa terjadi. KEPALA Seksi Polantas Ujungpandang, Mayor Dodon Ruhiyan, menoIak dugaan Ilyas bahwa pengemudi jip Natsir yang lalai sehingga Alwi meninggal. "Itu 'kan hanya perkiraan pengacara. Mana buktinya? Kalau saya menyalahkan orang lain tanpa bukti, berarti saya akan berdosa dunia akhirat," ujar perwira menengah Polri itu. Namun, Dodon tidak membantah bahwa Alwi memiliki SIM. "Tapi SIM itu tidak penting, hanya perlengkapan," kata Dodon. Pihaknya, kata Dodon, memang tidak mempunyai saksi-saksi lain dalam kasus itu kecuali pengendara jip, Natsir, dan seorang penumpang jip, Drs. Aco Rame. "Tidak seorang pun saksi mata yang bersedia membantu polisi dalam kasus itu," ujar kuasa Polantas, Pardjo. Dari kedua saksi itu serta keadaan di lapangan, polisi berkesimpulan, Almarhum yang salah. Dodon juga membantah kemungkinan anak buahnya berbuat curang dalam pemeriksaan itu. "Saya sudah menanyai anak buah saya secara baik-baik. Apakah mereka dipengaruhi pihak luar waktu melakukan pemeriksaan. Tapi mereka menjawab tidak, dan saya mempercayainya," kata Dodon. Agaknya memang tidak ada jalan lain bagi Nyonya Djunaedah, kecuali mengikhlaskan kematlan suaminya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini